Berpolitik atau memutuskan berkarier di bidang politik itu adalah Hak Konstitusi dari setiap warga negara. Ketentuan itu ada di UUD 45 dan UU lainnya. Meskipun demikian sebenarnya menjadi seorang Politisi itu bukan perkara yang mudah. Tidak semua orang mampu untuk menjadi Politisi dimana dunia politik itu umumnya selalu penuh intrik dan kepalsuan.
Hanya orang-orang yang bermental baja saja sekaligus smart sekaligus memiliki kemampuan komunikasi yang tinggi saja yang bisa menjadi Politisi.  Itupun membutuhkan syarat popularitas dan dukungan dari massa yang besar.  Kurang 1 dari syarat tersebut  rasanya sangat sulit bagi seseorang untuk bisa menjadi seorang Politisi.
Penulis Kompasiana Yon Bayu sempat menulis peluang Veronica Tan untuk dapat berkiprah di dunia politik paska Ahok sudah kalah di Pilkada DKI dan Divonis 2 tahun penjara. Saya pikir wajar-wajar saja bila seorang  atau beberapa pendukung Ahok memikirkan hal tersebut.
Setidak-tidaknya ide itu kalau bisa terwujud tentu dapat mengobati kekecewaan para pendukung Ahok.
Saya melihat dan membaca tulisan Yon Bayu berikut juga membaca komentar-komentar dari pendukung Ahok akhirnya ingin sumbang suara untuk itu.
Analisa Yon Bayu berdasar pada 3 hal yaitu :
1.Hilangnya kesempatan Ahok untuk maju di Pilpres 2019 karena posisinya di Penjara membuat baik Ahok dan para pendukungnya kehilangan harapan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Untuk itu dibutuhkan seorang tokoh substitusi (penggantinya) dan Veronica Tan dinilai pantas oleh Yon Bayu.
Menurut Yon Bayu, meskipun kecil kemungkinannya tetapi bisa saja PDIP mendukung duet Jokowi-Veronica Tan di Pilpres 2019 mendatang.
Tanggapan saya kurang lebih seperti ini.
Sebenarnya meskipun Ahok tidak dipenjara atau divonis bebas oleh Pengadilan atas kasusnya, peluang Ahok untuk mendampingi Jokowi di Pilpres 2019 itu sungguh amat kecil kemungkinannya.  Ahok bukan saja harus  bersaing dengan Puan, Gatot Nurmantyo, Setya Novanto dan lainnya yang lebih kuat punya dukungan politik , Ahok juga kurang memiliki massa pendukung pribadinya. Â
Berkaca dari Pilkada DKI dukungan Ahok terbesar sebenarnya berasal dari kalangan double minority plus massa dari partai-partai pendukungnya.  Tetapi sebenarnya juga  tidak semua kalangan double minminority itu mendukung Ahok yang kontroversial.
Dari level DKI saja sudah sulit bagaimana dengan level Nasional?  Belum lagi sosok kontroversial Ahok dengan mulut kotornya, rasanya kok berobsesi  untuk menjadikan Ahok sebagai  Wakil Presiden itu sangat jauh dari jangkauan logika.
Logika itu akhirnya membawa ke logika berikutnya : Jangankan Veronica Tan, Ahok sendiri yang maju untuk menjadi Cawapres 2019 saja sudah sangat sulit membayangkannya.
2.Yon Bayu menganalisa bahwa Smart, Muda dan Cantik adalah modal Veronica Tan untuk berpolitik. Kalau menurut saya sih mohon maaf bahwa Kriteria-kriteria itu sangat jauh untuk  berhubungan dengan prasyarat politisi papan atas. Kriteria Smart itu terlalu umum dan terlalu luas rangenya. Kriteria Muda itu tidak dikenal sebagai factor signifikan untuk popularitas maupun elektabilitas. Dan Cantik atau Ganteng itu nomor sepuluh dari sosok politisi yang diinginkan masyarakat. Cantic dan ganteng itu hanya bumbu penggugah selera saja sementara factor utamanya lebih kepada sosok yang bisa membumi atau tidak.
Ketiga kriteria ini tidak pantas untuk dijadikan analisa sebagai syarat Politisi di level Nasional.
3.Yon Bayu berargumen bahwa Veronica Tan sudah kenyang pahit-manisnya dunia politik karena sudah lama mendampingi suaminya sejak dari Belitung Timur.  Saya pikir Kriteria ini juga terlalu kecil kualitasnya untuk disebut sebagai  Modal Berpolitik.
Sangat banyak istri-istri para Politisi Nasional yang belasan tahun hingga puluhan tahun mendampingi suaminya yang berprofesi sebagai Politisi tetapi sepertinya tidak ada satupun yang pernah berpikir kea rah sana.
Kalau di Daerah-daerah di level Kabupaten/Kota untuk kondisi itu memang masih masuk akal. Link Politik dari suaminya memang sangat masuk akal digunakan sebagai modal politik untuk bertarung di Pilkada. Massa pendukung juga mudah dikondisikan.
Tetapi kalau di level Nasional, Â rasanya sangat sulit untuk membayangkan siapapun baik Pria maupun Wanita yang ingin menjadi Cawapres tetapi tidak punya dukungan massa dalam level nasional.
Mohon maaf untuk pak Yon Bayu. Saya menghargai  harapan anda sebagai Pendukung Ahok tetapi rasanya bila menggulirkan ide yang maaf terlalu dangkal kepada para pendukung Ahok itu hanya wacana yang kurang mencerdaskan. Saya kuatir bila ide itu membesar maka hanya akan menjadi  ketidak-cerdasan masal pada para pendukung Ahok. Maaf mungkin saya berlebihan tetapi memang begitulah pendapat saya.
Saya mengatakan hal itu karena selama ini banyak sekali pendukung Ahok yang asal mendukung. Â Entah karena factor sama-sama double minority entah karena factor sudah dalam terprovokasi oleh media-media mainstream sehingga mereka tidak bisa melihat kekurangan dari sosok Ahok sesungguhnya.
Mereka mendukung Ahok secara gila-gilaan. Membutakan mata dan pikiran mereka sehingga mereka tidak menyadari realitas sebenarnya bahwa Ahok begitu kontroversial. Â Kontroversial di Kasus-kasus Sumber-waras dan Reklamasi dan kontroversial atas ucapan-ucapannya.
Akhirnya terbukti di Pilkada DKI Ahok kalah telak. Angka kekalahan 18% itu bukan Rekayasa. Itu fakta bahwa semua kontroversialnya Ahok mengakibatkan kekalahannya.
Yang tidak diinginkan dalam pengguliran ide  Veronica Tan ialah para pendukung Ahok kembali mendukung Veronica Tan tanpa alasan kuat. Hanya sekedar pengganti kekecewaan lalu mereka kembali  lagi membuat kesalahan.
Seharusnya Hasil Pilkada DKI kemarin bisa membukakan mata para pendukung Ahok bahwa belum tentu semua hal yang mereka yakini tentang Ahok adalah suara mayoritas dari masyarakat DKI yang melihat Ahok sebagai sosok yang seperti apa. Â Para pendukung Ahok melihat dan menyimpulkan Ahok sebagai sosok Pahlawan sementara mayoritas penduduk DKI menilai Ahok sebagai sosok yang kontroversial yang tidak patut untuk dipilih lagi.
Mendukung seseorang haruslah dengan berbagai pertimbangan logika. Â Jangan karena kita suka sekali dengan ketokohannya akhirnya kita membutakan mata dan pikiran kita terhadap aspirasi orang lain.
Satu hal lagi saya menyoroti komentar-komentar pembaca artikel Yon Bayu yang menyamakan Veronica Tan dengan sosok Aung San Suu Kyi dan Corry Aquino. Waduh. Itu terlalu jauh perbandingannya.
Dukungan kedua tokoh itu berbasis dukungan massa pendukung level nasional terhadap suaminya. Kiprah politik dari suami-suami mereka sudah puluhan tahun dan membumi di masyarakat mereka. Wanita-wanita itu sama dengan level Megawati yang memang punya massa pendukung di level Nasional dari masing-masing negaranya.
Terlalu jauh membandingkan Veronica Tan dengan Aung San dan Corry. Membandingkan dengan Megawati saja cukup jauh. Dan kita semua tahu Megawati saja yang puluhan tahun berpolitik tidak punya elektabilitas yang cukup untuk bersaing di level top nasional. Apalagi seorang Veronica Tan yang belum diketahui kapabilitasnya seperti apa.
Mendukunglah dengan segala pertimbangan logika yang komprehensif. Jangan pernah mendukung tokoh karena hanya mengaguminya saja karena semua orang berbeda-beda  dalam mengagumi tokoh-tokoh yang ada.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H