Mohon tunggu...
Hardian Mursito
Hardian Mursito Mohon Tunggu... Guru - guru

hardian mursito, hobi : menyenangkan orang lain; topik : Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money

Human Development dan Kemiskinan

16 Juni 2016   06:49 Diperbarui: 16 Juni 2016   07:49 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Krisis keuangan global ternyata memberi pelajaran bahwa kapitalisme global rentan terhadap krisis. Ambruknya perusahaan-perusahaan besar dan global di Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi headline semua media di dunia. Indeks harga saham gabungan dan nilai kurs ikut merosot drastis yang membuktikan contagion effect,dampak penularankrisis sangat cepat menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk diantaranya di Indonesia.

Menghadapi krisis mata uang dan naiknya tingkat suku bunga, kebangkrutan perusahaan dan bank sehingga menyebabkan krisis keuangan. Membandingkan krisis tahun 1929, 1997 dan 2008. Pada krisis 1929, tingkat pengangguran di Amerika Serikat (AS) berada pada kisaran 25 %. Kemudian tingkat kredit macet (NPL) sector properti AS adalah sebesar 40 %. Pada krisis tahun 1997, Indonesia mengalami depresiasi rupiah sebesar 100%, tingkat inflasi sebesar 20%, kredit macet perbankan sebesar 60 %, suku bunga SBI sebesar 50%, suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebesar 200%, giro bank terhadap Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar minus Rp 26,6 triliun dan cadangan devisa adalah sebesar US$ 22.1 M.

Disamping dihadapkan pada krisis keuangan yang cukup tinggi, Indonesia juga dihadapkan pada masalah lainnya yang sangat serius, yaitu masih rendahnya pembangunan manusia. Rendahnya pembangunan manusia tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau dikenal dengan Human Development Index(HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Nilai IPM Indonesia pada 2012 meningkat menjadi 0,629, menjadikannya naik tiga posisi ke peringkat 121 dari peringkat 124 pada 2011 (0,624), dari 187 negara. Menduduki peringkat yang sama dengan Indonesia adalah Afrika Selatan dan Kiribati.
 Antara 1980 dan 2012, nilai IPM Indonesia meningkat dari 0,422 menjadi 0.629, atau meningkat 49 persen, dikarenakan kenaikan angka harapan hidup pada periode yang sama, dari 57,6 tahun menjadi  69,8 tahun saat ini. Meski naik tiga peringkat, IPM Indonesia masih di bawah rata-rata dunia 0,694 atau regional 0,683. Indonesia dikategorikan sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama 45 negara lainnya. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina.

Padahal pembangunan manusia merupakan salah satu indikator bagi kemajuan suatu negara. Suatu negara dikatakan maju bukan saja dihitung dari pendapatan domestic bruto saja tetapi juga mencakup aspek harapan hidup serta pendidikan masyarakatnya.Hal ini sejalan dengan paradigma pembangunan yang berkembang pada tahun 90-an yaitu paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (Human Centered Development). Secara konsep, pembangunan manusia adalah upaya yang dilakukan untuk memperluas peluang penduduk untuk mencapai hidup layak, yang secara umum dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas dasar dan daya beli. Pada tataran praktis peningkatan kapasitas dasar adalah upaya meningkatkan produktivitas penduduk melalui peningkatan pengetahuan dan derajat kesehatan.

Ada dua sektor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sehubungan dengan upaya memperluas penduduk untuk mencapai hidup layak yaitu pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini bisa terwujud melalui alokasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan meningkatnya alokasi pengeluaran pemerintah di sektor publik tersebut maka akan meningkatkan produktivitas penduduk sehingga bisa meningkatkan pembangunan manusia yang pada akhirnya bisa mengurangi kemiskinan. Dari hasil beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa pengeluaran di sektor publik sangat bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan manusia dan mengurangi penduduk miskin, seperti penelitian yang telah dilakukan antara lain Fan et. Al (2000), Gomanee at. Al (2003), Brata (2005), Chemingui (2007) dan Yani Mulyaningsih (2008).

Hal yang seringkali terjadi dalam manajemen anggaran pemerintah yaitu terjadi trade offantara pengeluaran di sektor publik (kesehatan dan pendidikan) dengan penegeluaran untuk infrastruktur ekonomi (pembangunan fisik). Menurut Brata (2005), penegluaran investasi infrastuktur dibutuhkan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, disisi lain diperlukan juga investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal inilah yang luput dari perhatian selama ini, penyediaan infrastruktur ekonomi untuk investasi swasta kemungkina besar telah mengorbankan investasi pembangunan manusia. Menurut Yani (2008) pembangunan yang berhasil sebetulnya juga memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan ekonomi melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas.

Ketika terjadi krisis ekonomi, pengeluaran pemerintah pada sektor publik mengalami penurunan. Pengeluaran politik ini sebagai alat ukur (proxy) investasi public. Dari total investasi tahun 1996, investasi sektor publik maupun swasta mencapai angka 27 persen dari PDB, diaman sektor publik hanya mencapai 6,5 persen dari PDB, presentasi tersebut menurun tajam pada tahun 2000 menjadi 4 persen, tetapi pada tahun 2005 mulai mengalami peningkatan kembali, sama dengan periode sebelum krisis yaitu 6,5 persen dari PDB (World Bank, 2007). Dengan demikian tingkat investasi publik di Indonesia masih merupakan yang terendah diantara negara-negara berpenghasilan menengah. Selanjutnya World Bank 2007, mengemukakan bahwa Indonesia telah melampaui periode pasca krisis, kini telah memiliki sumberdaya keuangan yang memadai untuk memenuhi kegiatan pembangunan. Kebijakan untuk menekan dfisit anggaran, merupakan hal yang sangat penting dalam pemulihan ekonomi. Kini saatnya untuk mengambil langkah-langkah peningkatan sesuai dengan apa yang telah dicapai beberapa tahun belakangan ini serta menggunakan sumber-sumber keuangan negara secara efektif dan efisien untuk memperbaiki layanan pendidikan, perluasan layanan kesehatan, menutup kesenjangan infrastuktur yang sangat penting, semuanya untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun ekonomi yang kompetitif.

B. Pembahasan

Selama ini pembangunan yang dilakukan suatu negara selalu diidentikkan dengan pembangunan secara fisik. Akibatnya manusia sebagai pelaku dan sasaran pembangunan itu sendiri kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Padahal pada hakekatnya pembangunan yang dilakukan seharusnya pembangunan manusia. Gagasan tentang bagaimana mengukur kualitas kehidupan manusia pertama kali digagas oleh seorang ekonom Pakistan, Dr. Mahbub ul-Haq. Dengan didukung oleh para ahli ekonomi dan pemenang Nobel bidang ekonomi, Amartya K. Sen, mereka merumuskan suatu indikator yang dapat mengukur pembangunan manusia.

Akhirnya pada tahun 1990 pertama kali United Nations Development Programme (UNDP) mempublikasikan Human Development Report (HDR) yang berfokus pada pembangunan manusia. Fokus utama HDR lebih pada aspek-aspek nonfisik pembangunan. HDR disusun dan dipublikasikan terutama ditujukan untuk membantu tiap pemerintah yang rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan untuk mengembangkan model pembangunan yang secara holistik memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Tidak hanya sekedar mempertinggi pendapatan per kapita yang terkadang malah berdampak pada masalah ketimpangan. (Samsudin Berlian, 2004).

Pembangunan manusia didefinisikan tidak hanya dilihat dari aspek peningkatan atau kesejahteraan saja tetapi didefinisikan sebagai “the process of enlarging people’s choices”(UNDP,1990:10). Laporan tersebut juga menekankan pada prinsipnya the choicesyang tersedia bagi seseorang dapat berubah untuk periode-periode mendatang. Pada esensinya laporan tersebut telah memuat tiga dimensi penting dalam pembangunan yaitu terkait dengan aspek pemenuhan kebutuhan akan hidup panjang umur (Longevity) dan hidup sehat (healthy lif), untuk mendapatkan pengetahuan (the knowledge) dan mempunyai akses kepada sumberdaya yang bisa memenuhi standar hidup. Longevitydiukur dari angka harapan hidup, knowledgedirepresentasikan oleh ukuran angka melek huruf dewasa dan rata0rata sekolah sementara akses terhadap sumberdaya diukur dari paritas kekuatan daya beli rill terhadap pendapatan perkapita.

Allah menciptakan untuk mengabdi kepada-Nya dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi seraya ditundukkan baginya apa yang dilangit dan apa yang dibumi dan diperintahkan untuk mengeksplorasi apa yang ditundukkan baginya untuk memalmurkan bumi dan melaksanakan tugasnya di dalamnya. Agar manusia dapat melaksanakan tugasnya di dalam kehidupan, maka dia membutuhkan persiapan yang sesuai manhaj islam. Asas manhaj tersebut adalah pendalaman iman kepada Allah, memahami nilai-nilai islam, memerangi nilai-nilai yang buruk, peduli terhadap manusia baik jiwa maupun raga, meningkatkan kemampuannya, memotivasi dalam mengambil hal-hal yang positif dan mendorong terhadap pengkajian, mencari ilmu yang berguna, melatih kemahiran yang menjadi tuntunan dalam aktivitas yang beragam, dan hal-hal yang lain yang dapat membantu manusia dalam melaksanakan tugasnya di dalam kehidupan, mendorong aktif dalam merealisasikan pengembangan ekonomi, mengeksplorasi apa yang ditundukkan Allah untuknya tentang sumber-sumber alam dengan sebaik-baiknya dan menggunakan sebagai bantuan sepenuhnya dalam merealisasikan pengabdian kepada Allah SWT. Persiapan inilah yang dimaksud dnegan pengembangan sumber daya manusia. (SDM).

Pada sisi lain, urgensi sumber daya insan dan pengembangan di dalam islam akan Nampak jelas ketika mencermati lima tujuan umum syariah; di mana tiga dari lima tujuan tersebut adalah mengarah langusng kepada pengembangan sumber daya manusia; yaitu melindungi jiwa, melindungi akal, dan melindungi keturunan. Sedangkan dua yang lainnya, yaitu melindungi agama dan melindungi harta adalah sebgai dua keharusan bagi pengembangan sumber daya insane dan pembentuknya dengan pembentukan yang selamat. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa tujuan umum syariah adalah untuk mengembangkan manusia secara komprehensif, baik jiwa maupun raga.

Sementara dalam ekonomi konvensional, unsur manusia dalam ekonomi hanya dilihat dari sisi materi semata, dimana pengembangannya hanya berlandaskan pada asas materi oleh karena itu, para ekonom konvesional terbiasa memandang populasi penduduk dengan pandangan materi dari sisi beban dan keuntungan dibalik penyandaran individu baru kepada masyarakat. Karena perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional tentang makna pengembangan sumber daya manusia inilah, terdapat dampaknya dalam menyikapi populasi pendduduk. Dengan demikian dalam ahli fikih ekonomi Umar Radhiyallahu Anhu,perhatian terhadap pengembangan sumber daya manusia di arahkan kepada pengembngan kuantitas dan sekaligus pengembangan kualitas.

Permasalahannya sekarang adalah tantangan ke depan yang makin berat dalam menyikapi pembangunan manusia yang berkulitas dengan menitik beratkan kepada aspek pendidikan dan kesehatan yang semua itu bersumber pada pengeluaran sektor publik yaitu anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan, artinya harus adanya koordinasi yang baik antara fiscal dan moneter. Koordinasi antara fiskal dan moneter harus senantiasa diupayakan secara konsisten dengan memperhatikan kapasitas ekonomi dan skala prioritas. Koordinasi perlu diletakkan dalam dimensi kebijakan makroekonomi yang terintegrasi, dilandasi spirit striking the optimal balance.Itulah garis besar butir pemikiran Deputi Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom.

Akibat dari krisis tahun 1997-1998, segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia terkena dampak yang sangat besar. Kondisi pada tahun 1997, kemiskinan di Indonesia mencapai angka yang sangat tinggi yaitu sebesar 40,3% atau meningkat sebesar 22,6% dari tahun 1996. Namun kemiskinan mengalami penurunan dari 17,7% pada tahun 2006 menjadi 15,4 % pada tahun 2008.

Dari perspektif pembangunan manusia, kemiskinan berarti pengabaian terhadap pilihan dan kesempatan untuk kehidupan yang dapat ditoleransi. Dengan demikian, konsep kemiskinan dalam pembangunan ekonomi mempunyai dimensi yang terkait dengan umur pendek, kekurangan akses terhadap pendidikan dasar dam kekurangan akses terhadap sumbeedaya public maupun private. Hal inilah yang ditangkap dalam The Human Poverty Index(HPI).

Dalam pengukuran HPI ini tidak hanya menangkap dimesi pendapatan untuk mengukur kemiskinan, melainkan menggabungkan antara dimensi pendapatan itu sendiri dengan dimensi-dimensi lainnya. Kenyataannya, masih banyak juga dimensi lain yang tidak bisa tercover dalam indeks ini, dimana secara konsep, dalam human povertymemasukkan banyak aspek yang tidak bisa diukur, seperti halnya kekurangan akan kebebasan berpolitik, tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, kekurangan dalam hal keamanan pribadi, ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan perlakuan terhadap keadilan yang berkesinambungan.

Akan tetapi indeks ini jauh lebih berguna dibandingkan dengan pengukuran yang ada selama ini (UNDP,2997:5). Lebih jelasnya, ada tiga indikator yang digunakan dalam pengukuran HPI, yang merupakan refleksi dari HDI, yaitu panjang umur, berpengetahuan dan standar hidup yang layak. Maka HPI, diturunkan daritiga dimensi tersebut (UNDP,1997:18), yaitu:

Pertama,kerugian yang diterima terkait dengan keberlangsungan hidup (hal ini disebabkan sesuatu yang rentan menimbulkan kematian pada umur muda) yang direpresentasikan dalam HPI oleh presentasi orang yang diperkirakan meninggal sebelum umur 40 tahun.

Kedua,dimensi yang berhubungan dengan pengetahuan yang diukur dari presentase melek huruf dewasa.

Ketiga,dimensi yang berhubungan dengan standar hidup yang layak, yang ditinjau dari aspek ekonomi. Hal ini direpresentasikan oleh tiga variabel yaitu: presentase orang yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan, air bersih dan presentase anak dibawah lima tahun yang malnutrisi.

Berdasarkan perkembangan definisi kemiskinan tersebut, telah membawa perubahan yang sangat mendasar dimana kemiskinan bukan semata disebabkan dimensi pendapatn saja, melainkan jauh lebih kompleks daripada sekedar pendapatan itu sendiri. Sementara itu, kemiskinan dalam islam merupakan salah satu masalah yang ada dalam masyarakat, karena kemiskinan menimpa sebagian dari anggota masyarakat yang ada serta membuat mereka lemah dalam menjalankan peran dan partisipasi dalam membangun masyarakat. Islam memandang kemiskinan merupakan suatu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga dan juga masyarakat.

Tampak dari hadits yang diriwayatkan Aisyah ra, bahwasannya Rasulullah saw ber-taawudz: “ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari fitnah api neraka & aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan & juga berlindung pada-Mu atas fitnah kemiskinan (HR. Bukhari).

Tujuan islam dalam mengentaskan kemiskinan adalah supaya manusia bisa beribadah kepada Allah SWT dan juga mampu mengemban beban kehidupan, serta menjaganya dari segala cengkraman sesuatu yang diharamkan termasuk tipu daya. Berdasarkan tujuan tersebut, Allah mewajibkan zakat dan menjadikannya sebagai pondasi bagi kelangsungan Islam di muka bumi dengan mengambil zakat dari orang mampu yang akan diberikan kepada fakir miskin dalam rangka membantu menutupi kebutuhan materinya. Dengan demikian kemiskinan dalam islam tidak hanya terkait dengan aspek semata melainkan juga mencakup aspek non material dan spiritual. Keterkaitan kemiskinan dengan aspek non material dan spiritual tersebut terlihat dari pandangan islam. Hal tersebut nampak pada hadits Rasulullah saw:

Jika pada suatu pagi di suatu kampong terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka”, dalam kesempatan lain “TIdak beriman kepada-Ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadits Qudsi)

Islam memandang kemiskina merupakan satu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga dan masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus ditanggulangi.

Tampak dari hadits yang diriwayatkan Aisyah ra, bahwasannya Rasulullah saw ber-taawudz: “ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari fitnah api neraka & aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan & juga berlindung pada-Mu atas fitnah kemiskinan (HR. Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah langsung kepada Rasulullah saw:

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kemiskinan, keurangan dan juga dari kehinaan. Aku berlindung pada-Mu dan perbuatanku untuk menzalimi ataupun untuk terzalimi.” (HR.Abu Daud, Nasa-I dan Ibnu Majah)

Dari hadits ini sesungguhnya Rasulullah Saw berlinding kepada Allah dari semua hal yang melemahkan, baik secara materi ataupun secara ma’nawi; baik kelemahan itu karena tidak mempunyai uang (kemiskinan) atau tidak mempunyai harga diri dan juga karena hawa nafsu (kehinaan). Point penting dari semua ini adalah adanya keterkaitan taawudzdengan kekafiran. Sesungguhnya kekafiran inilah yang menjadi landasan dasar dari adanya taawudzitu sendiri, yang kesemuanya ini akhirnya menjadi bukti akan bahaya kemiskina itu sendiri.

Diriwayatkan dari Abu Bakar langsung kepada Rasulullah Saw:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Daud)

Imam Manawy dalam kitabnya Faidhul Qadir menyebutkan, bahwa ada keterkaitan antara kekafiran dan kefakiran, karena kefakiran merupakan satu langkah menuju kekafiran. Seorang yang fakir miskin, pada umumnya akan menyimpan kedengkian kepada orang-orang yang mampu dan kaya. Sedang iri dengki mampu melenyapkan semua kebaikan. Mereka pun mulai menumbuhkan kehinaan di dalam hati mereka, di saat mereka mulai melancarkan segala daya upayanya demi mencapai tujuan kedengkian mereka tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, pengentasan kemiskinan merupakan sesuatu yang sangat urgent.Penyelesaian kemiskinan sendiri dilakukan dengan melihat akar permasalahan yang ada, bukan semata dengan pendekatan incomesemata. Mengentaskan kemiskinan dalam islam adalah dengan mengentaskan penyebabnya (Qaradhawi,2005).

a.Kemiskinan disebabkan kelemahan fisik (anak-anak, terlalu tua, penyakit, cacat) sehingga menghalangi untuk memperoleh penghasilan untuk itu berhak memperoleh zakat. Zakat yang diperuntukkan baginya dikarenakan kelemahan fisik dan juga rsa empati atas kekurangan yang ada padanya hingga ia tidak harus selalu menjadi beban masyarakat.

b.Kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mencari pekerjaan, walaupun mereka telah mengusahakan sekuat tenaganya. Solusinya diatasi seperti yang dilakukan dalam menghadapi pengangguran jabariah. Kelompok pengangguran jabariyah perlu mendapatkan bantuan dari pemerintah agar mereka dapat bekerja. Bantuan yang diberikan itu perlu disesuaikan dengan apa yang mereka butuhkan untuk memulai suatu usaha yang produktif, bukan hanya bantuan dalam bentuk uang atau bahan makanan yang cepat habis.

Dari hal tersebut di atas dapat diketahui bahwasannya maksud dan tujuan zakat bukan sekedar memberikan fakir miskin semangkuk biji-bijian atau dirham, sebagaimana yang dikira khlayak umum (Qaradhawi,2005:47). Selanjutnya Qaradhawi (2005: 47-50) mengemukakan bahwa maksud dan tujuan zakat yang sebenarnya adalah mewujudkan standar kehidupan yang normal bagi mereka, standar kehidupan yang membuat mereka dapat mengemban amanat Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi dan sesusai dengan posisinya sebgai muslim yang mempunyai agama yang adil dan baik, serta bergabung dengan umat yang terbaik yang ada diantara manusia. Dengan demikian batasan untuk memenuhi standar kehidupan bagi penerima zakat adalah sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena itu hal yang perlu dilakukan oelh setiap orang pada masa ini adalah, mengajarkan generasinya untuk belajar agama dan kebudayaan serta peradaban yang berkembang saat ini. hal ini memperkaya wawasan dan mempermudah mereka dalam menapaki jalan hidup serta menyadarkan mereka untuk menunaikan kewajiban, baik kewajiban duniawi maupun kewajiban ukhrawi.

Para ahli fiqh menyebutkan pembahasan kebutuhan mendasar kaum muslim antara lain menghilangkan kebodohan dan penyakit pada masa ini. Kebodohan akan membunuh peradaban dan membinasakan kehidupan. Dalam hal ini perlunya menyekolahkan generasi muda ke tingkat yang lebih tinggi serta memberikan kesempatan bagi yang berprestasi untuk bisa memperdalam ilmunya. Sementara itu terkait dengan masalah kesehatan adalah mempermudah dan mempercepat pengobatan dengan tidak membiarkan suatu penyakit menyerang pertahanan tubuh dan membinasakan suatu individu, keluarga, maupun masyarakat.

Banyak penjelasan tentang keterkaitan zakat dengan masalah kemiskinan, dikarenakan dampak masalah ini di satu sisi dan sebagai solusi di sisi lain, secara tidak langsung mengatasi permasalahannya yang merupakan pengaruh adanya kemiskinan itu sendiri. Permasalahan penyebaran penyakit berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang, maka makin tinggi pula jaminan kesehatannya yang ditunjang dengan lingkungan yang hygienis, gizi yang tercukupi dan kemampuan untuk berobat di saat tertimpa penyakit. Sesungguhnya suatu penyakit akan mampu bertahan pada diri seseorang dalam keadaan yang sempit. Begitu juga dengan kebodohan yang merupakan implikasi dari adanya masalah kemiskinan. Seorang yang fakir tidak bisa belajar atau mengajarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka. Bagaimana hal ini terjadi, sedang ia sangat membutuhkan pendidikan sejak masa kecilnya. Karena inilah, pendidikan merupakan urgensitas yang harus dipenuhi oleh kaum fakir pada masa ini, dengan mendayagunakan zakat yang ada untuk belajar dan menyekolahkan anak-anak mereka demi kepentingan duniawi dan ukhrawi.

Solusi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan islam tersebut ternyata baru diadopsi oleh ekonom konvensional akhir-akhir ini. masalah kemiskinan sebenarnya bukanlah semata-mata masalah pendapatan. Karena tingkat pendapatan selama ini dijadikan premis dalam melihat persoalan kemiskinan, resep-resep kebijakan untuk mengatasi kemiskinan pun acap kali berfokus pada bagaiamana memberikan bantuan yang bersifat konsumtif dan hanya mengurangi beban kaum miskin sesaat saja. Menurut Sherraden membangun asset (asset building) & investasi sosial (social investment) merupakan alat kebijakan anti kemiskinan hanya dengan dukungan pendapatan tersebut efektif karena sifatnya tidak berkesinambungan.

Pendekatan asset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya asset produktif yang dimiliki kaum miskin sulit keluar dari kemiskinan. Asset disini tidak hanya asset yang bersifat financial namun juga meliputi kapital manusia (pendidikan, kesehatan dan lain-lain), modal sosial, rumah dan asset fisik lainnya yang dapat diakumulasi, disimpan dan diunagkan pada saat diperlukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun