"
Sadar baca dan akses membaca" adalah point penting yang saya ambil setelah mengikuti acara Talk Show "Catatan Najwa bersama Najwa Shihab & DR.KH.Abdul Ghofur Maimoen" dua tahun yang lalu, tepatnya pada Sabtu 15 April 2017 di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang.
Talk Show Najwa yang tergolong pertama kali masuk lingkungan pesantren tersebut banyak membahas mengenai dunia literasi di Indonesia. Najwa Shihab sebagai duta baca Indonesia beserta adiknya, Najela Shihab, yang juga aktif didunia pendidikan sangat prihatin dengan keadaan sadar baca dan akses  baca yang ada di Indonesia.
Duta Baca Indonesia tersebut juga melas dengan adanya beragai fakta yang ada, seperti survey terkini yang mengatakan bahwa dari 61 negara, Indonesia berada di angka 60 untuk tingkat minat literasinya. Pada tahun 2012 berdasar survey yang dilakukan Unesco, mengatakan bahwa masyarakat Eropa dalam setahun bisa membaca 20 buku, Singapore dan jepang 16-17 buku pertahun, sedangkan Indonesia adalah 0,01 buku pertahun. Sangat memprihatinkan.
Dari beeberapa hal diatas perlu kiranya kita mulai berbenah untuk masa depan Negara ini. Perpustakaan tidak cukup hanya sebagai agen penyedia buku atau tempat untuk membaca.
Perpustakaan hari ini harus ikut andil dalam gerakan kampanye sadar baca. Methode perpustakaan yang kebanyakan pasif harus diganti dengan perpustakaan yang aktif. Perpustakaan yang biasanya hanya terdapat dipusat pemerintahan kota, kabupaten serta lembaga pendidikan haruslah mulai merangkul anak bangsa tanpa kenal batas wilayah.
Hal demikian perlu dilakukan lantaran akar permasalahan yang ada bukanlah krisis buku, Indonesia kaya akan bacaan, lokal maupun buku-buku terjemahan dari Negara lain, namun yang menjadi akarnya adalah kesadaran manusianya.
Sehingga menyediakan buku dihadapan manusia bukan menjadi solusi yang terbaik, sebab musuhnya adalah kesadaran. Seperti masalah sampah yang menumpuk diberbagai daerah tidak bisa diselesaikan dengan hanya menyediakan tong sampah, produsen sampah terlebih dahululah yang pertama kali diberi kesadaran akan pentingnya kebersihan.
Anak-anak di Indonesia untuk saat ini lebih senang jika buku-bukulah yang menghampiri mereka, bukan mereka yang pergi keperpustakaan. Hal ini dimungkinkan bukan hanya masalah kesadaran, namun juga karena akses yang jauh, karena memang perpustakaannya yang kurang menjangkau semua kalangan.
Tak heran jika aktivis buku jalanan lebih diminati daripada perpustakaan. Komunitas yang dengan sukarela menyediakan buku dipinggir jalan lebih banyak peminatnya daripada perpustakaan dengan gedung yang bagus serta koleksi buku yang lengkap.
Sebenarnya model "perpustakaan bergerak" seperti ini sudah dilakukan oleh beberapa komunitas dan terbukti dapat meningkatkan minat baca bagi banyak kalangan.