Mohon tunggu...
Iben Nuriska
Iben Nuriska Mohon Tunggu... -

(bukan) seorang suami dari istrinya. (bukan) seorang ayah di anak-anaknya. sedang belajar dari sekolah kehidupan. menulis menjadi kesenangan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dehidrasi Imajinasi

15 Juni 2012   08:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:57 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dehidrasi Imanijasi

Pengaruh, atau daya pikat yang dimiliki seseorang dapat merubah cara berpikir bahkan cara hidup orang lain. Banyak contoh yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana seorang anak muda misalnya, berpenampilan layaknya tokoh yang ia idolakan. Ia akan berusaha mencari tahu apa makanan favorit sang idola, merk pakaian, hobi, buku bacaan dan lain-lain yang kesemua itu akan dijadikan acuan gaya hidup yang terkesan dipaksakan - mengasosiasikan dirinya utuh seperti sang idola meski kemampuan yang dimiliki tidak memadai.

Bila tindakan ini dilakukan tanpa ada kesadaran pada diri individu yang hidup dalam asosiasi tersebut bahwa hal ini dapat memicu terjadinya split personality yang, apabila terus dibiarkan dapat menjadikan seseorang kehilangan sosok dirinya sebagai pribadi yang utuh sebagai manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Problem selanjutnya adalah kehilangan momen eksistensinya sebagai manusia yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan meraih apa yang diimpikannya.

Memang benar, di dalam salah satu teori belajar dalam psikologi perkembangan (saya lupa nama tokohnya) ada yang disebut dengan teori belajar model. Dimana asosiasi dapat memberikan dampak positif bagi individu dalam fase perkembangan dalam rangka mengenali potensi yang ia miliki. Namun, titik tekan saya dalam tulisan ini, sekali lagi saya tegaskan ialah ketika asosiasi itu tidak didukung dengan kemampuan (finansial, lingkungan sosial, fasilitas, dll) yang memadai.

Dan memang benar juga keterbatasan dapat melahirkan orang-orang tangguh dan super saat ia mampu merubuhkan tembok keterbatasan itu. Tapi, dapatkah itu terjadi pada orang-orang yang mengasosiasikan dirinya menjadi orang lain tanpa merumuskan substansi apa, atau makna apa yang dapat ia petik dari peniruan itu?

Untuk lebih jelasnya, saya akan mengungkapkan sebuah kasus yang saya alami sendiri.

Enam belas tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku kelas satu SMA, saya mengasosiasikan diri sebagai Bunda Ifet (Slank). Meski saya bukan manajer dari sebuah band, saya terdorong untuk memotivasi teman-teman saya yang suka ngeband untuk mewujudkan mimpi mereka menjadi band papan atas di tanah air.

Saya selalu mengatakan pada mereka bahwa, jarak yang jauh dari Jakarta bukanlah hambatan apa bila kita punya kemauan dan pekerja keras. Dan yang terpenting adalah skill. Kebetulan saya pernah membaca di salah satu majalah musik kalau Dewa Budjana itu bermain gitar selama 8 jam sehari. Hal ini saya sampaikan pada teman-teman. Saya siap menemani bila ada teman saya (apapun spesialisasinya dalam bermusik) berproses seperti Dewa Budjana.

Namun, gayung tak bersambut. Teman-teman saya lebih memilih menjadi Slankers yang bergaya hidup layaknya personel Slank ketika itu. Begitu kuatnya pengaruh gaya hidup Bimbim dan Kaka pada teman-teman saya hingga, ganja menjadi kebutuhan.

Berulangkali saya coba ingatkan, boleh jadi Slanker, boleh jadi Fals Mania, tapi jadilah Slanker dan Fals Mania yang berjuang untuk kesuksesannya tanpa kenal lelah sebagaimana yang pernah dilakoni para personil Slank dan Iwan Fals.

Apa yang kemudian terjadi?

Setelah enam belas tahun, tak satu pun teman-teman saya itu yang menjadi musisi dan menyisakan seorang teman yang masih bermasalah dengan personalitynya. Di usianya yang sudah 36 tahun, kini, ia belum mampu mengoptimalkan potensi yang ia miliki untuk kemandirian hidupnya. Ia masih sangat tergantung pada orang lain dan sama sekali tidak memiliki idealisme yang jelas. Ia tidak pernah mau mengakui kekurangan. Ia merasa bisa segalanya. Mengharapkan pujian atas kebaikan yang pernah ia perbuat. Sangat antusias menggali kekurangan dan kesalahan orang lain. Dan yang sering kali ia lakukan adalah meyakinkan orang lain bahwa ia bisa tapi ia merasa belum waktunya untuk berkarya. Ia mengaku sebagai seniman. Dan ia mengasosiasikan dirinya sebagai seniman yang tengah mengalami dehidrasi imajinasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun