Mohon tunggu...
Ian Konjo
Ian Konjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku ingin belajar dari pengalaman hidup yang kulalui. Karena sesunguhnya, guru yang paling baik adalah diri sendiri!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antara Cinta dan Kematian

18 Agustus 2011   14:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:40 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kata ini kutemukan di facebook, "semua berawal dari kisah yang sederhana". Seperti itulah mungkin kisahku saat ini. Kisah sederhana yang kini membawaku di antara dua jalan yang mau tidak mau harus kulalui. Tentu saja hanya satu arah yang harus kupilih. Aku ibarat berada di tengah jembatan dengan kebingungan untuk melangkah ke arah mana. Aku bingung menentukan pilihan sebab aku tahu persis, pilihanku hari ini adalah penentu masa depanku kelak yang aku akan jalani sendiri. Aku tak ingin salah pilih meski perasaan itu lebih dominan seperti yang kurasakan saat ini.

Semalam aku minta solusi salah seorang seniorku yang biasa memberikan saran padaku. Aku bertanya soal ini tapi seolah-olah bukan aku yang mengalaminya. Tapi, dia yang sudah tahu seperti apa aku kalau lagi bermasalah langsung saja menebak.

“Mau dengar ceritaku malam ini?”, tanyaku.

“Cerita apa? Bilang saja kalau ada masalah. Sempat saya bisa membantu”, jawabnya seolah-olah sudah tahu apa yang ingin aku bicarakan.

***

Pagi baru saja membangunkanku dari lelap. Yah, setidaknya semalam aku sudah bisa tidur nyenyak setelah berbagi cerita kepada kakak seniorku. Aku melakukan aktivitas seperti biasa. Bangun, bersih-bersih kamar, mandi, sarapan, lalu berangkat ke kampus. Hari ini dalam hatiku serasa ingin cepat-cepat sampai di kampus. Entah apa yang menarikku begitu kuat.

Setelah sarapan, aku pamit pada kedua orang tuaku. Di depan rumah sudah terdengar suara klakson motor. Rupanya kak Ahmad sudah menungguku. Kak Ahmad inilah yang selalu mengantarku ke kampus hampir setiap hari karena kami satu kampus. Hanya saja fakultas yang berbeda. Dia juga yang mengajariku memainkan biola.

“Tunggu!”, teriakku dari dalam rumah.

Aku cepat-cepat memakai sepatu berwarna hitam yang menjadi sepatu andalanku selama kuliah dua tahun ini. Wajahku tampak lebih berseri-seri. Tidak seperti hari-hari kemarin sejak masalah yang satu ini mendatangiku. Terjebak di antara dua jalan. Orang yang selalu dekat denganku ataukah sang kekasih yang kucintai.

Terkadang, masalah ini aku anggap tidak ada sebab memang tidak ada masalah antara aku, dia dan kak Ahmad. Tapi beberapa hari terakhir ini, aku selalu dibayang-bayangi perasaan takut jika salah satu diantara mereka tahu bahwa aku dan Nandar telah lama menjalin kasih. Sementara kak Ahmad dengan perasaan cintanya tidak pernah mengetahui hal ini. Aku takut berkata jujur padanya, sebab aku tahu bagaimana perasaan kak Ahmad padaku. Aku takut dia akan menjauh dan menghindar dariku kalau tahu aku telah menjadi pujaan hati seseorang. Dan orang itu adalah kak Nandar, tetangga sekaligus temannya sendiri. Ketakutan itu yang selalu hadir dalam pikiranku. Ketakutan yang kadang membuatku tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar bingung. Apa yang harus aku lakukan jika ketakutanku ini betul-betul menjadi kenyataan. Aku tak ingin kehilangan keduanya.

Seperti biasa, sepulang dari kampus aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku ke sebuah taman kecil yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusku. Tentu saja untuk berlatih memainkan biola. Hampir tiap hari rutinitas ini kulakukan. Sejak saat itu, biola adalah sahabat yang selalu mendampingiku kemanapun aku pergi. Berawal dari sinilah kisah yang kini sedang kualami.

Tiga bulan latihan, aku juga sudah bisa mengambil andil mengiringi teman-teman seni yang lain saat pentas musik atau pentas musikalisasi puisi. Kak Ahmadlah yang paling berjasa mengajariku memainkan alat musik gesek ini selain kemauan dan usahaku belajar sendiri. “Bermain musik itu tidak hanya mengandalkan ketekunan berlatih dan feeling saja, tetapi juga harus memiliki kemauan untuk belajar sendiri menemukan tekniknya”. Setidaknya kalimat itu yang sedikit memberikan semangat padaku untuk terus belajar biola di taman dekat kampus, di rumah, atau dimana saja ada kesempatan.

Dengan semangat yang kembali berapi-api, aku memasuki area taman tempatku biasa berlatih biola. Aku menuju tempat duduk yang seolah sudah menjadi rumah keduaku saat latihan.

“Kenapa kak Ahmad belum datang ya?”, kataku dalam hati.

Sambil menunggu sang guru datang, aku mengeluarkan biola dari tas dan memainkan sebuah instrumen dari Persia yang baru dua hari ini kupelajari. Itulah instrumen favoritku saat ini.

Sudah sejam lebih sang guru yang kutunggu belum juga menampakkan tanda akan kedatangannya. Kulirik jam di tangan kananku. Sekarang sudah jam 5 sore. Matahari mulai beranjak menuju tempat tidurnya pertanda sebentar lagi akan gelap.

Entah mengapa kegelisahan dan kegundahan hati kembali menggorogoti hatiku. Aku serasa tiba-tiba berada di alam tak berpenghuni. Sepi, gelap, dan menakutkan. Perasaamku kini tak menentu. Persis yang kualami ketika membayangkan apa yang selalu menjadi ketakutanku akhir-akhir ini. “Semoga ini hanya perasaan sesaat saja dan akan hilang setelah malam datang”.

***

To be continue here!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun