Pendahuluan
Selama ini konsep religiusitas dan agama masih dianggap sama, hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah Halal Tourism yang sering merujuk pada Islamic Tourism. Bagai pinang dibelah dua, kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan dalam benak dan pikiran kita.Â
Ditambah lagi, masih sedikitnya literatur yang membahas hubungan antara pariwisata dan religiusitas, sehingga masyarakat masih bertanya-tanya terkait kemurnian konsep halal yang diterapkan pada industri tersebut. Apakah sesuai dengan Syariat Islam atau tidak. Selain itu, karena hal ini pula lah mayoritas dari kita menganggap Halal Tourism hanya diperuntukkan bagi muslim dan negara yang menerapkan hukum dan praktik Islam saja.
Sebenarnya religius dan agama berbeda, di mana menurut Weaver & Agle (2002) agama dikonsepkan sebagai komitmen berkelanjutan dari suatu kepercayaan yang sering kita sebut dengan iman, seperti Islam, Kristen, Buddha, Yudaisme, dan lainnya. Sedangkan religiusitas menggambarkan fokus agama dalam kehidupan seseorang, yang mengarahkannya agar sesuai dengan ekspektasi peran religius (El-Gohary, 2016).Â
Secara sederhana, agama merupakan komitmen dari suatu keyakinan sedangkan religius lebih mendeskripsikan komitmen tersebut melalui nilai, sikap, dan perilaku seseorang. Dengan demikian, Halal Tourism merupakan bagian dari Religious Tourism yang tentunya berbeda dari Islamic Tourism (hanya agama Islam saja, yang cenderung dikonotasikan dengan orang-orang muslim saja).
Produk dan kegiatan dalam industri pariwisata halal harus memenuhi kriteria yang sesuai dengan Syari'at Islam. Meskipun banyak penyedia Halal Tourism di seluruh dunia menjamin 100% kehalalan produk mereka. Tetapi, Hatem El-Ghohary sebagai penulis percaya bahwa hal ini tidak benar karena masih banyak penyedia Halal Tourism yang tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan dalam Syari'at Islam dan/atau konsep halal.Â
Sebagai contoh, hotel, perusahaan, dan lainnya sebagai penyedia mungkin masih melakukan kegiatan haram (non-halal) dalam tempat mereka. Misalnya menyediakan alkohol, menawarkan tarian yang menjurus erotisme, klub malam, dan saluran televisi dengan kecenderungan konten yang tidak senonoh.
Tujuan
Tujuan dari jurnal ini adalah untuk menunjukkan penggunaan istilah yang benar terkait Halal Tourism dan Islamic Tourism, karena sering terjadi ambiguitas dari kedua istilah tersebut. Selain itu, masih ada yang mengganjal terkait kemurnian halal dari industri ini, sehingga patut dipertanyakan dan dibuktikan kebenarannya. Meskipun penulis sendiri, Hatem El-Gohary, masih menghadapi berbagai kendala dikarenakan minimnya literatur yang membahas Halal Tourism. Tetapi setidaknya perspektif penilaiannya terkait kemurnian indutri pariwisata yang melabelkan dirinya halal masih bisa diterima secara logika dan pemahaman terkait syariat Islam. Dan terakhir, menjelaskan dampak dari Halal Tourism bagi perekonomian negara yang menerapkannya.
Metode Penelitian
Pendekatan konseptual dan teori manajemen terkait salah satu elemen dari empat bauran pemasaran (marketing mix), yaitu Produk di mana dari awal hingga akhir pembahasan jurnal penulis menekankan konsep Halal Tourism secara bertahap, sehingga pembaca dapat memahami dengan lebih mudah.Â
Mulai dari definisi, akar konsep, prinsip, dampak, hingga kesimpulan di mana Konsep Halal dibentuk berdasarkan kebutuhan Muslim dalam memiliki produk yang diizinkan, diterima, dan dibolehkan secara agama. Selanjutnya, produk halal dan muslim-friendly yang diterapkan pada industri pariwisata merupakan produk Syariah-compliant, meliputi makanan dan minuman yang disediakan, transportasi, layanan penginapan, tour guide, dan lainnya (El-Gohary, 2016).
Kesimpulan
Setidaknya terdapat lima hal terkait Halal Tourism yaitu pertama, Islamic Tourism berbeda dengan Halal Tourism. Kedua, penggunaan istilah Halal Tourism lebih tepat, sehingga tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslim saja melainkan non-muslim juga. Ketiga, Halal Tourism berdampak positif terhadap perekonomian negara yang menerapkannya, baik negara dengan mayoritas penduduk muslim maupun tidak1. Keempat, sulit menerima Halal Tourism itu benar-benar halal. Dan terakhir, minimnya data dan literatur lain terkait hubungan antara tourism dengan konsep religiusitas.
1] keterangan:
Table 1 Top Muslim  Tourism Expenditure Countries (US$ Billion)
Source: The World Halal Travel Summit (2015)
Di mana mereka terpacu untuk berinovasi membuat produk muslim-friendly, terutama pada sepuluh negara di atas. Dan menariknya, Russia yang notabenenya bukanlah negara muslim termasuk ke dalam Top Ten yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga Halal Tourism bukan hanya untuk umat muslim saja, melainkan non-muslim pula.
Hikmah
Halal Tourism bersumber pada Syariat Islam yang berdampak besar terhadap travelling yang mendorong pariwisata (tourism). Nilai-nilai Islami yang diterapkan pada industri pariwisata yang melabelkan dirinya halal tersebut bersifat universal, sehingga tidak hanya diperuntukkan bagi umat muslim saja melainkan non-muslim pula. Hal ini serupa dengan salah satu ayat al-Qur'an yang artinya, "Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia" (QS. Al Anbiya: 107). Karena Islam merupakan rahmat bagi setiap manusia, nilai-nilai yang melekat padanya, termasuk halal juga dapat dinikmati oleh seluruh umat di penjuru dunia.
Referensi
Cline, Austin. "Religion Vs. Religious: If Something Religious, Is it a Religion?" Retrieved May 7, 2018 (https://www.thoughtco.com/religion-vs-religious-250712).
El-Gohary, H. (2016). Halal Tourism, is it really Halal? Tourism Management Perspectives. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2015.12.013
 Purnama, Yulian. "Islam, Rahmatan Lil 'Alamin". Retrieved May 8, 2018 (https://muslim.or.id/1800-islam-rahmatan-lil-alamin.html).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H