Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Syabani
Muhammad Iqbal Syabani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Hanya seorang mahasiswa yang mencoba meraih segalanya dalam hidup agar tidak menyesal di hari tua. Saya suka musik hip-hop dan hobi saya mendengarkan siniar serta desain grafis. Pada platform ini saya akan menulis mengenai hal yang saya sukai dan kehidupan perkuliahan di Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Kembali Objektifikasi Perempuan pada Film Horor Indonesia Tahun 2000-an, Hal yang Patut Disyukuri Hilang pada Era Sekarang

8 Januari 2024   16:55 Diperbarui: 8 Januari 2024   17:13 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Objektifikasi tersebut ditujukan untuk menggambarkan perempuan secara erotis yang tujuannya untuk membangkitkan gairah seks yang dikendalikan oleh kaum adam. Permpuan dalam film horor era itu selayaknya film pornografi dimana perempuan hanyalah representasi objek imaji dan fantasi laki-laki untuk memenuhi hasrat seksualnya. Pada era sekarangpun nyatanya masih banyak yang belum menyadari bahwa hal tesebut merupakan bentuk objektifikasi terhadap perempuan dan merupakan masa kelam industri perfilman bergenre horor di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa objektifikasi tersebut memang terjadi di kehidupan sehari hari masyarkat Indonesia. Sebagian besar penelitian juga mencatat akan bagaimana perempuan menjadi suatu tujuan diperlakukan secara seksual dalam kehidupan sehari-harinya (Hermawan & Erland Hamzah Universitas Moestopo, 2017) dalam (Fredrickson & Robert, 1997; Moradi & Huang, 2008; Bartky, 1990). 

Apa yang dicitrakan di layar lebar tersebut juga sejatinya adalah gambaran nyata dari objektifikasi dan patriarki yang sudah mendarah daging di Indonesia. Itulah mengapa tontonan seperti itu bisa laris manis. Perempuan sebagai individu seharusnya tidak dianggap lebih rendah derajatnya dari laki-laki. Perempuan harus dianggap setara dan sama. 

Namun kenyataannya di Indonesia masih banyak yang menganggap  dan memandang perempuan setara dengan laki-laki. Terutama masyarakat yang menganut sistem patriarki. Harusnya hingga saat ini tidak hanya pada era 2000-an awal, objektifikasi terhadap perempuan perlu mendapatkan perhatian yang lebih dan serius di masyarakat. 

Perempuan perlu digeser posisinya bukan lagi sebagai kaum sub-ordinat yang terpinggirkan, tetapi  diperkuat posisinya. Objektifikasi bersumber dari budaya patriarki yang membuat kekuasaan laki-laki lebih besar dari perempuan. Salah satu bentuk kekuasaan tersebut adalah kekuasaan seksual. Dominasi gender tersebut yang memungkinkan film horor seksual pada era 2000-an awal dapat muncul.

Berkaca dari tahun 2000-an awal dimana film-film horor bernuansa seksual yang mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan marak adanya. Kita seharusnya sadar bahwa praktik-praktik penempatan perempuan seperti itu selayaknya sudah tidak lagi hadir pada era sekarang. Dimana masyarakat sudah lebih terbuka dan lebih bisa berpikir secara kritis melalui kemajuan teknologi. 

Para perempuan juga perlu mengedukasi dirinya mengenai value yang dimiliki serta kehormatannya sebagai seorang perempuan, agar tidak terjebak dalam praktik patriarki. Sebagai sineas atau pembuat film tentu perlu memiliki rasa sensitivitas terhadap isu tertntu terutama isu terhadap hak asasi dan perempuan. 

Hal ini perlu agar karya yang diciptakan oleh para sineas tidak sebatas hanya rasa kapitalisme semata dan untuk mencari kuntungan. Tetapi, perlu sadar bahwa nilai yang diusung dalam industri dan film yang mereka ciptakan tentu akan berdampak pada masyarakat bagaimanapun bentuknya.

Objektifikasi terhadap perempuan akan sulit dihilangkan karena akan selalu tumbuh dimasyarakat. Sineas dan film-film merupakan suatu contoh dari bentuk budaya popular yang bisa merubah pola pikir khalayak. Sebagai khalayak yang menerima suatu tontonan dari suatu media kita juga perlu aware dan memiliki sensitivitas terhadap suatu tontonan yang kita tonton, apakah suatu tontonan bisa dikatan baik atau buruk. Meskipun era film horor seksual telah selesai dan sudah banyak yang sadar dengan lebih mengedepankan cerita, cast, dan juga visual yang memanjakan dan membuat tegang penonton.Akan tetapi, bentuk tersebut dapat terulang kembali dan bisa jadi disampaikan dalam medium audio visual yang lain.

Daftar Pustaka

Ananto Adhy Prabowo, P. (2018). Penerimaan Khalayak Terhadap Obejektifikasi Seksual Perempuan di Komik Instagram @hastagbebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun