Mohon tunggu...
Iben Cruise
Iben Cruise Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menatap Masa Depan Perkembangan Dunia Pers di Indonesia

30 Desember 2017   18:39 Diperbarui: 30 Desember 2017   18:53 2091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan akhir tahunDr. Ibnu Mazjah, S.H., M.H.Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemantau Pers (P3)Alumnus Program Doktor Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2017

Tahun 2018, kemerdekaan pers di Indonesia diprediksi masih jauh dari cita-cita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Perjalanan menuju tercapainya Kemerdekaan pers yang hakikatnya merupakan wujud dari kedaulatan rakyat sesungguhnya, bahkan dirasakan semakin kelam. Kekelaman itu diawali dengan adanya langkah dari Dewan Pers, ketika di awal tahun 2017 mengeluarkan kebijakan verifikasi terhadap perusahaan-perusahaan pers nasional. Pasca dilakukannya verifikasi, puluhan bahkan ratusan perusahaan media massa mengalami kepanikan. Sebagian menganggap, dengan tidak lolosnya perusahaan media mereka sebagai perusahaan terverifikasi seolah tidak ada justifikasi dalam menjalankan fungsi yang mereka emban berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pemikiran tersebut tentunya tidak beralasan.

Langkah Dewan Pers, betapapun dilakukan dengan maksud untuk menunjukkan kepada publik menyangkut tingkat kompetensi dan profesionalitas perusahaan pers, namun tindakan tersebut patut dinilai sebagai kebijakan yang melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. Dengan inovatifnya, Dewan Pers menciptakan nomenklatur baru di luar undang-undang untuk mengukur kapabilitas dari sebuah perusahaan media massa. Lebih kreatif lagi, Dewan Pers mengeluarkan "fatwa" yang menyatakan bahwa produk jurnalistik tidak dapat dipidana.

Pola pikir ini bukanlah pola pikir berdasarkan hukum yang dilandasi pada konsep dari hakekat kebebasan pers yang sebenarnya. Pers bebas sejatinya adalah apabila penyampaian pernyataan dari pikiran atau tidak terhambat oleh tindakan yang bersifat perijinan, pembatasan maupun sensor di awal penerbitan, sebagaimana halnya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) di jaman orde baru. Sebagai akibat dari  tidak adanya lagi tindakan yang bersifat censorchip di awal penerbitan, menjadi suatu keniscayaan bahwa konsekwensi atas pelaksanaan fungsi dan hak yang diberikan oleh Pasal 28 F UUD 1945 adalah tunduk kepada pembatasan hukum berdasarkan undang-undang.

Begitupun halnya dengan produk jurnalistik, produk media massa, produk jurnalisme warga, atau produk-produk apapun bertalian dengan manivestasi dari freedom of the press yang tercakup di dalam freedom of expression, undang-undang masih mengatur beban pertanggungjawaban hukum sepanjang perbuatan yang dilakukan memenuhi rumusan delik di dalamnya. Restriksi berdasarkan undang-undang, lagipula diberlakukan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, reputasi seseorang, keamanan nasional dan menjamin terselenggaranya ketertiban umum di tengah-tengah masyarakat (lihat article 19 paragraph(3) ICCPR sebagaimana telah diratifikasi UU No.12 Tahun 2005). Walaupun penegakkan hukum terhadap pers itu harus bersifat demokratis dan tidak seyogyanya dilakukan secara ongebredeild(merajalela), namun menyatakan bahwa produk jurnalistik tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, lebih-lebih hanya teruntuk perusahaan pers yang sudah terverifikasi adalah pernyataan yang sesat dan bukan lagi ranah kewenangan dari Dewan Pers.

Alih-alih mengurusi persoalan verifikasi, perkembangan kehidupan pers yang dibarengi dengan perkembangan teknologi informasi lebih layak untuk dijadikan perhatian. Fenomena jurnalisme warga yang kini sudah tak lagi terbendung, justeru semestinya lebih mendorong pihak Dewan Pers untuk terlibat aktif dalam hal melakukan pembinaan terhadap cerminan wujud kedaulatan rakyat yang hakiki karena kedudukannya sebagai subjek hukum alami (naturlijk persoon). Namun yang terjadi justeru adalah sebuah ironi, ketika upaya pembinaan yang semestinya dapat dilakukan, paling tidak demi meminimalisir sajian informasi yang tidak beretika sebagai akibat penggunaan "instrumen pers" justeru layu sebelum berkembang dengan membangun sebuah argumen sektoral ; jurnalisme warga, masyarakat umum, bukan bagian dari masyarakat pers.

Menjadikan masyarakat pengguna media sosial maupun jurnalisme warga yang sehat semestinya juga menjadi bagian dari langkah strategis dari Dewan Pers dalam rangka mewujudkan suasana demokrasi yang sehat pula. Dus, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik jurnalistik baik terhadap masyarakat insan pers selaku individu maupun pihak penyelenggara dari unsur badan hukum harus menjadi "PR" Dewan Pers ke depan. Prinsip mengenai kode etik secara fundamental  adalah bersifat normatif. Sifat normatif dimaknai sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan manusia sebagai mahluk Tuhan yang berbudi. Secara mendasar, sikap standard yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan berpedoman pada batasan nilai-nilai moral, kepantasan dan kepatutan.

Dalam praktik, peran  Dewan dalam melakukan fungsi pengawasan demi memajukan kualitas kehidupan pers nasional sejauh ini hanya melulu terfokus kepada naskah kode etik tertulis semata. Menyandarkan kepada prinsip-prinsip yang polos berdasarkan standar moral sebagai pedoman perilaku profesi justeru lebih urgent karena sebagian pengaturan kode etik yang tertulis sudah tercakup di dalam ketentuan undang-undang. Persoalan conflict of interest di dalam pelaksanaan kegiatan jurnalisme baik oleh kalangan individu wartawan, maupun oleh para pelaku pengusaha media, justru di dalam pelaksanaannya patut dinilai mengandung bertentangan dengan nilai-nilai moral. Namun minim sekali putusan Dewan meskipun sebatas rekomendasi atas praktik perilaku jurnalisme  jurnalisme menyimpang.

Berikutnya, penyelenggaraan bisnis media dengan marup  keuntungan dengan menjual informasi-informasi yang  privacy sifatnya juga menjadi persoalan serius yang harus dibenahi.  Pengembanan fungsi media yang tak lagi mengindahkan aspek kepentingan umum dengan merambah kepada kehidupan pribadi, di tahun-tahun ini justeru kian sulit dibendung. Lebih-lebih, pemberitaan tersebut makin tersebar secara luas seiring berkembangnya perusahaan News Agregator. Pekerjaan pula bagi Dewan Pers, untuk turut melakukan kajian terhadap kedudukan news agregator berikut aturan main serta pertanggungjawaban mereka di dalam menjalankan usahanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun