Ngemong (dalam bahasa Jawa) bisa diartikan sebagai pemberian perhatian, kasih sayang serta teladan dari orang tua kepada anaknya. Kata ini erat sekali dengan jalinan hubungan antara orang tua dengan anak kandung.Â
Sehingga dilembaga pendidikan istilah "ngemong" jarang kita temukan, walaupun sebenarnya hubungan antara guru dengan peserta didik adalah bagaikan orang tua dengan anak. seperti semboyan yang banyak kita temukan bahwa "Guru Adalah Orangtua di Sekolah".Â
Dalam dunia pendidikan formal "mendidik" dan "mengajar" lebih familiar daripada ngemong. Selain itu istilah ngemong nampaknya belum mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia. Cakupan makna yang dikandung kata ini memang luas sekali.
 Tulisan ini adalah salah satu bentuk refleksi terhadap sosok yang dianggap berhasil ngemong terhadap santri secara khusus dan juga semua kalangan secara umum.Â
Sosok yang dimaksud adalah Kiai Kharismatik yakni, al-Maghfurlah KH. Maimoen Zubair. Beliau lahir persis ketika pemuda bangsa ini berkomitmen untuk berbahasa satu, berbangsa satu dan bertanah air satu, Indonesia. di Hari Sumpah Pemuda yakni, 28 Oktober 1928/1347 beliau dilahirkan oleh Ibu Nyai Mahmudah Binti Kiai Ahmad Bin Syu'aib, istri dari Kiyai Zubair Bin Dahlan.
Rihlah pendidikan beliau selain menimba ilmu dari ayahnya sendiri beliau juga pernah menjadi santri di Liboyo, Kediri, Jawa Timur, berguru kepada para ulama seperti Kiai Abdul Karim, Kiai Marzuqi, Kiai Mahrus dan Kiai lain yang menjadi sumbernya ilmu.Â
Selain itu beliau juga pernah menimba ilmu di Makkah, berguru kapada Sayyid Alawi Al-Maliki, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Syaikh Amin al-Kutbi, Syekh Abdul Qadir al-Mindili, Syikh Yasin Bin Isa aL-Fadani dan lainnya.Â
Pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar yang juga pernah menjadi anggota ICIS (International Conference of Islamic Scholars) ini juga memiliki beberapa karangan kitab, seperti:
- Tsunami Ahua al-'Adzab am al-Musibah: Karya beliau ini membahas tentang fenomena alam yang terjadi di dunia, khusunya Indonesia. Kitab ini adalah salah satu jawaban atas pertanyaan yang banyak bermunculan pasca terjadinya Tsunami di Aceh. Apakah fenomena semacam itu termasuk bagian dari adzab ataukah musibah? Jika dikatakan sebagai adzab bagaimana dengan korban yang masih saudara se-iman dengan kita? Bagaimana umat muslim harus menyikapi fenomena semacam itu? Pertanyaan semacam itulah yang ingin dijawab Mbah Moen melalui karya ini.
- Manaqib Shohibul al-Haul al-'Adzim Fi Qoryah Sedan (Sayyid Hamzah bin Abdullah bin 'Umar Syath'): Kitab ini adalah semacam biografi mengenai seorang ulama yang dimakamkan di Sedan-Rembang. Sosok ulama yang lahir di Makkah serta meninggal pada tahun 1363 H. Sayyid Hamzah Syatho ini merupakan cucu dari Sayyid Umar Syatho. Kitab I'anah al-Tholibin yang merupakan kitab penjelas dari Fath al-Mu'in merupakan karya dari Sayyid Bakri Syatho, yang tak lain adalah adik dari Sayyid Umar Syatho sendiri. Dalam manaqib tersebut Mbah Moen menjelaskan bahwa Sayyid Hamzah Syatho merupakan sosok yang alim, lisannya selalu tersibukkan dengan al-Qur'an, bahkan saat perjalanan sekalipun. Yang menarik lagi adalah bahwa Sayyid Hamzah Syatho mampu menghafalkan Nadham Alfiah Ibn Malik mulai dari awal-akhir dan juga sebalikya, dihafalkan dari bait terakhir. Diakhir kitab ini selain dipaparkan nasab Sayyid Hamzah Syatho yang sambung kepada Rasulullah juga disebutkan masjid-masjid yang pernah dibangun atas jasa Sayyid Hamzah Syatho, masjid-masjid tersebut berada di daerah Rembang, Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Blora, dan Madiun.
- Nusus al-Akhyar Fi al-Shoum wa al-Ifthar : Kitab ini selesai beliau susun pada Sabtu, 01 Dzulhijjah 1418 H. Latar belakang disusunnya kitab ini adalah adanya perbedaan yang begitu menonjol tarkait penetapan awal hari raya dan akhir bulan Ramadhan 1418 H. Sehingga kala itu ada umat muslim yang merayakan hari lebaran pada hari Kamis, namun juga ada yang pada hari Jumuah. Â Masing-masing bersikukuh terhadap pendapatnya. Perbedaan ini semakin terlihat saat malam tiba, banyak yang sudah melakukan takbir hari raya namun juga tidak sedikit yang masih menjalankan puasa. Beliau sangat menyayangkan sekali fenomena seperti ini, perbedaan yang dididasari oleh keinginan dan kepentingan pribadi. Sebelum memaparkan penjelasannya, beliau memberi muqaddiah, yang berisi tentang perbedaan yang ada pada masa ulama mutaqaddimin. Perbedaan yang menumbuhkan rahmat, bukan berujung saling mencela dan membenci. Beliau mencontohkan apa yang dilakukan Rasulullah, menyikapi perbedaan dengan sangat baik. Begitupun perbedaan yang terjadi pada imam Madzab. Adanya empat mihrab dimasjid-masjid seperti di Masjidilharam, Masjid al-Aqsa dan Masjid Nabawwi adalah salah satu bukti bahwa perbedaan pada zaman ulama salaf tidak seperti sekarang ini, perbedaan menjadi senjata untuk saling membenci.
- Tarajim Masyayikh al-Ma'ahid Ad-Diniyyah biSarang al-Qudama
- Al-Ulama al-Mujaddidun
- Taqrirat Bibad'i al-Amali
- Taqrirat Mandumah Jauharah at-Tauhid
- Taujiah al-Muslimin fi al-Wahdah wa AL-ittihad wa al-Indimam fi Hizb al-Ittihad wa at-Ta'mir
- Maslak at-tanassuk al-Maki wa Takmilatuhu fi al-Ittisholah bi as-Sayyid Muhammad Ibn Alawy al-Maliki
Mbah Moen adalah sosok yang disebut mampu ngemong santri, masyarakat, pejabat, politikus dan semua golongan baik kalangan bawah maupun atas, dari yang berada diistana Negara maupun yang berada dipelosok desa, kesemuanya dirangkul oleh beliau. Sehingga tidak heran jika banyak kalangan merasa mempunyai kedekatan tersendiri dengan beliau, meski mungkin sama sekali belum bertemu secara langsung.
Mbah Moen, yang juga pernah menjabat sebagai anggota MPR RI (1987-1999) ini memang mempunyai keistimewaan dalam membangun komunikasi multicultural. Diberbagai acara ataupun saat mengajar santri, kerap sekali beliau membahas pentingnya persatuan.Â
Begitupun dalam beberapa karyanya, mengandung nafas persatuan bangsa. Cultural backgraound (latar belakang budaya) yang begitu kompleks khususnya di Indonesia memang sangat membutuhkan sosok yang punya ghirah persatuan. Dan persatuan inilah yang hari ini terasa semakin menjauh dari bangsa kita.
 Dunia pendidikan, khususnya lembaga pendidkan memang membutuhkan sosok pengasuh. Pengasuh berbeda sekali dengan Kepala Sekolah ataupun Rektor. Pengasuh mempunyai tugas yang tak tersentuh oleh seorang Kepala Sekolah atupun Rektor. Hal demikian sebab pendidikan bukan hanya soal transfer keilmuan belaka. Lebih dari itu.
Dunia pendidikan harus mampu memberikan pengaruh terhadap aspek rohani peserta didik. Transfer keilmuan bukan hanya melalui tulisan, buku ataupun diskusi yang diberikan oleh seorang guru.Â
Pendidikan juga harus mampu menjadikan hati siswanya sebagai kertas dan otak menjadi pensilnya. Ilmu adalah apa yang tertancap dalam dada bukan apa yang tertulis dilembaran kertas.
Sosok pengasuh yang dapat ngemong santri yang dimaksud diatas mungkin dapat tergambarkan dengan apa yang penulis lihat dalam diri Mbah Moen. Namun, sangat terbatas sekali jika sosok Mbah Moen yang amat mulia serta luas keimuannya ini hanya dipaparkan dalam lembaran ini.
1) Kasih SayangÂ
Kasih sayang mungkin termasuk hal yang sulit kita temukan di Indonesia hari ini, dunia pendidikan diwarnai dengan beberapa kekerasan serta cara mendidik yang kurang bisa mengena dalam hati murid.Â
Sebagai proses membenarkan sebuah kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik hendaknya memang pada moment yang tepat sehingga murid bukanya tersinggung kemudian menggerutu, tapi murid dapat dengan sendirinya menyadari kesalahannya. Sebab dengan moment dan waktu yang tepat inilah terkadang nasehat akan selalu dikenang seumur hidup oleh seorang murid.
Suatu kesempatan, saat ada santrinya yang berambut gondrong, yang menjadi larangan pesantren, Mbah Moen tidak kemudian mengingatkan secara shorih akan kesalahan yang dilakukan santri tersebut.Â
Beliau mengajak santri tersebut sholat persis dibelakang Mbah Moen, kemudian sehabis sholat sambil mengelus rambut santri tersebut beliau dawuh "kamu rambutnya bagus ya?". Seketika setelah jamaah selesai, santri kembali ke kamar dan mencukur rambutnya.Â
Begitulah kasih sayang yang dicontohkan Mbah Moen kepada santrinya, sekalipun terhadap santri yang nakal. Bahkan banyak cerita yang beredar bahwa Mbah Moen melarang memboyong (mengeluarkan) santri yang nakal atau melanggar aturan pesantren. Beliau berpesan untuk senantiasa mendo'akan santri yang nakal.
Demikian itu juga bisa kita lihat dalam diri Rasulullah, Nabi kita sangat menyayangi santri-santrinya, sekalipun nyata-nyata melakukan sebuah kesalahan.Â
Seperti dalam hadith tentang seorang badui yang kencing dalam masjid, Rasulullah tidak seketika menegur badui tersebut, membiarkannya, kemudian setelah selesai kencing Rasulullah menjelaskan bahwa masjid tidaklah dijadikan tempat kencing, melainkan sebagai tempat untuk mengingat Allah.
2) Perhatian
Memberikan perhatian kepada setiap orang atau siswa memang penting, kurangnya perhatian terhadap perkembangan siswa dapat menjadikan pendidikan hampa bahkan tak jarang mengalami kegagalan.Â
Perhatian yang diberikan akan berpengaruh pada proses transfer ilmu yang terjadi. Yang terkadang menjadi problem adalah skala prioritas yakni banyaknya siswa dalam kelas atau dalam sebuah komunitas, disitulah skill pendidik benar-benar diuji.Â
Bagaimana pendidik bisa menguasai publik tatkala transfer ilmu atau informasi.
Perhatian Mbah Moen bukan hanya pada santri yang berada dipesantrennya. Beliau sangat meperhatikan serta menghargai tamu yang ada dindalemnya.Â
Semua tamu hampir pasti dikasih makan oleh beliau ketika sowan. Bahkan tak jarang beliau memerintahkan santri untuk membagikan makanan ringan atau kurma pada setiap tamunya. Sehingga semua tamu benar-benar merasakan sebuah penghargaan yang beliau berikan.
Selain hal itu ketika ada acara di pesantren, beliau tak jarang menanyakan pelayanan yang diberikan oleh panitia. Polisi yang ikut membantu kelancaran acara sangat beliau perhatikan.
 "Bagaimana? Polisinya sudah diberikan makan semua? Polisinya dikasih pelayanan yang baik ya?". Begitulah kira-kira bentuk perhatian beliau kepada semua orang.Â
Begitupun pengakuan dari salah satu Kapolres Rembang yang mendapat tugas mengawal Mbah Moen, mengawal bermaksud meghormati beliau, justru Mbah Moen lah yang sangat menghormati pengawalnya tersebut. Diajak makan bareng serta banyak diberi ilmu serta cerita-cerita seputar Rembang.
3) Teladan
Tindakan lebih mengena daripada perkataan. dalam proses mendidik hal yang tak kalah penting adalah memberi teladan, bukan menegur. Dengan memberi teladan peserta didik akan lebih bisa menerima daripada mendengar. Hal tersebut juga terdapat dalam diri Rasulullah seperti firman Allah pada surat al-Ahzab 33:21
Begitupun yang penulis saksikan dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Moen. Beliau banyak sekali meninggalkan banyak teladan pada kita semua. Beberapa bulan yang lalu banyak tersebar video ketika Mbah Moen ikut naik mobil patwal di Semarang, beliau menolak menggunakan mobil pribadinya.Â
Tak hanya berhenti disitu kita juga bisa menyaksikan apa yang dilakuakn Mbah Moen ketika sampai pada rambu-rambu jalan, beliau meminta polisi tetap berhenti, padahal siapa yang akan marah ketika mobil tersebut menerjang rambu-rambu? Begitulah beliau memberi teladan pada kita, menjalani kehidupan dengan tertib supaya tidak merenggut hak sesama manusia.
4) Meragkul semua kalangan
Pendidik yang baik adalah yang dapat memposisikan dirinya ditengah-tengah kondisi kultur yang heterogen. Sebab tidak mungkin pelajar adalah berasal dari kondisi sosial yang sama persis, mereka membutuhkan ilmu sesuai porsi dan kebutuhannya masing-masing. Disinilah tugas pendidik.
Tamu yang datang kepada Mbah Moen adalah sangat bermacam-macam. Politikus, dari apapun partainya tetap diterima oleh beliau. Bahkan dua pasangan calon presiden pun sama-sama bertamu kepada beliau, walaupun dalam pandangan mata, beliau telah menentukan pilihannya.Â
Oleh beliau mereka tetap diterima dan dihormati, persatuan adalah yang paling ditekankan. Perbedaan yang ada tidak seharusnya menjadikan permusuhan.
5) Mendidik dengan hati
Benar sekali yang mendefinisikan bahawa belajar bukan melulu soal pemetaan ilmu atau informasi. Namun lebih dari itu pelajar harus mampu mengolah dengan sedemikian rupa ilmu yang telah didapatkan sehingga berubah menjadi pengalaman bermanfaaat bagi pribadinya. Sehingga proses belajar bukan hanya aktivitas yang ada diruang kelas, pendidik juga bukan hanya orang yang memakai dasi dan sepatu.Â
Dalam hal ini Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara mengatakan "Jadikan Semua Tempat sebagai Sekolah, dan Jadikan Setiap Orang Sebagai Guru".
Dalam hal ini Mbah Moen mempunyai hati yang begitu mulia dalam rangka memberikan pendidikan pada semua orang. Sopir, yang mungkin dalam pandangan banyak orang adalah suatu yang biasa, dimata Mbah Moen begitu luar biasa.Â
Dikalangan pesantren hal ini banyak disebut sebagai khidmah. Seperti pengalaman salah satu sopir yang oleh Mbah Moen diajak tidur dihotel dan sekamar dengan Mbah Moen.Â
Juga tardapat kisah yang mana Mbah Moen pernah menjadi imam sholat janazah dari orang yang dulunya menjadi sopir beliau, bahkan beliau sampai meneteskan air mata atas meninggalnya sang sopir tersebut.
Tentu dibutuhkan hati yang begitu mulia untuk bisa melakukan semua hal tersebut. Sesuatu yang oleh banyak orang dianggap remeh, walaupun pada kenyataannya berjasa besar.
Hari ini mungkin sulit kita temui panutan yang mengajar dengan hati dan ketulusan seperti beliau. Justru kekerasan  terhadap siswa makin sering kita temui di Indonesia akhir-akhir ini.
6) Menyikapi perbedaan
"Perbedaan yang ada diumatku adalah sebuah rahmat" begitulah kiranya Nabi kita memberikan gambaran, bahwa perbedaan bukanlah sebuah faktor terpecahnya sebuah negara, justru dengannya rahmat akan kita rasakan.Â
Tentu rahmat ini akan terwujud jika perbedaan disikapi dengan baik. Tangan, kaki, badan dan kepala adalah beberapa entitas yang berbeda, namun dengan kesemuanyalah orang dapat menjalankan tugas yang diemban dibumi ini. Perbedaan harus dijadikan sebagai bagian-bagian yang saling melengkapi dan saling mendukung, bukan saling menghancurkan.
Begitu juga dengan seorang pendidik, harus mampu mengolah dan merespon perbedaan yang dihadapi. Mendidik siswa agar dapat menjadi penerus bangsa yang dapat menjaga keutuhan NKRI. Menjadi pemuda yang siap menghadapi perbedaan, Pemuda yang menjadikan demo sebagai ajang demokrasi, bukan ajang kekerasan.
Mbah Moen sering kali menggambarkan perbedaan ini, atau lebih tepatnya beliau sebut sebagai filsafat bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini adalah "Bedo tapi podo, podo tapi bedo". Kalimat tersebut biasanya beliau dawuhkan ketika membahas kemajemukan yang ada di Indonesia.Â
Memang maksud daripada istilah tersebut tidak secara eksplisit dijelaskan oleh beliau, namun ketika kalimat itu tidak dilepas dari konteksnya kita akan menemukan bahwa bangsa ini mempunyai sekian banyak perbedaan, mulai dari agama, suku, bahasa, budaya dan lainnya. Namun disisi lain perbedaan itu dapat disatukan dengan adanya pancasila yang menjadi dasar negara ini.Â
Didalam lambang negara Indonesia tersebut juga terpatri semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan. Mungkin juga sebab seperti ini lah di didinding ndalem Mbah Moen selalu terpasang lambang Negara Burung Garuda dan foto presiden dan wakilnya. Pemandangan yang sangat jarang kita jumpai.
Begitulah Mbah Moen dalam menyampaikan ruh perbedaan, beliau menggunakan istilah yang unik. Namun, justru dengan keunikan inilah pendengar akan bisa menerima pesan yang begitu mendalam. Sehingga pebedaan jika ditangan Mbah Moen akan bisa dirasakan rahmat dan keberkahannya. Sekalipun perbedaan politik, beliau mampu menjadikannya sebagai hal yang wajar dan tidak selayaknya menjadi ajang pertarungan antar sesama.
Selain kalimat tersebut beliau juga seringkali menyebut bahwa PBNU itu adalah Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD. Hal yang sangat berbeda sekali dengan umumnya masyarakat yang mengartikan bahwa PBNU adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.Â
Joke-joke dari Mbah Moen seperti inilah yang justru membuat banyak kalangan dapat menerima sebuah perbedaan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, kiranya terdapat beberapa nasihat serta dawuh Mbah Moen yang mungkin bisa membantu serta menjadikan semangat bagi para pendidik.
"Yang paling hebat dari seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan terkadang hati teruji kesabarannya. Namun, hadirkanlah gambaran bahwa diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga"
 "jika engkau bukanlah seorang yang menguasai banyak ilmu agama, maka ajarkanlah alif, ba, ta pada anak-anakmu. Setidaknya itu menjadi amal jariyyah untukmu, yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada dalam kuburmu"
 "jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang, nanti kamu hanya akan marah-marah ketika muridmu tidak pintar. Sehingga ikhlasmu akan hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah kelak muridmu jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Dido'akan saja terus-menerus agar muridnya mendapat hidayah"
 "Nak, kamu kalau jadi guru, dosen atau jadi kiai kamu harus tetap usaha. Harus punya usaha sampingan biar hati kamu tidak selalu mengharap pemberian atau bayaran orang lain. Karena usaha yang dari hasil keringatmu sendiri itu barokah"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H