Objektifikasi tersebut ditujukan untuk menggambarkan perempuan secara erotis yang tujuannya untuk membangkitkan gairah seks yang dikendalikan oleh kaum adam. Permpuan dalam film horor era itu selayaknya film pornografi dimana perempuan hanyalah representasi objek imaji dan fantasi laki-laki untuk memenuhi hasrat seksualnya. Pada era sekarangpun nyatanya masih banyak yang belum menyadari bahwa hal tesebut merupakan bentuk objektifikasi terhadap perempuan dan merupakan masa kelam industri perfilman bergenre horor di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa objektifikasi tersebut memang terjadi di kehidupan sehari hari masyarkat Indonesia. Sebagian besar penelitian juga mencatat akan bagaimana perempuan menjadi suatu tujuan diperlakukan secara seksual dalam kehidupan sehari-harinya (Hermawan & Erland Hamzah Universitas Moestopo, 2017) dalam (Fredrickson & Robert, 1997; Moradi & Huang, 2008; Bartky, 1990).Â
Apa yang dicitrakan di layar lebar tersebut juga sejatinya adalah gambaran nyata dari objektifikasi dan patriarki yang sudah mendarah daging di Indonesia. Itulah mengapa tontonan seperti itu bisa laris manis. Perempuan sebagai individu seharusnya tidak dianggap lebih rendah derajatnya dari laki-laki. Perempuan harus dianggap setara dan sama.Â
Namun kenyataannya di Indonesia masih banyak yang menganggap  dan memandang perempuan setara dengan laki-laki. Terutama masyarakat yang menganut sistem patriarki. Harusnya hingga saat ini tidak hanya pada era 2000-an awal, objektifikasi terhadap perempuan perlu mendapatkan perhatian yang lebih dan serius di masyarakat.Â
Perempuan perlu digeser posisinya bukan lagi sebagai kaum sub-ordinat yang terpinggirkan, tetapi  diperkuat posisinya. Objektifikasi bersumber dari budaya patriarki yang membuat kekuasaan laki-laki lebih besar dari perempuan. Salah satu bentuk kekuasaan tersebut adalah kekuasaan seksual. Dominasi gender tersebut yang memungkinkan film horor seksual pada era 2000-an awal dapat muncul.
Berkaca dari tahun 2000-an awal dimana film-film horor bernuansa seksual yang mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan marak adanya. Kita seharusnya sadar bahwa praktik-praktik penempatan perempuan seperti itu selayaknya sudah tidak lagi hadir pada era sekarang. Dimana masyarakat sudah lebih terbuka dan lebih bisa berpikir secara kritis melalui kemajuan teknologi.Â
Para perempuan juga perlu mengedukasi dirinya mengenai value yang dimiliki serta kehormatannya sebagai seorang perempuan, agar tidak terjebak dalam praktik patriarki. Sebagai sineas atau pembuat film tentu perlu memiliki rasa sensitivitas terhadap isu tertntu terutama isu terhadap hak asasi dan perempuan.Â
Hal ini perlu agar karya yang diciptakan oleh para sineas tidak sebatas hanya rasa kapitalisme semata dan untuk mencari kuntungan. Tetapi, perlu sadar bahwa nilai yang diusung dalam industri dan film yang mereka ciptakan tentu akan berdampak pada masyarakat bagaimanapun bentuknya.
Objektifikasi terhadap perempuan akan sulit dihilangkan karena akan selalu tumbuh dimasyarakat. Sineas dan film-film merupakan suatu contoh dari bentuk budaya popular yang bisa merubah pola pikir khalayak. Sebagai khalayak yang menerima suatu tontonan dari suatu media kita juga perlu aware dan memiliki sensitivitas terhadap suatu tontonan yang kita tonton, apakah suatu tontonan bisa dikatan baik atau buruk. Meskipun era film horor seksual telah selesai dan sudah banyak yang sadar dengan lebih mengedepankan cerita, cast, dan juga visual yang memanjakan dan membuat tegang penonton.Akan tetapi, bentuk tersebut dapat terulang kembali dan bisa jadi disampaikan dalam medium audio visual yang lain.
Daftar Pustaka
Ananto Adhy Prabowo, P. (2018). Penerimaan Khalayak Terhadap Obejektifikasi Seksual Perempuan di Komik Instagram @hastagbebih.