Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

Praktisi Pendidikan, Editor Lepas dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Tindakan Represif yang Dilakukan Polri

9 Oktober 2020   13:49 Diperbarui: 9 Oktober 2020   14:28 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tindakan Represif, mungkin itu yang sering terlihat sekarang-sekarang ini. Jika kita mengacu kepada KBBI, Represif adalah sesuatu hal yang bersifat represi (menekan, mengekang, menahan, atau menindas). Tindakan tersebut tidaklah dibenarkan dalam praktik apapun juga. Tapi dalam kenyataanya kita sering melihat tindakan represif tersebut, dan yang membuat saya geram adalah tindakan tersebut dilakukan oleh aparat Kepolisian. Sungguh aneh bukan?

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam mottonya Rastra Sewakottama yang memiliki arti Pelayan atau Abdi  utama bagi Bangsa. Seharusnya dapat menyeimbangkan diri, dengan tetap menjaga ketertiban dan keamanan, dan bukannya malah melakukan tindakan represif kepada rakyat. 

Kita sudah muak dengan tindakan-tindakan tersebut, dimulai dari penggusuran lahan di masing-masing daerah di Negara ini, hingga aksi-aksi protes yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa dan elemen lainnya untuk menyikapi terhadap kebijakan yang dibuat oleh para pejabat yang jelas-jelas merugikan bangsa. Dan bukankah mahasiswa bagian dari rakyat, dan tentu saja rakyat adalah elemen utama dari bangsa dan negara.

Kita coba lihat dan perhatikan kembali akan tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa mereka bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya di lapangan, mereka bertindak dengan sewenang-wenang salah satunya adalah melakukan tindakan kekerasan dan dalam hal ini bukan satu ada dua korban saja dari tindakan represif yang dilakukan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengapa penulis berani mengatakan seperti ini, karena penulis sendiri-pun menjadi korban dari tindakan represif Kepolisian pada tahun lalu, tepat pada tanggal 24 September 2019, penulis termasuk ke dalam salah satu dari banyaknya korban tindakan represif kepolisian. 

Puncaknya adalah gugurnya dua mahasiswa Kendari La Randi dan Muh Yusuf Kardawi. Selanjutnya pada tanggal 25 Juni 2020 terjadi tindakan represif kepolisian saat aksi di Pamekasan, yang mengakibatkan 3 mahasiswa terluka dan 1 diantaranya kritis. 

Pada tanggal 7 Oktober 2020 Aksi kembali ricuh diwarnai tindakan represif Kepolisian di Bekasi yang mengakibatkan 6 mahasiswa dilarikan ke Rumah Sakit dikarenakan tindakan represif Kepolisian, 2 mahasiswa terluka parah bahkan salah satunya mengalami Gegar Otak, yang sebelumnya melakukan penolakan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI melalui sidang Paripurna. 

Lalu, pada tanggal 6 Oktober 2020 kembali pperlakuan represif kepolisian sehingga 1 Mahasiswa dari Universitas Tirtayasa, Banten mengalami luka-luka yang cukup parah. Dan terakhir pada tanggal 8 Oktober 2020, 2 Mahasiswa dari Universitas Mathla'ul Anwar (Unma) Banten terluka parah saat Aksi Penolakan UU Cipta Kerja di Pandeglang. Serta masih banyak lagi korban-korban dari tindakan represif Kepolisian, khususnya terkait penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Melihat situasi seperti ini, penulis mempertanyakan dimana Jenderal Pol Idham Aziz selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan melihat tindakan yang dilakukan oleh para anggotanya. Padahal Idham Aziz sendiri sudah sangat jelas dengan menerbitkan Surat Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tanggal 2 Oktober 2020 berisi arahan kepada jajaran untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja, dan disalah satu poinnya mengarahkan dalam proses pengamanan dengan mengacu pada Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa

Dalam Perkap Nomor 16 Tahun 2006 terdapat larangan-larangan salah satunya tertuang Pasal 7 ayat 1 huruf a berbunyi "bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa". Namun fakta di lapangan memperlihatkan bahwa anggota kepolisisan cenderung arogan dengan melakukan intimidasi dan kekerasan kepada massa aksi.

Oleh karena itu, Idham Aziz selaku Kapolri, Benar-benar tidak menyikapi dan menindak anggotanya secara tegas, sehingga kejadian-kejadian tindakan represif terus berulang. Maka dari itu, lebih baik Idham Aziz beserta jajaran mundur dengan melepaskan jabatannya. Begitupula Kapolda dan Kapolres yang terbukti anggotanya melakukan tindakan represif, lebih baik mundur karena tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagai Kepolisian Republik Indonesia sehingga mengakibatkan jatuhnya korban dari massa aksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun