Di tambahkannya pula bahwa karya Hamka itu seperti pinang di belah dua dengan Magdalaine-nya Manfaluthi: temanya, isinya, dan napasnya; hanya tempat kejadian dan tokoh-tokohnya yang di sulap atau di ubah dengan menggunakan warna setempat. Dalam tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. baru menerka bahwa karya Hamka itu sama dengan Magdalaine. Selanjutnya, dalam rangkaian tulisan yang kedua Abdullah S.P. mulai membandingkan kutipan dari Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan kutipan dari Magdalaine. Berdasarkan perbandingan itu, Abdullah S.P. mengatakan bahwa titik tolak jiplakan dimulai dengan pendekatan pribadi antara dua pasang remaja, Zainuddin dan Stevents.Â
Tulisan Abdullah S.P. itu kemudian di kutip oleh Kantor Berita Antara yang di sebarluaskan dalam buletin hariannya pada tanggal 19 September 1962. Sejak itu tuduhan jiplakan karya Hamka meluas dan menjadi polemik. Tanggapan datang dari berbagai kritikus, sastrawan, penerjemah, dan pemerhati sastra. Pramoedya Ananta Toer, pimpinan "Lentera" Bintang Timur mengungkapkan bahwa sebagai pengagum Hamka, ia sangat kecewa dengan terbongkarnya kepalsuan Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan ia mengharapkan agar Hamka menempuh "jalan yang baik", yaitu minta maaf kepada seluruh pembaca (12 Mei 1963).Â
Sekretaris BMKN, Anas Ma'ruf (12 Mei 1963) menyatakan bahwa tulisan Abdullah S.P. dan keberanian Bintang Timur yang telah menyingkap kebenaran dan fakta perlu mendapat pujian yang layak, tetapi tulisan itu kurang meyakinkan karena hal pokok seperti gagasan, tema, dan plot dalam keseluruhan kurang di singgung. Ia pun angkat topi kepada Berita Minggu yang giat mencari dan memuat visi-visi lain sebagai pengimbang dan pemelihara berkembangnya benih demokrasi. Kritikus lain, yaitu Usmar Ismail (12 Mei 1963), tokoh Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia mengemukakan bahwa sastrawan dalam menciptakan karyanya melalui tiga masa, yaitu masa terjemahan, masa pengaruh, dan masa keaslian. Yang ketiga pun hasil kristalisasi masa-masa sebelumnya; hanya seorang yang jenius yang mampu menciptakan keaslian.Â
Jadi, apa yang terjadi pada Hamka adalah masa keaslian yang telah melalui kristalisasi masa-masa sebelumnya. Tanggapan lain datang dari Ali Audah (10 Oktober 1962) yang telah menerjemahkan karya Manfaluthi ke dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan bahwa ada persamaan dan napas Manfaluthi yang begitu besar pengaruhnya kepada Hamka, tetapi setelah di bandingkan, kedua karya tersebut masih terlihat pengkhayalan kreatif dan gaya khas Hamka. Ali Audah yakin bahwa Hamka tidak sekadar memindahkan ide pengarang tentang masyarakat dan kehidupan serta romantismenya, tetapi ia berbicara tentang kekuasaan "ninik-mamak" di  Minangkabau seperempat abad yang lalu.Â
Sementara itu, Zuber Usman, mantan Redaktur Balai Pustaka yang mahir dalam berbahasa Arab sudah mengetahui bahwa Hamka banyak di  pengaruhi oleh Manfaluthi sehingga karya Hamka bernapaskan karya Manfaluthi dan hal-hal seperti itu tak perlu di hebohkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur St. Iskandar bahwa apa yang di lakukan oleh Hamka bukan pekerjaan menjiplak. Tuduhan menjiplak itu pun tidak tepat di berikan kepadanya sebab Hamka memang seorang pengarang.Â
Hal itu lebih baik di katakan sebagai pengaruh Manfaluthi terhadap Hamka (2 Oktober 1962). Hamka yang selama polemik berlangsung tetap diam karena tidak mau melayani fakta yang di campuradukkan dengan opini akhirnya memberi komentar pada harian Berita Minggu (No. 31, 30 September 1962) bahwa ia memang sangat terpengaruh oleh Manfaluthi. Namun, sebagai orang yang beragama, ia percaya kepada keadilan Tuhan: seandainya bersalah, ia pastilah sudah jatuh. Hamka menyebutkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah ingin menjatuhkan namanya.
Untuk menyelesaikan suasana yang gelap yang menutupi dunia sastra Indonesia, semula Fakultas Sastra UI akan membentuk suatu komisi yang bertugas menyelidiki apakah karya Hamka itu merupakan karya jiplakan atau karya asli. Namun, pembentukan komisi itu di anggap tidak praktis.Â
Kemudian, timbul gagasan praktis, yaitu ciptaan Manfaluthi di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan di sajikan kepada pembaca. A.S. Alatas, dosen Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra UI kemudian menerjemahkan karya Manfaluthi tersebut. Setelah penerjemahan itu, H.B. Jassin, kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa meskipun terdapat persamaan tema, plot, dan pikiran, Hamka jelas-jelas menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya.Â
Persamaan yang mungkin ada dengan karangan Manfaluthi dengan menyajikan beberapa pikiran dan patron cerita agar dapat di kembalikan pada pengaruh belaka, Hamka tidaklah menjiplak (17 Februari 1963). Keterangan H.B. Jassin segera di bantah harian Bintang Timur, 24 Februari 1963, dengan menurunkan berita yang berjudul "Berdasarkan Keterangan oleh H.B. Jassin: Tenggelamnya Kapal van der Wijck Memang Plagiat, yang Tidak Plagiat itu Cuma Caranya Lakukan Plagiat".Â
Sesungguhnya, tuduhan Hamka sebagai plagiat tidak terlepas dari upaya Lekra untuk menyerang sastrawan-sastrawan yang sama sekali tidak sehaluan dengan politik. Sebagaimana di kemukakan Taufiq Ismail dalam bukunya Benteng dan Tirani, Hamka merupakan sasaran pertama Pramoedya (Pramoedya adalah pemimpin lembar kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur). Hamka di tuduh, di permalukan, dan di hina habis-habisan dengan bahasa yang kasar melalui lembar kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur dan tidak diberi kesempatan untuk hak membela diri di harian itu. Puncak penghinaannya adalah bahwa Hamka di tuduh mengadakan rapat gelap yang merencanakan akan membunuh Menteri Agama dan Presiden sehingga ia akan di tahan tanpa pernah di adili.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H