Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggalorkan Tradisi Turun Tanggak Tebu Belitong

20 Desember 2023   00:50 Diperbarui: 21 Desember 2023   06:51 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi ritual menginisiasi kelahiran seorang bayi di masyarakat atau suku  di Nusantara memiliki cirinya masing masing. Begitupun di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi tersebut dikenal dengan sebutan "Turun Tanggak Tebu". Namun tak semua golongan masyarakat Belitong melakukan ritual tersebut. Tradisi itu hanya di kalangan keluarga turunan Raja Belitong. Raja raja Belitong dikenal hingga akhir abad 19 adalah raja dari Kerajaan Balok. Kerajaan tersebut didirikan oleh Syech Abu Sulaiman alias Ki Ronggo Udo alias Rangga Uda, alias Datuk Mayang Gersik, seorang ulama yang pernah berdiam di Gersik Jawa Timur.

Ki Ronggo Udo pendiri Kerajaan Balok dan merupakan raja pertama kerajaan tersebut. Masa selanjutnya takhta kerajaan tersebut diserahkan kepada mantunya berasal dari Mataram yaitu Ki Gede Yakob alias Cakraningrat I yang memerintah di Balok tahun 1618 hingga 1661. Sedang raja terakhir dipimpin KA. Mohammad Saleh alias Cakraningrat IX memerintah di Tanjungpandan tahun 1856 hingga 1873. Pada masa pemerintahan "Cakraningrat" kerajaan ini dikenal dengan sebutan kerajaan Belitong.

Keturunan keluarga kerajaan Belitong ini memakai gelar KA atau Ki Agus untuk laki laki dan NA atau Nyi Ayu untuk perempuan. Gelar turunan tersebut tersebut berasal dari  Sultan Palembang diberikan kepada turunan Syeh Abu Sulaiman alias Datuk Mayang Gersik alias Ronggo Udo karena menikahi Putri Palembang bernama Nyi Ayu Tuning. Ronggo Udo yang menikahi NA Tuning memiliki anak bernama NA Siti Kusumah yang kemudian menikah dengan Ki Gede Yakob. Ki Gede Yakob juga memakai gelar KA atau Ki Agus. Perihal gelar adat turunan raja ini di atur dalam hukum adat Raja Belitong, juga tertera dalam aturan adat silsilah raja raja Belitong.

KA Gede Yakob alias Ki Gede Yakob inilah yang mula mentradisikan ritual "Turun Tanggak Tebu". Keturunan beliau selanjutnya sangat mudah dikenal sebab secara adat mereka memakai gelar adat secara turunan. Meski dalam pemakaian gelar tersebut di masa kini ada anggota keluarga yang tak melekatkan secara format pada identitasnya namun secara adat mereka tetaplah menyandangnya. Meski begitu, turunan tersebut  akan mudah diketahui apabila mereka tersebut melaksanakan adat tradsisi ritual "tutun tanggak tebu".  Namun di masa kini,  ada juga yang tak melaksanakan adat tersebut karena beberapa faktor, misalnya mereka yang tinggal di perantauan.

 

F a s e   A w a l   R i t u a l   T r a d i s i   T u r u n   T a n g g a k   T e b u 

Berawal dari masa Cakraningrat I yaitu  KA Ki Gede Yakob 1618 hingga ke masa Cakraningrat IV yaitu masa KA Bustam. Ki Gede Yakob membawa tradisi ini dari Mataram. Menurut silsilah Raja Raja Belitong Ki Gede Yakob alias Kegedeh alias Kyai Mas'ud adalah anak Sultan Mangkub Mataram. Menikahnya Ki Gede Yakob dengan Nyi Ayu Siti Kusuma binti Syech Abu Sulaiman alias Ronggo Udo membuahkan anak pertama KA Abdullah alias Ki Mending, anak kedua NA Tenga, anak ketiga NA Busu.

Disebut tradisi "turun tanggak tebu" karena ritual memakai tangga yang dibuat dari batang tebu berwarna kuning yang lazim disebut tebu menjalong. Tangga tebu ini dibentuk hanya memakai dua anak tangga, ukurannya tak lebih dari tinggi 40 sentimeter dan lebar 30 sentimeter.

Cara membuatnya sangat sederhana dengan melobangi persegi sebanyak empat buah pada sisi tiang tangga, sedangkan pada anakan tangganya dibuat poros pasak seukuran lobang yang dibuat tadi, poros ini mesti meninggalkan sisi bagian kulitnya agar tangga tersebut kuat dan tentu saja ukurannya mesti sama dengan lobang di bagian tiang tangganya, itu agar tak longgar ketika disatukan. Supaya sambungan anak tangga dan tiang tangga tak lepas maka dipaku atau dipasak  memakai kulit tebu itu sendiri.

Setelah rangkaian tebu itu utuh menjadi tangga, selanjutnya dibalut dengan kain berwarna kuning. Awalnya, kain berwarna kuning merupakan selendang raja guna memberkati pasangan pengantin ketika ijab kabul pernikahan. Karena dipakai untuk memberkati mempelai menikah ia disebut kain "sting" tersebut biasanya ditudungkan ada pasangan mempelai tersebut hingga usai ijab kabul. Masa kini "sting" dipakai untuk menyebut pakaian adat pengantin Belitong.

Pada mulanya tentu kain warna kuning tersebut adalah hanya milik raja. karena raja pertama kali menurunkan ritual ini maka kelaziman warna tersebut mentradisi. Kain kuning tersebut bisa berbahan apa saja asal berwarna kuning, namun biasanya kain tersebut terbuat dari bahan terbaik dan ditenun secara istimewa. Selanjutnya pasangan pengantin yang menikah tidak lagi menggunakan kain sting milik raja tapi mereka miliki sendiri. Kain sting kuning milik sendiri inilah yang kemudian dipakai untuk membalut tangga tebu guna ritual menurunkan bayi mereka dari rumah hingga ke tanah.

Bayi yang diturunkan berusia empatpuluh empat hari. Ini mengingat sang ibu sudah pulih dan sehat setelah melahirkan dan bayi pun sudah cukup kuat untuk digendong. Angka empatpuluh empat juga sedapatnya dipakai untuk keperluan orang yang membacakan atau menyenandungkan salawat al Barzanji. Salawat tersebut dikumandangkan selama ritual  berlangsung. Membacakan salawat ini dipimpin penghulu agama atau lebai, atau seorang ahlinya.

Syarat syarat penting untuk perlengkapan ritual tersebut selain tangga tebu yang dibalut kain kuning, juga ada tujuh ketupat kecil kosong dari janur setidaknya ada dua atau lebih bentuk ketupat. Jika tak ada ketupat maka boleh digantikan dengan kembang tanaman tujuh rupa. Selain syarat itu mesti disediakan juga tujuh pijakan yang mesti dipijak setelah langkah awal menuruni tangga tebu, yaitu pijakan berisi; 1, uang emas atau perak, 2, tanah mesjid, 3, beras kunyit, 4, nasi merah, 5, nasi putih, 6, kantip atau gunting, dan 7, pijakan ke bumi (tanah).

Makna  pijakan tersebut adalah:

1.Piring berisi uang kepeng (logam; perak emas, dll) menandai harapan kemakmuran.

2. Tanah mesjid (dari halaman mesjid) menandai harapan keimanan dan ketaatan beribadah menjunjung tinggi agama.

3 beras kuning (beras dilumuri kunyit) bercampur uang kepeng biasa buat direbutkan pada anak-anak, itu  menandai bahwa mencari rezeki mesti berjuang, namun ketika ada rezeki juga mesti berbagi, sebagai wujud rasa syukur pada Tuhan.

 4. Piring berisi nasi putih (dari beras putih) bahwa  kesucian hati mesti terus terjaga dengan segenap apa yg dimakan juga cara mendapatkannya.

5. Nasi merah (dari beras merah) menandai semangat keberanian dengan segenab jiwa raga.

6. Kantip (alat pemotong pinang bahan makan sirih) menandai menegakkan adat istiadat negeri.

7. Siap berusaha di tanah dengan segenap isinya guna penghidupan diri dan orang lain juga menjaga kesimbangan semesta.

Setelah ritual turun dari rumah ke tanah ini, selanjutnya uang kepeng biasa bercampur beras kunyit (koin biasa bukan emas atau perak) akan dihamburkan untuk direbut oleh anak anak. Ini memaknai agar nantinya sang bayi selalu bisa berbagi harta kepada siapa saja yang membutuhkan. Juga sang raja akan melihat anak anak yang tangkas merebutkan koin karena mereka kemungkinan bakal direkrut menjadi penggawa istana.

Jumlah tujuh dari berbagai perlengkapan dan persyaratan ritual tersebut memaknai tujuh tahapan kehidupan yang bakal dijalani oleh sang anak nantinya antara lain: 1, masa menyusui atau masa pengasuhan (Nyusu). 2, masa penyapihan atau melepaskan masa menyusui penguatan fisik (Biak kecik). 3, masa kanak kanak, pembentukan sifat dan sikap (Kulup). 4, masa remaja atau masa puber (Bujang). 5, masa pemuda atau masa mematangkan pergaulan (Bebiakan).  6, masa dewasa atau masa membina kehidupan (Laki bini). 7, masa tua atau masa peralihah menuju kematian (Uzur)

Selain kelengkapan tersebut, juga disediakan sebuah kelapa gading muda dibentuk seperti cupu (mangkok bertutup). Rupa cupu dari kelapa ini tutup dan mangkoknya dibuat tidak terpotong rata tapi dibuat segi tiga melingkari buahnya. Bentuk tersebut dibuat agar posisinya tak berubah (jika menutupkannya tak sesuai maka aka nada celah) hal tersebut dibuat agar cupu kelapa yang masih berisi airnya itu tak dimasuki udara juga serangga. Fungsi cupu kelapa ini untuk menempatkan potongan rambut bayi yang digunting oleh empatpuluh empat pembaca salawat. Selanjutnya sisa rambut yang tersisa akan dibersihkan oleh "pengulu ritual" atau seorang yang ditunjuk oleh keluarga untuk membopong bayi selama acara ritual berlangsung.

Ritual dimulai dari sang bayi diserahkan ibundanya lalu ke ayahandanya selanjutnya dari ayahandanya diserahkan ke pengulu ritual guna dibopong untuk diturunkan dari rumah ke tanah halaman rumah dengan melewati "tanggak tebu" terus menapaki piring piring berisi persyaratannya hingga meninjak atau menapaki tanah. Setelah sebanyaknya tiga kali menapaki pijakan ini terus sang bayi dibopong ke hadapan para pembaca syalawat

Para pembaca salawat sudah siap untuk memotong sedikit rambut sang bayi. Pengulu ritual dibantu seorang yang membawakan baki berisi cupu kelapa berhias lilitan "janur kelipan" (janur dibuat serupa kelabang) melingkari cupu kelapa yang di dalamnya masih terdapat air kelapanya. Di situ juga ada tujuh buah ketupat kecil kosong minimal dua jenis atau tujuh rupa bunga. Ada sebilah  gunting  guna memotong rambut sang bayi, tiap orang yang hadir di situ boleh memotong  helai rambut sang bayi.

Potongan rambut tersebut ditaruh dalam cupu kelapa yang sudah terbuka itu. Setelah dirasa pemotongan rambut sang bayi selesai, lalu rambut itu disimpan sementara dalam  cupu kelapa muda tersebut secara tertutup. Setelah nanti ritual selesai maka selanjutnya cupu kelapa berisi potongan rambut itu di hanyutkan ke aliran sungai menuju lautan. Itu memaknai bahwa kehidupan selanjutnya tak sekedar ada di kampung halaman semata tapi ke seluas lautan yang ada di muka bumi.

F a s e    P e r t e n g a h a n

Ritual tradisi turun tanggak tebu fase ini dimulai sejak masa Cakraningrat IV KA Bustam 1700 hingga ke masa Cakraningrat IX pemerintahan KA Mohammad Saleh. Pada masa ini KA Bustam menikahi Putri Gunong Labu yang menurut keyakinan pada masa itu sang istri beliau adalah turunan bunian (makhluk sebangsa jin). Karenanya, sejak sang Raja memiliki anak maka ritual tanggak tebu mengalami perubahan dari biasanya. Dari enam buah piring yang ada menjadi tujuh piring. Piring satunya berisi tanah pasir yang lembut.

Piring berisi tanah pasir lembut ini guna melihat apakah pijakan telapak kaki sang bayi akan terbenam di pasir atau pasirnya jadi lengket di kakinya. Apabila itu tidak terjadi maka sang bayi dinyatakan murni keturunan manusia. Namun apabila sebaliknya maka di dalam diri sang bayi ada unsur makhluk lainnya. Pada ritual ini orang orang tak boleh menyaksikannya kecuali orangtua sang bayi, juga pengulu ritual serta keluarga terdekat.

Pada tahun 1755. Turunan dari KA Abudin yaitu Cakraningrat V yaitu KA Abudin dengan bakal calon Cakraningrat VI yaitu KA Usman. Mereka  berselisih paham sehingga harus berakhir di perang tanding yang disebut "begaris tana" (bertanding satu lawan satu) yang kemudian dimenangkan oleh KA Usman. Sebagai pihak yang kalah maka  KA Abudin diungsikan ke Palembang hingga wafat dan dimakamkan di sana.

Atas perang tanding itu kedua saudara ini bersumpah mufakat agar turunan mereka nantinya jangan bersengketa seperti mereka.  Maka untuk mewujudkan sumpah itu mereka menikahan anak mereka yaitu KA Muntie bin KA Abudin menikahi NA Busu binti KA Usman. Mempelai ini disyaratkan berdiam disebuah gunung guna menjaga tebu menjalong (tebu kuning) yang dipakai untuk ritual "tanggak tebu". Gunung itu kemudian dikenal dengan sebutan Gunung Tebu dan keluarga ini dikenal dengan sebutan "Bangsawan Gunong Petebu". Salah seorang keturunan bangsawan itu bernama KA Luso dimakamkan di gunong itu. Tebu menjalong yang  ada di situ telah ditanam oleh leluhur mereka yaitu Ki Ronggo Udo alias Syech Abu Sulaiman, alias Datuk Mayang gersik sang pendiri kerajaan.

F a s e    A k h i r

Ritual tradisi turun tanggak tebu setelah berakhirnya masa takhta kerajaan Belitong  berakhir yaitu dari  masa Cakraningrat IX atau KA Mohammad Saleh 1873 hingga ke masa sekarang. Pola tradisinya kembali mengikuti pola pada fase pertama. Setiap keluarga turunan raja tak mesti mengambil lagi tebu menjalong dari gunong Petebu namun boleh mengambil dari mana saja. Sebab sejak tahun 1755 pusat pemerintahan Kerajaan Belitong sudah pindah dari Balok ke hulu Sungai Cerucok. 1821 pindah lagi dari hulu Ceerucok ke Tanjungpandan (Muara Cerucok) tebu menjalong boleh ditanam di mana saja oleh keluarga raja

Keluarga raja dari turunan KA Bustam alias Cakraningrat IV yang melakukan ritual tanggak tebu tak lagi memakai piring ke tujuh yang berisi pasir lembut untuk membuktikan kemungkinan sang bayi terwarisi bangsa bukan manusia. Turunan raja yang bukan murni manusia dianggap telah berakhir ketika dua raja terakhir bertakhta (KA Rahad dan KA Muhammad Saleh tak lagi menurunkan putra mahkota)

Pada fase ini rangkaian ritual tak juga memperebutkan uang kepeng atau koin yang dari  dalam piring dengan beras kunyit yang jumlahnya terbatas itu tapi disajikan juga sejumlah uang koin yang masih berlaku dengan jumlah semampunya. Uang kepeng dalam piring bercampur beras kunyit hanya simbol saja. Sedangkan anak anak yang merebutkannya tak lagi menjadi sasaran untuk mengabdi kepada kerajaan.

T u r u n   T a n g g a k   T e b u    d i   E r a   K e k i n i a n   

Dinamika budaya memungkinkan terjadinya perubahan. Namun tradisi ritual tanggak tebu memiliki makna terdalam masih kuat dipertahankan hingga kini. Kehadirannya di keluarga turunan raja masih tetap dilaksanakan dengan penyesuaian di tiap masanya. Misalnya dalam konteks kekinian, uang logam yang ditaruh di piring tak lagi mesti uang emas atau perak namun menggunakan uang logam biasa yang kuno atau yang tesedia di masa kini. Peralatan yang dipakai biasanya secara tradisi menggunakan piring warisan turun temurun, kini boleh menggunakan piring buatan masa kini. 

Tak hanya itu, kantib pemotong pinang juga boleh diganti dengan yang lain asal menyamai funginya maka ia bisa digantikan gunting atau pisau. Benda benda itu boleh berubah hanya  tata caranya yang tak berubah.

Bagi keluarga turunan raja yang di perantauan dibolehkan tidak melakukan ritual tersebut, boleh cukup bersalawat membaca Al barzanji dan doa selamat. Maka saat ini ritual tersebut lebih sering disebut "Selamatan Turun Tanggak Tebu". Hikmah terdalam yang muncul dari acara tersebut tentunya silaturahmi antar keluarga dekat atau jauh akan terus tersambung.

_______________________________________________ Pondok YG 23 18122023.

Kepustakaan.

  • Alie Idris KA. Galoran lisan turun temurun.
  • Hamid Abdul Haji KA. Tanpa penerbit. Tambo depati Cakraningrat.1934
  • Kurniawan Wahyu. Kerajaan Balok. Diknas Kepustakaan Kab Beltim.2017
  • Marihandono Djoko Prof. Dr, Dkk. Sejarah Bangka Belitung Jilid 2. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bangka Belitung. 2019.
  • Silsilah utama raja raja Belitong. Tanpa penerbit. 1870.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun