Pada awal tahun ini, sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi perpesanan populer menunjukkan bahwa 75% pengguna lebih sering menggunakan stiker dibandingkan teks dalam percakapan sehari-hari. Survei tersebut dilakukan untuk memahami bagaimana komunikasi digital terus berkembang di berbagai kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa stiker, terutama yang menggambarkan bahasa tubuh, menjadi begitu dominan dalam komunikasi virtual? Bagaimana penggunaannya memengaruhi cara manusia menyampaikan emosi dan pesan di era digital ini?
Relevansi fenomena ini dengan topik stiker bahasa tubuh sangat jelas. Dalam komunikasi digital, kehilangan aspek nonverbal seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah sering kali menyebabkan miskomunikasi. Stiker bahasa tubuh hadir sebagai solusi untuk mengisi kekosongan tersebut. Dalam tugas laporan bacaan yang membahas tentang peran visual dalam komunikasi modern, stiker ini menjadi contoh konkret bagaimana teknologi merespon kebutuhan manusia untuk tetap mengekspresikan diri secara penuh, meski melalui medium digital.
Secara teoritis, fenomena ini dapat dianalisis menggunakan teori komunikasi nonverbal yang dikemukakan oleh Albert Mehrabian. Mehrabian menyatakan bahwa komunikasi manusia terdiri dari 7% verbal (kata-kata), 38% vokal (intonasi), dan 55% visual (bahasa tubuh dan ekspresi wajah). Dalam komunikasi digital berbasis teks, aspek visual dan vokal sering kali hilang. Namun, stiker bahasa tubuh berhasil mengembalikan sebagian besar elemen visual tersebut. Sebagai contoh, stiker seseorang yang mengangkat alis atau tersenyum lebar dapat menggambarkan persetujuan atau kebahagiaan dengan lebih jelas dibandingkan teks semata.
Selain itu, stiker bahasa tubuh juga mencerminkan teori semiotika Ferdinand de Saussure, di mana tanda (stiker) terdiri dari penanda (gambar) dan petanda (makna). Stiker bahasa tubuh menjadi "tanda" yang mudah dikenali oleh pengguna lintas budaya, meskipun interpretasinya dapat bervariasi. Sebagai contoh, gerakan tangan "jempol ke atas" mungkin dianggap positif di banyak budaya, tetapi bisa memiliki makna berbeda di budaya tertentu. Ini menunjukkan bahwa meskipun stiker memiliki potensi sebagai alat komunikasi universal, tetap ada batasan dalam konteks budaya dan sosial.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana teknologi mengubah dinamika komunikasi manusia. Jika dahulu bahasa tubuh hanya bisa disampaikan secara langsung, kini teknologi telah memungkinkan manusia untuk mengekspresikan emosi dan pesan nonverbal melalui media digital. Ini tidak hanya mempermudah komunikasi jarak jauh, tetapi juga menciptakan peluang untuk inovasi dalam cara kita berinteraksi.
Sebagai kesimpulan, popularitas stiker bahasa tubuh menegaskan pentingnya aspek nonverbal dalam komunikasi manusia, bahkan di era digital. Dengan menggunakan teori komunikasi dan semiotika, kita dapat memahami bahwa stiker ini bukan sekadar hiburan, melainkan alat penting untuk menjembatani keterbatasan komunikasi teks. Namun, penggunaannya harus disertai dengan kesadaran akan konteks budaya dan sosial agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Fenomena ini mengajarkan kita bahwa teknologi, meskipun canggih, tetap harus berakar pada kebutuhan mendasar manusia: untuk saling memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H