Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kereta Bayi

14 Januari 2016   15:50 Diperbarui: 18 September 2022   03:44 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: ©Shutterstock"][/caption]

Istriku pulang membawa kereta bayi berwarna merah, warna kesukasaannya, saat aku sedang membaca artikel kesehatan reproduksi. Aku menampakkan muka senang dan menyembunyikan keterkejutan saat dia dengan ketus mengatakan, “untuk persiapan.” Dengan muka masam ia letakkan kereta bayi itu di samping meja tivi dan buru-buru masuk ke kamar. Aku membiarkannya. Pagi telah lewat dan ia pasti segera keluar untuk menyiapkan makan siang kami berdua.

Kulihat dari dekat, kereta bayi itu masih baru, terlipat dalam bungkusan plastik, begitu juga rangka besinya masih terbungkus rapi. Entah darimana ia beroleh uang untuk membelinya. Sekarang masih tanggal tiga puluh. Selama ini, tak sekalipun ia membeli sesuatu yang belum kami butuhkan. Apalagi kereta bayi, barang yang cukup mahal bagi orang seperti kami, dan hanya bermanfaat hingga bayi berumur tiga bulan, paling lama enam bulan. Dan kenapa kereta bayi?

Sudah dua bulan istriku bersikap di luar dugaan. Sekali waktu, ia pergi tengah malam, katanya ia bermimpi didatangi mendiang ayahya. Ia sudah lama tidak berziarah – jangankan mengunjungi kampung orang mati, bertamu ke rumah ibu dan keempat saudara kandungnya yang masih hidup saja sudah sepuluh tahun tidak kami lakukan. Saat itu aku baru saja pulang, setelah sepuluh hari di lokasi kerja yang berjarak lima jam perjalanan dari rumah. Karena lelah, kubiarkan kekeraskepalaannya pergi sendiri. Begitu juga selama lima hari aku di rumah, setiap kali aku libur kerja, ia lebih banyak menghabiskan hari di pasar daripada berdua denganku. Katanya, ia sedang belajar dan ingin menjadi pedagang, agar kelak, lima tahun lagi, saat aku sudah pensiun, kami bisa punya usaha sendiri. Meski menanggung sepi sendiri di rumah – setelah lima belas tahun bekerja jadi buruh subkontraktor perusahaan minyak, dengan waktu kerja sepuluh hari dan libur lima hari dan menjadi asing di kampungku sendiri – aku tidak bisa mencegahnya karena alasannya baik dan demi kebaikan kami berdua di masa depan.

Segalanya bergerak dan berubah, pikirku. Istriku membutuhkan suasana lain selain hanya bersama denganku. Mungkin, kesendiriannya selama aku tidak di rumah, mengajarkannya untuk melakukan apa-apa yang bisa menghindarkannya dari depresi dan putus asa. Apalagi ia masih muda – umurnya masih tiga puluh dua dan kami terpaut tiga belas tahun. Namun, tetap saja aku merasa ada ganjalan di kepala yang tak bisa kujelaskan pada diriku sendiri saat melihat kereta bayi itu dan mengingat perubahan sikap istriku. Dan seketika, artikel-artikel yang belum tuntas kubaca – satu judul pun – kuletakkan di atas kereta bayi itu – kalau saja aku punya gadget, tentunya kereta bayi itu sudah kufoto dengan menampakkan judul artikel di atasnya dan kubagikan di akun facebook dan kuberi keterangan, ‘kereta bayi dan tanda-tanda kemandulan’ dan menandai akun facebook istriku.

Atau, mungkinkah artikel-artikel itu telah terbaca oleh istriku? Kumpulan artikel itu diberikan supervisorku di perusahaan untuk kupelajari, tiga bulan yang lalu. Aku membawanya pulang dan menyimpannya di lemari pakaian dan baru ingat untuk membacanya tadi pagi. Aku dan istriku tidak pernah dan tidak mau melakukan tes kemandulan. Kami tidak mau salah satu di antara kami menjadi tertuduh mandul dan itu merusak kebersamaan kami – bukan kebahagiaan, karena kami belum punya definisi tentang bahagia. Saat aku baru mulai membaca artikel itulah istriku pulang dengan wajah masam membawa kereta bayi berwarna merah.

Siang sudah lewat dan istriku masih di kamar. Barangkali ia tertidur. Aku tak tergerak membangunkannya dan memilih duduk di pinggir jendela dapur, menahan lapar, memandangi danau mati di belakang rumah kami yang penuh ditumbuhi eceng gondok. Danau itu bisa saja dipertahankan andai para pemancing yang biasa memenuhi pinggiran danau itu mau mencabuti eceng gondok itu saat mulai berpinak. Tanpa terasa airmataku meleleh. Sebuah melankolia yang selama ini kunisbikan. Aku merasa danau itu sebagai gambaran kami kelak di usia renta – tak seorang pun anak yang peduli dan mengurusi, pikun, digerogoti penyakit, mati.

Dua bulan lagi genap dua belas tahun kami menikah dengan gairah yang kian tipis. Lapisan-lapisan cinta dan pesona rumah tangga kami seperti lapisan kulit bawang, mengelupas dan hampir habis. Tak ada tunas yang tumbuh demi menambah lapisan yang dapat mempererat tali kasih di antara kami. Segala upaya telah kami coba, menumbuhkan tunas itu, hingga menumpas kepercayaan dan keyakinan kami.

Semula, aku berpikir kenyataan hiduplah yang menghalangi pembuahan di rahim istriku. Kami menikah tanpa bulan madu, saat aku mendapat izin cuti tahunan selama dua belas hari ditambah tiga hari untuk menikah. Demi menjalani prosesi adat dan pengurusan administrasi di KUA, hanya empat hari saja waktu yang tersisa bagi kami menuntaskan malam sepasang pengantin baru. Dan kebersamaan kami selanjutnya terhalang karena jarak dan kewajiban bekerja sebagai kepala keluarga. Begitulah awalnya aku berkesimpulan, kami bercinta di masa istriku sedang tidak subur, dan tak jarang aku di rumah saat istriku kedatangan tamu bulanan.

Tapi tak ada yang percaya dengan kesimpulanku itu. Begitu juga diriku sendiri. Di tahun kedua menikah kami menjalani terapi. Mulai dari dokter kandungan hingga dukun gadungan kami datangi; bersedekah setiap hari hingga tak pernah meninggalkan sholat dhuha dan sholat malam; berjenis-jenis obat kimia hingga ramuan herbal masuk ke tubuh kami; juga mantra-mantra dan doa-doa kami hapal dan rapalkan pada waktu-waktu yang ditentukan; sampai akhirnya kami menyerah dan meninggalkan semua usaha itu, juga iman.

Dan yang terburuk dari kenyataan yang pernah kami hadapi saat pindah dari rumah ibunya. Sudah tiga tahun kami menikah dan masih menumpang di rumah mertua. Sebagaimana adat, rumah itu adalah jatah istriku, karena ia perempuan paling bungsu, sedang keempat saudaranya laki-laki, semuanya sudah menikah dan masing-masingnya sudah punya rumah. Kejadian itu bermula saat mertuaku menyampaikan hasil rapat keluarga sehubungan dengan keinginan saudara istriku yang paling tua untuk menjadikan anaknya seorang polisi. Masing-masing orang dari kelima bersaudara itu diwajibkan menyumbang tiga puluh juta untuk menggenapkannya menjadi seratus lima puluh juta, angka yang disyaratkan seorang perwira. Aku tidak punya uang sebanyak itu dan aku baru saja menyelesaikan utang di bank untuk biaya pernikahan kami dulu. Keluarga istriku tidak mau mengerti dan menuduh kami kedekut. Mereka termakan anggapan kebanyakan orang kampung tentang gaji besar pekerja perusahaan minyak yang mencapai belasan bahkan puluhan juta. Mereka tidak bisa membedakan karyawan tetap perusahaan minyak dengan buruh subkontrak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun