Sejenak pisau di tangannya ia main-mainkan. Dirasainya mata pisau serdadu yang sengaja dibelinya dari temannya seorang kolektor kelengkapan militer. Ngeri juga Rustam membayangkan pisau yang satu sisinya tajam dan satu sisi lagi bergerigi itu menembus kulit dada dan menancap di jantung perempuan itu. Diambilnya botol chivas dari meja bundar kecil berlapis keramik di depan kursi ia duduk. Ditenggaknya isi botol itu yang tinggal seperempat hingga ludes.
Setelah lama bersusah payah menahan panas akibat cairan dari botol itu yang seketika membakar tenggorokan dan dadanya, api kemarahannya bertambah nyala. Kebenciannya semakin menjadi-jadi kepada perempuan itu.
Rustam berdiri. Ada yang terasa menghentak di kepalanya. Pandangannya nanar dan seisi rumahnya terlihat berputar. Ia berusaha tetap berdiri. Mengatur nafas. Membangun keseimbangan agar tidak jatuh.
Setelah mampu menguasai tubuhnya Rustam berjalan perlahan. Ia terus bergumam. Tidak jelas.
Rustam berjalan sangat pelan menuju kamarnya. Dari luar, dari celah pintu yang terbuka, Rustam melihat perempuan itu terbaring. Semakin membara hatinya. Semakin tak sabar ia menghabisi perempuan itu. Tapi keinginannya untuk segera menuntaskan perempuan itu tidak didukung oleh langkahnya yang sempoyongan.
Susah payah ia mendekat. Begitu sampai di sisi ranjangnya, Rustam berdiri mengamati perempuan itu dari ujung kaki hingga berhenti di wajah perempuan itu yang terlihat sangat pucat. Wajah lelah yang menampakkan perempuan itu sedang sakit.
Sudah seminggu perempuan itu terbaring tak berdaya. Sudah seminggu pula Rustam mendoakan kematian bagi perempuan itu. Dan selama itu Rustam merasa waktu berjalan sangatlah lamban. Kematian yang tak kunjung tiba membuat Rustam memutuskan untuk menjadi malaikat maut bagi perempuan yang kini terbaring di depannya. Kematian harus dibalas kematian.
Tak ada lagi halangan bagi Rustam untuk melampiaskan kemarahannya dan menghabisi nyawa perempuan itu. Hujan deras disertai badai dan halilintar terus-terusan menggelegar membuat Rustam tak perlu cemas teriakan perempuan itu didengar orang lain ketika pisau yang kini ada dalam genggamannya menusuk jantung perempuan itu. Siapa yang berani berkeliaran tengah malam begitu.
Di rumah itu hanya ada Rustam dengan sebilah pisau digenggamannya dan perempuan yang terbaring di depannya yang akan dibunuhnya. Perempuan yang dinikahinya secara sah tiga puluh tiga tahun yang lalu. Perempuan yang dari rahimnya telah tumbuh kesenangan-kesenangan dan harapan bagi Rustam kepada tiga lelaki yang dilahirkan perempuan itu. Perempuan yang dari mulutnya tak pernah keluar sepatah pun kata yang melukai hatinya. Perempuan yang setia menemaninya dari jatuh bangun kehidupan hingga Rustam berhasil membangun bisnis properti dan memiliki beberapa kantor perwakilan di Eropa.
Sekali lagi ia memandangi wajah istrinya yang terbaring. Dalam hatinya Rustam masih berharap malaikat maut yang sesungguhnya datang mendahuluinya menunaikan tugas. Tapi malaikat maut sedang tidak di tempat. Dan Rustamlah kini yang harus bertindak.
Rustam berjalan mendekat. Semakin dekat. Kedua lututnya kini bertumpu ke sisi ranjang. Tekadnya telah bulat. Ditariknya nafas sedalam-dalamnya. Ditahannya. Matanya memejam. Kedua tangannya kemudian terangkat. Begitu ia akan menusukkan pisau itu, Rustam kembali membuka matanya untuk memastikan bahwa pisau itu benar-benar menikam tepat di dada istrinya dan tembus hingga ke jantungnya.