Mohon tunggu...
Ibnu NUgroho
Ibnu NUgroho Mohon Tunggu... -

Presiden Mahasiswa Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

{PERS RILIS} “Mengapa Korps Mahasiswa Politik Pemerintahan UGM #SaveRembang”

21 Maret 2015   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sikap Resmi KOMAP Fisipol UGM terhadap Kedatangan Ibu-ibu Rembang di UGM pada 20 Maret 2015)

Awal #SaveRembang di Fisipol dan UGM

Minggu kedua Februari 2015, itulah awal Korps Mahasiswa Politik Pemerintahan (KOMAP) Fisipol UGM memulai langkah. Saat itu, salah satu bagian dari struktur kepengurusan Komap, yaitu Kementrian Kajian Strategis (Kastrat) mendekati salah satu lembaga penelitian dan pengembangan milik Jurusan Politik Pemerintahan (JPP), Polgov. Saat itu, kami mendapatkan persetujuan dari lembaga yang juga memiliki usaha penerbitan buku untuk menjadi tandem dari kementerian tersebut. Projek awal yang saat itu digarap ialah mengenai kegiatan Diskusi Gerakan Perempuan dan Tambang di Rembang. Secara kebetulan Polgov sendiri sedang mengawal kajian mengenai tata kelola industri ekstraktif dan rembang menjadi salah satu area penelitiannya. Seminggu sebelum kegiatan itu, akhirnya Faiz Kasyfilham , selaku menteri Kastrat Komap pun menentukan Tema “Tambang” sebagai fokus kajian mereka saat itu.

Permasalahan yang terjadi di Rembang memang seksi  untuk dikaji. Karena dalam permasalahan tersebut terdapat konflik kuasa antara tiga ranah yang ada dalam studi politik pemerintahan diantaranya negara, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Bila mempelajari politik, tentu anda akan selalu berkutat dengan power atau kekuasaan. Diawali dari kajian di dalam kementerian Kastrat, lalu bersama seluruh Pengurus Harian, himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) ini pun sepakat bahwa akan mendukung masyarakat yang saat itu posisinya sudah terdesak. Mulai saat itulah, pada saat mempromosikan kegiatan Diskusi bersama Polgov (16/2), Komap mulai menyebarkan propaganda #SaveRembang. Propaganda ini merupakan propaganda umum yang telah dibuat oleh aktivis yang telah lebih dulu hadir untuk mendukung warga rembang yang terdesak oleh pembangunan pabrik Semen Indonesia.

Pada awalnya, Faiz mencoba memantik aktivisme #SaveRembang di Fisipol dengan membuat Opini di Fanpage Facebook Komap. Responnya positif, kata kata #SaveRembang mulai populer di Fisipol UGM. Dalam menentukan posisi, Komap pun selalu mendapat pertanyaan tentang arah geraknya. Termasuk dari dalam organisasi, yang mempertanyakan bentuk konkrit permasalahan ini. Berbekal dari pengalaman diskusi sebelumnya, Faiz pun menyatakan bahwa perlu adanya diskusi lanjutan yang mengkaji bentuk nyata soal konflik kuasa yang terjadi di Rembang.

Akhirnya, setelah menemukan referensi film “Samin vs Semen”, sebuah film dokumenter yang menggambarkan konflik agraria terkait pembangunan pabrik semen di Pati. Dalam kegiatan yang diselenggarakan pada 11 Maret 2015, turut hadir Angga Palsewa dari Gerakan Literasi, yang selama ini aktif mengawal isu pembangunan pabrik semen, juga hadir Dian Lestariningsih, peneliti polgov yang pernah meneliti kewargaan wanita Rembang. “Ada kemiripan kasus yang terjadi, kita ingin melakukan komparasi untuk bisa mengidentifikasi sebenarnya konflik apa yang terjadi dalam pembangunan pabrik semen di wilayah, dan mengapa bisa terulang lagi” ujar Faiz. Respon positif pun semakin bertambah, kegiatan pemutaran film dan diskusi ini diikuti oleh mahasisiswa di luar Fisipol. Gaung #SaveRembang pun semakin keras hadir walau hanya melalui corong kecil pengurus Komap.

Arah yang kami buat jelas, awalnya kami ingin hadir menjadi organisasi HMJ yang hanya menjadi event organizer. Komap sebagai organisasi yang diisi oleh intelektual dan intelejensia calon politisi bangsa, harus bisa menebarkan nilai-nilai positif dan nilai kerakyatan. “Komap ingin peduli terhadap masyarakat, bukan pada isu besar yang ada di media massa, melainkan apa yang ada dan dekat di sekitar kita”pungkas Faiz dalam diskusi Samin Vs Semen. Ibnu Nugroho, Presiden Komap 2015 pun mendukung langkah yang telah dilakukan kementrian Kastrat. Iben, sapaan akrabnya, bahkan lebih dalam menggali informasi dan relasi mengenai kegiatan advokatif #SaveRembang. Karena sering me-retweet dan menyebarkan poster propaganda hasil karya Komap, ia pun mendapat akses kedalam tokoh yang concern dengan kasus ini. Walhasil, narasumber yang diperoleh pun makin banyak. Setiap ada perkembangan kasus ini, selalu ditindak lanjuti olehnya untuk dilimpahkan ke kementrian Kastrat untuk menjadi bahan kajian.

Sebenarnya, untuk mengawal kasus ini secara substantif sudah hampir terlambat secara formal. Karena secara aspek legal, pembangunan pabrik tersebut sah. Izin lingkungan yang menjadi pokok permasalahan dari kasus ini pun sudah dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Tengah. Tuntutan warga Rembang ialah terkait lingkungannya, dimana lokasi pembangunan pabrik semen ialah daerah pegunungan kendeng yang diyakini sebagai karst sumber resapan air di wilayahnya.  Namun belum sama sekali terlambat untuk mengutarakan kebenaran walaupun itu sudah tidak terlalu berguna. Justru disanalah keseriusan kita untuk mengkaji masalah ini agar bisa lebih tinggi menyeruak di masyarakat. Hingga saat ini sebenarnya permasalahan ini sudah sampai pada gugatan mengenai Amdal di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Wahana Lingkungan  Hidup Indonesia (Walhi) menggugat Gubernur Jawa Tengah dan PT. Semen Indonesia atas terbitnya Amdal untuk pembangunan tersebut.

Sempat terpikir ingin rasanya langsung hadir melihat kondisi masyarakat Rembang yang setiap hari harus camping di tenda agar pabrik semen tidak dibangun di wilayahnya. Hingga pada 12 Maret 2015, usaha mereka sampai pada sidang untuk mendengarkan saksi ahli dari pihak penggugat (Walhi) yang kontra pembangunan pabrik semen. Setiap ada sidang, ibu-ibu Rembang selalu hadir. Walaupun tidak mengerti apa substansi persidangan, mereka ingin pembangunan itu digagalkan. Wajar, karena dalam kesehariannya, ibu ibu ini berkomunikasi menggunakan bahasa jawa halus yang kadang tidak familiar. Sidang tersebut berjalan lancar, beberapa saksi dari ITB dan IPB. Mereka bersaksi secara ilmiah, mengapa pembangunan pabrik semen harus dihentikan.

Kronologis Kedatangan

Selang seminggu, 19 Maret 2015, agenda sidang PTUN adalah mendengarkan saksi ahli dari tergugat (PT Semen Indonesia dan Gubernur Jawa Tengah). Kali ini sidang mendengarkan saksi ahli dari UGM, ialah Heru Hendrayana (pakar Hidrologi) dan Eko Haryono (pakar karst). Menurut ciutan dari twitter @jmppk_rembang, Heru yang ahli dalam sumber air dalam perut bumi mengeluarkan pernyataan bahwa “batu gamping adalah batu yang tidak memiliki pori-pori, sehingga bukan batu yang menyimpan air.” Selain itu, Eko Haryono menambahkan bahwa karst rembang masih berumur muda sehingga di lokasi itu dapat dilakukan pengelolaan atau budidaya apapun termasuk penambangan, selain itu menurutnya kawasan karst atau pegunungan kapur dapat ditanami kembali atau direklamasi setelah dilakukan penambangan. Hal yang dianggap ilmiah tersebut membuat Ibu-ibu dan warga rembang yang hadir di persidangan kecewa. Mengapa ilmuwan yang mereka anggap belum pernah sama sekali melihat kondisi dilapangan, bisa  menjustifikasi karst Rembang sedemikian mudah.

Akhirnya, tanpa ada koordinasi khusus, kekecewaan ibu-ibu Rembang pun mengerucut terhadap kampus bulaksumur. Malam itu (19/3) pukul 20.40 Ibnu Nugroho mendapatkan panggilan singkat dari Hendra (Mahasiswa S2 JPP) yang juga aktif mengawal isu #SaveRembang, bahwa esok hari akan ada aksi oleh ibu-ibu Rembang ke kampus UGM. Menggunakan 3 buah bus langsung dari Rembang setelah persidangan, mereka menuju Jogja untuk menyampaikan kekecewaanya. Kekecewaan tersebut diidentifikasi berdasarkan Press Rilis yang beredar pada saat aksi dimulai. Sukinah, seorang ibu-ibu dari Rembang menceritakan bahwa dirinya menyayangkan UGM sebagai kampus kerakyatan namun tidak membela rakyat.

Malam hari itu, pukul 22.00 WIB, seruan aksi pun menyebar begitu cepat. Akhirnya kami sadar, bahwa hari ini akan ada aksi yang besar. Karena disana tertulis “Aliansi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang”. Esok paginya, Ibnu akhirnya mendapati bahwa BEM-KM dan Dema Fisipol UGM pun turut hadir dalam aksi gabungan tersebut. Pagi hari itu, Presiden Komap sudah berkomunikasi dengan Rizky Alif, Umar Aziz (Pimpinan Dema Fisipol) dan Satria Triputra (Presiden Mahasiswa BEM-KM UGM) bahwa mereka akan bersatu dalam aksi.

Warga dan gabungan mahasiswa yang saat itu sudah berkumpul lebih dulu nampaknya sangat kesal dan cenderung sangat apriori terhadap UGM. Dari poster dan propaganda yang mereka tuliskan, betapa rendahnya martabat kampus yang sudah hampir 66 tahun berdiri. Hingga akhirnya, KOMAP, BEM KM  dan Dema Fisipol pun tidak bergabung dengan aksi besar tersebut. Namun aliansi UGM ini ingin mengawal masuk Ibu-ibu yang ingin menyampaikan aspirasinya. Karena apa yang mereka sampaikan ialah sesuatu kebenaran yang diinginkan sesungguhnya oleh masyarakat. Aksi yang dilakukan oleh warga rembang yang terdampak pembangunan pabrik semen merupakan aksi menuntut keadilan. Mereka mempermasalahkan UGM melalui penelitinya, datang ke persidangan untuk mendukung korporasi dengan kebohongan. Dalam tuntutanya, bersama Aliasi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang para warga rembang memulai aksi dari bundaran Jalan Notonagoro melalui Jalan Sosio Yustisia menuju fakultas kehutanan. Tidak ditanggapi di Fakultas Kehutanan, mereka terus berjalan hingga sampai di Rektorat UGM.

Terus berorasi dalam panas teriknya matahari, akhirnya lima belas perwakilan ibu-ibu dari Rembang, Aktivis yang mengawal mereka, juga Satria Triputra, Umar Aziz dan perwakilan BEM Geografi dipersilahkan masuk untuk berdiskusi bersama pihak rektorat. Di dalam rektorat, warga Rembang disambut beberapa pejabat diantaranya adalah Wakil Rektor bidang Kerjasama dan Alumni : Dr. Paripurna Sugarda dan Wakil Rektor bidang Pengabdian Masyarakat ialah Prof. Suratman. Dalam diskusi tersebut, ibu-ibu dari Rembang mengawali pertemuan dengan menyanyikan tembang khas warga rembang. Lalu, mereka diwakili oleh tokoh aktivis yang menyampaikan kekecewaan mereka terhadap ilmuwan UGM yang dianggap berkhianat pada nilai-nilai kearifan dalam masyarakat. Beliau menyampaikannya dalam bahasa jawa halus, hal ini ditujukan agar ibu-ibu Rembang pun mengerti apa yang disampaikan oleh kedua belah pihak.

Soal Konsistensi dan Keberpihakan Nilai Para Kaum Intelektual

Menanggapi hal tersebut, UGM yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni : Dr. Paripurna menyampaikan bahwa mereka tidak bisa menentukan hasil persidangan. Mengenai putusan PTUN semuanya tergantung hakim yang menilai siapakah yang benar, apakah tergugat atau penggugat. Paripurna pun menambahkan bahwa Hakim di pengadilan lah yang menentukan apakah akan mendengar saksi ahli dari pihak Semen ataupun yang membela warga. Namun, karena ada laporan dari warga mengenai perseorangan dosen UGM yang memberikan kesaksian di persidangan yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta. Pihak kampus memutuskan untuk membuat kajian ulang mengenai hal tersebut oleh ilmuwan yang ada, bukan hanya satu, melainkan gabungan ilmuwan. Ia menambahkan bahwa sebenarnya ia setuju dengan apa yang disampaikan oleh ibu ibu dari Rembang “Bahwasanya ilmu pengetahuan memang tidak independen dan memiliki nilai, nilai tersebut sesungguhnya hanya ditujukan bagi yang berpihak kepada masyarakat”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut, bila kajian yang dilakukan ternyata berbeda dengan ilmuwan yang dimaksud, apakah UGM akan mendindak dengan tegas dosen-dosen tersebut. Selain itu, tidak dijelaskan kapan bahwa kajian tersebut akan di publikasikan.

Disisi lain, saat perwakilan ibu-ibu Rembang dan perwakilan aktivis sedang diterima rektorat, lobi utara Balairung dipenuhi oleh ratusan mahasiswa, aktivis dan warga rembang yang tidak ikut kedalam. Satu persatu dari mereka menyatakan pendapat, ada dari PMII, ada IMM Sleman. Mereka berharap bahwa UGM bisa tegas terhadap “Pelacur Ilmu Pengetahuan” yang mereka anggap mengingkari hakikat UGM sebagai kampus kerakyatan.

Hingga pukul 11.30, cuaca yang tadinya cerah benderah pun berubah mendung. Gerimis hujan langsung berubah deras membasahi halaman gedung Rektorat. Setelah usai diterima oleh rektorat massa bubar, karena selama ini setiap hari jumat, balairung digunakan untuk sembahyang. Beberapa aktivis dan mahasiswa beserta segenap civitas akademika rektorat pun larut dalam rinai hujan dan khotbah jumat bersama.

Sampai saat ini, Komap sebagai pengawal isu #SaveRembang pun masih memelihara optimisme. Walaupun disaat yang lain pesimis dengan hasil persidangan dengan adanya kesaksian yang tidak berpihak kepada rakyat. Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, sebagai mahasiswa yang memiliki idealisme dan keberpihakan pada nilai-nilai kearifan masyarakat. Kami akan terus mengawal isu ini, walau hanya sekadar dalam catatan aktivisme. Bahwa pernah ada rasa semangat bergelora dalam jiwa kami, ikut membantu masyarakat untuk bisa menyampaikan keinginan dan tuntutannya, walau itu dirasa sulit untuk dicapai. Tetapi kami tetap optimis, gerakan massa akan selalu ada selama mahasiswa mau mengawalinya.

*Diolah bersama dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun