MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (Bag.5, habis)
Â
Â
Â
P U N C A K Â G A W A I
Hari kedelapan dari rangkai kegiatan sebelumnya, merupakan puncak acara tradisi adat begawai urang Belitong. Di hari puncak itu semua undangan; keluarga besar kedua belah pihak pengantin serta warga kampung tersebut boleh hadir dalam perayaan gawai itu. Inilah yang disebut dengan gawai gede. Dalam tradisi gawai gede lahirlah ungkapan "Gawai Gede Laok Terong". Istilah ini muncul karena ada candaan dari  tiga pelaku seni atau tokoh seni Belitong yaitu Pak Sidiq (seniman syair dan lagu Belitong) kemudian Pak Ali Butak (Seniman musik yang matanya buta) serta Pak Joni Rodit (Seniman Musik; penyanyi dan pemusik).
Istilah tersebut bermula dari mereka bertiga Ketika usai mereka bermusik di pesta gawai gede di sebuah tempat di Belitong. Saat mereka makan bedulang Pak Joni Rodit dan Pak Sidiq mencandai Pak Ali. Begitu Pak Ali Butak ingin mengambil lauk di salah satu piring dalam dulang, timbullah usilnya kedua kawan itu menukar piring itu dengan piring lauk berisi masakan terong, Pak Ali Butak meraba masakan terong itu lalu mencoba ke piring lainnya, tangan jahil kedua temannya itu Kembali menukar piring tersebut dengan piring yang tadi berisi terong. Hingga piring Ketika dicoba lagi namun ditukar lagi.
Karena piring ketiga dirasa tetap sama berisi terong maka terucaplah rasa jenggkel Pak Alik Butak, "Masa, gawai segede ini hanya laok terong!".
Begitulah candaan itu terjadi dan istilah "gawai gede laok terong" kemudian dimaknai buat menyindir tentang hajatan besar tapi makanan yang tersedia tak sepadan dengan kebesarannya.
- Hari kedelapan (Minggu): Sejak pagi, Pengulu Gawai menyiapkan acara gawai (kundangan): dari persiapan perlengkapan, kerapian hiasan, kesiapan makanan, serta para pegawai dengan semua para tukangnya.
- A y a m  P a n g g a n g
- Â
- Pagi ini juga, jika ada yang khataman Alquran maka setiap pengkhatam akan menempatkan semacam sajian berupa ayam panggang dan nasi pulut (nasi kuning ketan), juga "Jaja' Cucor" (Jaja' atau kue cucor berjumlah seratus setiap orang yang pernah menjatuhkan Alquran dari tangannya selama dia belajar mengaji) "Ayam Panggang ketan" serta "Jaja' Cucor ditempatkan di dekat "Telok Tamat"
- K h a t a m  A l q u r a n
- Â
- Sebelum berkhatam, biasanya "Mace Surat" atau dikenal juga dengan sebutan "Marhaban", dimulai dari pagi, dibaca oleh satu dua orang dengan lantang sehingga terdengar jauh buat menyerukan kepada orang yang bakal kundangan atau segera untuk ikut bergabung "Mace Surat". Proses ini menandai bahwa pihak rumah yang begawai sepenuh sukacita bakal menyambut kedatangan pengantin pria untuk duduk bersanding dengan pengantin perempuan.
- Usai para lebai dan tetua kampong "Mace Surat", para pengkhatam Alquran bergilir untuk menamatkan bacaannya. Tradisi Khatam Alquran juga disebut "Betamat" yaitu menamatkan pembelajaran kitab suci Alquran. Para bujang dan dayang yang betamat berharap agar mereka segera mudah berjodoh. Pengantin perempuan selalu ikut bekhatam meski mungkin sebelum dulu  menikah ia sudah melakukannya. Itu memaknai bahwa dirinya adalah perempuan suci dan beriman, yang kelak sanggup mendidik anak-anak dari suaminya menjadi anak yang soleh dan soleha.
- Â
-        Selepas bekhatam, barulah para penjemput atau "Tukang Ngambelek Penganten Pria" siap berangkat bersama "Tukang Ngaraknya". Kali ini Tukang ngambelek pengantin tanpa tukang Payung Lilin karena siang hari. Tukang Payung Lilin digantikan oleh tokoh "Kepala rombongan yang memimpin  Pengantin Pria" menuju rumah pengantin perempuan (tokoh ini adalah seorang yang bakal berdiplomasi di acara Berebut Lawang, tugas dirinya ditunjuk oleh pihak keluarga pengantin pria atau juga oeh pihak pengantin perempuan).
- Tukang Ngambelek Pengantin Pria mesti cerdas memperkiraan kedatangan mereka pas saat acara bekhatam telah selesai. (Perkiraan datangnya penganten pria, acara bekhatam telah rampung). Selama penjemputan tersebut Penganten perempuan yang jika juga sudah selesai bekhatam, terus Kembali dipingit oleh Mak Inang di dalam kamar pengantin.
- Ketika prosesi Ngabelek Pengantin di rumahnya atau di rumah anggorannya, Tukang Ngambelek akan bertemu dengan pihak yang mendampingi atau wakil Pengantin pria lalu berdialog langsung dengan keperluan buat menjemput dan mengawal penganten pria untuk disandingkan di rumah pengantin perempuan. Serah terima biasanya berlangsung singkat secara adat beradat, semacam serah terima pengawalan dan pengarakan. Setelah usai serah terima para "tukang ngambelek" mengawal rombongan penganten pria menuju rumah penganten perempuan.
- Rombongan ini bergerak didahului para pengarak (para pegendang hadra dengan lagu khasnya) mereka berjalan kaki, pengantin pria ditandu oleh empat orang pemikul, sedang rombongan keluarga pengantar biasanya para Ibu juga dayang dan bujang (para remaja) membawa beraneka "antaran" berupa barang-barang kesukaan mempelai perempuan yang sudah dihias seelok mungkin, misal kain dibentuk rupa burung atau perahu, sedang barang aneka lainnya dibuat parsel atau kotak hias berkesan "nyeni" hingga mewah. Secara adat tentu saja rombongan ini membawa tipak sirih-pinang sebagai acara "sekapur sirih" ketika datang nanti ke rumah mempelai perempuan.
- B e r e b u t  L a w a n g
- Ketika rombongan ini sampai di muka halaman mereka dihadang (diambat) dengan seutas tali (kadang kala tali tersebut dilumuri arang atau gemuk hewan agar tak disentuh orang yang terhadang) Hambatan ini akan ada tiga tempat, pertama di muka halaman rumah, kedua di muka pintu utama rumah, dan ketiga di muka kamar pengantin, ke semua rangkaian hambatan ini disebut "Berebut Lawang"
- Pengertian lawang secara filosofisnya adalah "gerbang" masuk secara simbolik, di muka halaman rumah memaknai bahwa sang Pengantin Pria siap masuk ke dalam masyarakat di wilayah istrinya nanti, di gerbang kedua pada muka pintu utama rumah pengantin bahwa sang Penganti Pria siap menjadi keluarga besar pihak istrinya nanti, sedangkan symbol terakhir di muka pintu kamar Pengantin Perempuan, secara simbolik sang Pengantin Pria siap berumah tangga dengan istrinya nant).
- Tokoh pengambatnya (penghadangnya) yaitu di muka halaman rumah oleh Tukang Tanak, di muka pintu utama oleh Pengulu Gawai, di muka kamar penganten oleh Mak Inang, ke semua mereka mahir berdiplomasi hingga berdebat secara santun hingga berpantun. Tetapi adakalanya tokoh pengambat pengantin ini tak menggunakan pantun tapi "berdebat secara melucu" sehingga rombongan yang dihambat juga masyarakat yang menyaksikan jadi terhibur. Penggunaan pantun secara efektif atau marak digunakan awal tahun 1980an, sebelumnya lebih banyak diplomasi dan perdebatan. Kini, sudah taka da diplomasi and berdebatan, semua dialog menggunakan pantun.
- Di muka halaman, rombongan pengantin yang membawa hantaran diperkenan masuk tapi sang Pengantin Pria tidak dibolehkan, setelah rombongan masuk, lalu pengantin pria diperkenankan turun dari tandunya, dengan terus dikawal dan didampingi kepala rombongan. Kemudian kepala rombongan maju ke muka.
- Di muka halaman ini, kepala rombongan dan pengantin pria dihambat oleh Tukang Tanak, biasanya penonton disemarakan ulah Tukang Tanak dengan polah tingkahnya; ada kalanya ia bertudungkan kerak nasi (dibuat menyerupai capin atau terindak buat memayungi kepala (dibuat sedemikian rupa namun tentunya kerak nasi tersebut dilapisi alas kepala yang bersih agar keraknya tak mengotori rambut atau sebaliknya).
- Payung kerak nasi unik itu seolah ia menandingi pengantin pria yang datang dengan dipayungi, adakalanya ia memakai kukusan kerucut bambu; yang ini seolah menyerupai "Antu Kukus" karena wajahnya juga dicoreng moreng, adakalanya hanya membawa "gelidau" yaitu pengayuh buat menggidau atau mengayuh beras yang ditanak.
- Kini, lakon sepenuh peran tersebut jarang dilakukan, tetapi sebagai pertanda si tukang tanak maka paling tidak ia membawa sekedar alat masak misal sendok atau pertanda lainnya yang berkait dengan alat dapur, yang penting melambangkan identitasnya.
- Jika rintangan atau hambatan di muka halaman oleh Tukang Tanak yang mahir berpantun tentu dilawan oleh pemimpin rombongan dari mempelai pengantin pria, keduanya berdebat menggunakan pantun saling memperolok menjatuhkan lawan. Dalam debat pantun ini, walau bagaimana pun rombongan pengantin mesti dapat masuk dengan mengalahkan debat pantun penghadang.
- Di masa lampau, materi pantun di muka halaman ini berkisar pada persoalan lingkungan sekitar rumah pengantin perempuan karena kehadiran pengantin lelaki ke situ merupakan datang ke lingkungan baru bakal di tempatinya, itu diibaratkan sang pangeran memasuki wilayah kerajaan sang putri yang sudah diperistrinya.
- Debat pantun merupakan usaha perundingan agar dapat masuk, namun di ujung perundingan tidaklah cukup tanpa ada "pekeras" yaitu semacam benda beharga atau upeti yang mesti diberikan kepada pengambat (masa lampau pemerian di muka halaman untuk Tukang Tanak biasanya "sesumpit" atau segantang beras putih terbaik, pemerian di muka pintu utama untuk Pengulu Gawai "sesumpit" atau segantang beras merah terbaik, sedang pemerian di muka kamar pengantin "sesumpit" atau segantang beras ketan terbaik.
- Tetapi sejak alat tukar berganti maka "pekerasnya" menggunakan uang, untuk tiga hambatan tersebut, jumlah uang dibagi tiga dengan rasio 2,3,5 sehingga jumlah genap 10 atau seratus; misalnya, di muka halaman 20 ribu, di pintu utama 30 ribu, di pintu kamar pengantin 50 ribu, rasio ini semacam kesepakatan yang sudah diatur antar mereka.
- "Berebut Lawang" memaknai bahwa seorang calon suami yang menikahi calon istrinya, tidaklah semudah memasuki wilayah umum. Maka ia mesti mengenal lebih dalam tentang lingkungan calon istri serta segenap keluarga besarnya, juga memasuki batin sang istri agar kelak didapatkan kehidupan yang harmonis.
- Â
- N g a m b o r  B e r a s  K u n y i t
- Sepanjang hambatan di tradisi "Berebut Lawang" seorang pegawai (dayang pembantu) dari Mak Inang menghamburkan "beras kunyit" ke atas pengantin pria (beras putih diwarnai kunyit sebagai pertanda syukur dari orangtua pengantin perempuan kepada mempelai pria yang datang menyandingi pengantin perempuan istrinya)
- Sepanjang acara berebut lawang berlangsung para penabuh hadra pun terus membahanakan gendang dan lagunya, dari penjemputan pengantin pria, terus di muka halaman ,lalu ke pintu utama rumah, terus masuk di muka pintu kamar pengantin. Semakin seru debat pantun maka semakin marak pula pukulan hadranya, namun jika diminta berhenti agar pembicara dapat menegaskan tujuannya maka harus berhenti.
- Di pintu utama rumah, pengantin pria dan kepala rombongan kembali di hadang, dipalang sehelai selendang, debat pantun dimulai lagi, materi pantun berkisar tentang berbagai pertanyaan seputar rumah dan keluarga, ini mengenai bagaimana kesiapan pengantin pria memasuki rumah mertua dan etikanya, ibarat tatakrama seorang pangeran hendak tinggal di istana raja dengan putrinya. Tapi di masa kini, spesifikasi itu tak diindahkan lagi, debat pantunnya sudah secara umum terkadang pantun seputaran pribadi sang pemantun saja.
- Pengulu Gawai dapat memperkenankan masuk jika "pekeras" sudah diberikan padanya. Selepas hambatan ini pengantin pria diarahkan penghulu gawai ke kamar pengantin namun di sini dihambat lagi oleh Mak Inang, debat pantun bersama Mak Inang adalah tentang kebatinan pengantin, misal pantun kesiapan calon suami memperistri mempelainya... intinya adalah sebuah kesungguhan rumah tangga yang bakal dijalani mereka, di ujung debat "pekeras" mesti diberikan ke Mak Inang, lalu pengantin diperkenankan memasuki kamar mempelainya.
- Para pemukul hadra terus menampar gendangnya dengan semarak agar kedua mempelai segera keluar dari kamar. Kedua mempelai diantarkan Mak Inang untuk duduk di "Kelice" pelaminan berupa kasur tipis. Setelah kedua mempelai duduk bersanding nyaman, penabuh gendang hadra menghentikan tabuhannya. Lalu Pengulu gawai memperkenankan ketua penabuh gendang menasehati kedua mempelai dengan berpantun, sesudah itu barulah pengulu gawai sendiri memberikan pantun nasehat, seraya dirinya pamit buat mengarahkan acara serah terima pengantin pria beserta barang barang hantarannya di telasar depan atau sering juga di hadapan pengantin dengan disaksikan oleh pihak pengantin laki-laki.
- Bersamaan dengan itu pasangan pengantin melakukan "seting" dan "ngelumping". Seting adalah penyampiran kain kuning bersulam emas atau perak oleh Mak Inang pertanda syahnya bernikahan mereka (pada mulanya seting di masa lampau dilakukan di keluarga raja, seting dilakukan oleh raja artinya diperkenan atau direstu oleh Raja). Kemudian di Masyarakat raja juga memberikan seting pada pihak tertentu atau pihak masayakarat yang memohon pada sang Raja, baik keluarga para saudagar atau tokoh Masyarakat biasa.
- Jika raja berkenan maka biasanya pasangan pengantin bakal memakai atau mengenakan pakaian mewah terbaik. Nah, pakaian pengantin mewah terbaik ini kemudian disebut "pakaian seting". Kini pakaian pengantin Belitong disebut Sting atau Seting). Ngelumping adalah kedua pengantin saling menyuapkan lumping ke mulut pasangannya (daun sirih yang diolesi kapur oleh Mak Inang)
- T r a d i s i  T e l a s a r
- Â
- "Tradisi Telasar" (Serah terima hantaran) didahului salam dan perkenalan secara adat oleh wakil pembicara dari pihak pengantin pria dengan menyodorkan tipak sirih pinang sebagai pelambang adat urang Belitong. Gayung pun bersambut disambut oleh Tukang Nyambut Pengantin (petugas atau pengawai yang sudah ditunjuk oelh pengulu gawai). Keduanya saling bersambutan kata saling bicara secara beradat sepenuh hikmat mengenai maksud dan tujuan mengantarkan semua "hantaran" yang dibawa dari pihak pengantin pria. Sesudah itu barulah hantaran dari penganti pria dibuka atau dibuktikan sesuai keterangan dari pihak pengantar. misalnya jika ada uang berapa jumlahnya, jika ada emas berapa beratnya, jika ada kain bagaimana rupanya, dan berbagai barang lainnya.
- Sesudah tradisi telasar (serah terima hantaran) pengulu gawai mengarahkan pasangan pengantin untuk menyalami semua hadirin di "bangsal telasar" juga di dalam ruangan besanding (tempat pengantin duduk besanding). Selepas itu barulah doa syukur serta keberkahan bagi pengantin dipimpin oleh lebai kampong (ulama masyarakat setempat).
- Â
- Usai doa syukur bersama, dilanjutkan makan gawai dimulai setelah pengulu gawai mengarahkannya. Dulang makanan diantarkan lebih dulu oleh tukang "Ngator Dulang" ke "bangsal telasar" untuk makan siang para tetua kampong serta rombongan pengantin pria. Lalu dulang berikutnya menyusul buat tamu kundangan yang duduk di bangsal besar atau blandongan. Biasanya makanan di dulang yang di telasar lebih dulu dipersilahkan oleh pengulu gawai dibuka oleh dukun kampong atau tetua adat setempat, atau lebai.
- Secara tradisi, anak-anak yang kampong yang hadir di acara gawai diberi kesempatan untuk makan lebih dulu di "telasar biak kecik". Hal tersebut agar para orangtua dan anak anak dapat makan secara tertib.
- Makan siang bersama di acara gawai memakai dulang merupakan tradisi makan "Urang Belitong" sejak lampau. Dulang awalnya terbuat dari banir kayu yang ringan kemudian hadir dulang terbuat dari kuningan, saat ini kedua jenis dulang tersebut jarang ditemui.
- Makanan yang tersaji di setiap dulang boleh dikonsumsi empat orang dengan cara makan yang sudah diatur secara adat. Ruang makan undangan pria dan perempuan terpisah. Para pria makan di bangsal yang sudah ditetapkan, sedangkan kaum perempuan makan di dalam rumah. Seusai pengantin makan siang, mereka yang makan di dalam rumah biasanya kebagian diberi nasi pulut dan ayam panggang dari para pekhatam Alquran.
- Usai mengator (melayani) para undang makan, para pengator (tukang angkat dulang) ditugaskan mengantarkan setiap dulang berisi makanan ke rumah: Mak Inang, Mak Panggong, Pengulu Gawai, Tukang Tanak, Tukang Kaut beras, Dukun Kampong, meskipun semua mereka sudah makan siang di acara gawai.
- Usai para tamu makan, para Tukang Ngator Dulang membawa piring kotornya ke Tukang Bebason, termasuk membersihkan remah sampah makanan yang tercecer di bangsal telasar dan bangsal blandong, termasuk bangsal biak kecik.
- Biasanya para tamu yang datang ke kundangan gawai selalu melambatkan diri untuk pulang sebab acara kundangan merupakan ajang pertemuan buat berkelakar, begalor, serta bersilaturahmi. Tak jarang keluarga jauh yang datang dapat berjumpa dan berkumpul di acara gawai ini. Kumpul ini hingga ke jelang sore.
- Â
- Selepas pengantin besanding sebelum makan siang, diadakan tradisi "Bejamu". Tradisi ini merupakan acara yang tak mungkin ditinggalkan karena di tradisi ini pihak keluarga pengantin pria dan pihak keluarga pengantin perempuan berkumpul secara khusus (jamuan khusus). Jamuan ini sejak dari masa lampau hanya bersuguhkan makanan ringan berbagai "jaja' kering" tradisional Belitong misal kue rintak, bolu rendang, tapal sepit, sempret, kembang guyang, dan lainnya. Makanan ringan ini adalah sambilan atau cemilan seraya berkelakar agar kedua keluarga besar dapat saling akrab berbincang. Namun acara bejamu bisa ditunda malamnya, atau esok harinya tergantung kesepakatan dari tuan rumah.
- Â Di beberapa tempat di Belitong, tradisi begawai lepas tengah hari sesudah makan dan penganten besanding, ada yang langsung mengadakan tradisi "Bejamu", terus lepas Asyar langsung "Mandi Besimbor", misalnya sekitar wilayah Kelapa Kampit Belitong. Sedang di wilayah lainnya mengadakan acara bejamu itu di malam hari, sesudah itu membacakan "Asrakal" dengan kembang tujuh macam buat mandi penganten di tradisi "Mandi Besimbor" esok paginya. Â Jika membaca asrakal saja biasanya memakai gendang, namun jika disertai "Tala'al" tak memakai gendang hadra tapi dibacakan secara berdiri. Namun secara tradisi masa lampau; membaca "Asrakal" dengan kembang tujuh macam dilakukan selepas sholat maghrib.
- Selepas pengantin makan siang juga selepas zuhur, pengantin bersanding lagi dengan dihibur acara "Berinai". Di tradisi berinai kali ini tidak seperti berinai pada malam pengantin mewarnai kukunya tapi kali ini dihadiri sepasang pengantin duduk bersanding di "kelice" pelaminan dengan dihibur oleh para perinai. Para perinai (pemusik dan penari serta penyenandung tetap semua perempuan) mereka merpertunjukan tarian dan senandung pantun guna mengajak penonton untuk ikut menari bersama mereka.
- Kali ini para lelaki yang menonton boleh ikut menari bersama perinai setelah seorang perinai seraya bersenandung lalu mengalungkan seutas selendang pada leher si lelaki tersebut. Lelaki yang diajak menari mesti pandai melagukan pantun yang akan disahuti atau di jawab oleh si perinai yang mengajaknya tadi.
- Usai menari, lelaki mesti memberikan uang yang ditampung di dalam sebuah mangkok bukor. Para lelaki lain yang ingin berinai biasanya mengantri sampai lelaki yang sedang beraksi menghabiskan uang "sawerannya". Hiburan tradisi berinai ini biasanya beraroma dewasa, dengan pantun bertedensi "malam pertama pengantenan". Namun saat ini acara berinai sudah tak lagi digelar, mungkin para perinai sudah tak ada lagi. Ini hingga jelang Asar.
- Sore hari lepas asar; "Telu' Tamat" dibagikan ke setiap yang menitipkannya. Namun sebelum dibagikan, secara tradisi teluk Tamat mesti dicabut atau diambil dari bokornya pertama oleh dukun atau Mak Inang, Sore. Pembagian Telu' Tamat. Di masa lampau, Jumlah telu' tamat yang dititipkan di tradisi betamat gawai gede biasanya sangat banyak, dari sejumlah anak-anak kampong yang masih belajar mengaji atau membaca Alquran.
- Pembagian Telu' Tamat merupakan peristiwa membahagiakan paling ditunggu anak-anak. Tak jarang telur yang dihias bagus itu, baru dimakan di hari berikutnya karena masih ingin menikmati keindahannya, juga karena tangkai telur yang berupa lidi pelepah kabung itu bakal digunakan sebagai "stik" menunjuk huruf atau surah kalimah di kitab suci Alquran, jadi ada semacam perlakuan khusus agar lidi tersebut tak disiakan secara sembarangan. Anak anak akan lebih bersemangat dan disiplin dengan adanya semacam "mitos" bahwa lidi tersebut dapat menuntun mereka lebih mudah mempelajari bacaan dari kitab suci tersebut.
-        P e s t a   H i b u r a n
- Pesta hiburan dilaksanakan pada malam (Minggu malam). Biasanya di masa lampau, acara hiburan bisa selama tiga hari tiga malam dengan berbagai kesenian berbeda: kesenian Tari Rudat, Betiong, Beripat Beregong (Beripat Rutan diiringi musik yang ada gong; biasanya gendang, kelinang, tawak-tawak, gong, serunai), Besepen atau Tari Sepen, Bekintong, Becampak, Begubang, Belesong Panjang, dan lain sebagainya. Saat ini tentu sudah berubah seiring peradaban yang dinamis, musik modern lebih mendominasi.
Â
- Â
- Â