Mohon tunggu...
Nurdiansyah Sopian Adi Pratama
Nurdiansyah Sopian Adi Pratama Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Haruskah hanya Dokter?

20 Maret 2015   22:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:21 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa minggu ini (red: pertengahan bulan maret 2015) telah ramai diperbincangkan masalah dekan di salah satu fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Masalah ini muncul ketika dekan baru yang terpilih berlatar belakang ilmu kesehatan lingkungan, bukan dari profesi dokter.

Beberapa sikap kritis dari civitas program studi pendidikan dokter (PSPD) telah melakukan aksi dengan tuntutan 1) Dekan FKIK terpilih diganti oleh seorang dekan dengan latar belakang pendidikan dokter. 2) PSPD UIN Jakarta memisahkan diri dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan membentuk Fakultas Kedokteran yang mandiri.

Permasalahan dekan non dokter, menurut tuntutan aksi mereka yaitu tidak sesuai dengan aturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI ialah sebuah badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen terdiri dari konsil kedokteran dan kedokteran gigi. Badan ini bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dipilihnya dekan non dokter menurut tuntutan mereka tidak sesuai dengan peraturan KKI nomor 10 tahun 2012tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia yaitu penjelasan dari sub poin 8.1 tentang Penyelenggara Program yang terdapat pada poin 8 tentang penyelenggara program dan administrasi pendidikan berbunyi “Institusi pendidikan kedokteran dipimpin oleh Dekan/Ketua Program Studi dengan latar belakang pendidikan dokter”

Penjelasan pada aturan KKI ini multitafsir pada tanda garis miring (/), dalam tuntutan mereka tanda garis miring ini mengartikan bahwa jelas ketua program studi harus dari profesi dokter kemudian dekan fakultas kedokteran dari profesi dokter.

Permasalahannya muncul karena di FKIK kepanjangan dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan bukan mandiri atas nama fakultas kedokteran (FK).

Diketahui bahwa FKIK UIN Jakarta terdiri dari empat program studi yaitu, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Pendidikan Dokter dan Ilmu Keperawatan.

Pengunaan tanda garis miring menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, atau tiap. Tanda garis miring ini bisa bermakna ‘dan’ ketika kedokteran memiliki fakultas kedokteran secara mandiri, yang berarti dekan dan ketua program studi dengan latar pendidikan dokter. Jika kedokteran berada pada fakultas dengan rumpun ilmu kesehatan seperti pada FKIK, tanda garis miring ini dapat diartikan ‘atau’, yang berarti dekan atau ketua program studi harus dari pendidikan dokter. Sehingga penekanannya pada FKIK hanya pada ketua program studi-nya.

Pada analisa tanda garis miring ini mengartikan bahwa dekan FKIK tidak harus dari profesi dokter, tetapi ketua program studi pendidikan dokter harus dari profesi dokter. Hal ini sesuai tujuan penyelenggaraan pendidikan dokter yaitu untuk menghasilkan dokter yang profesional melalui proses yang terstandardisasi sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.

Jika pada FKIK yang terdiri dari beberapa program studi kemudian ada penekanan untuk kepemimpinan fakultas dipaksakan dari profesi dokter sesuai tuntutan pertama yang berbunyi “Dekan FKIK terpilih diganti oleh seorang dekan dengan latar belakang pendidikan dokter” maka ini melanggar Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang terdapat pada undang-undang (UU) No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pada pasal 6 poin b yang berbunyi “pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa”. Kemudian tuntutan ini akan bertentangan dengan UUD 45 pada pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” yang kemudian ditekankan pada asas negara kita yaitu pancasila di sila kelima menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada dasarnya jika permasalahan pada FKIK UIN dikaitkan dengan aturan KKI, UU Pendidikan Tinggi, UUD 45 dan Pancasila maka dapat kita lihat bahwa pemaksaan terhadap dekan harus hanya dari profesi dokter akan melanggar pancasila, UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi.

Kemudian pada tuntutan kedua yaitu “PSPD UIN Jakarta memisahkan diri dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan membentuk Fakultas Kedokteran yang mandiri”. Pada UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terdapat pasal terkait Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan yang berbunyi 1) Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan 2) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia 3) Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi. Artinya ada hak kebebasan untuk membuat fakultas secara mandiri tetapi berbasis ilmiah.

Selain itu, beberapa sivitas rumpun ilmu kesehatan mengetahui tentang konsep Interprofessional Education (IPE), yaitu salah satu konsep pendidikan yang dicetuskan oleh WHO sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk peningkatan kemampuan kolaborasi. Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE) (2002) menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyatuan rumpun ilmu kesehatan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi nama FKIK tidak terlepas dari penerapan konsep IPE itu sendiri. Kemudian jika pada akhirnya setiap dasar keilmuwan di FKIK ingin membuat fakultas secara mandiri, apakah konsep IPE ini masih menjadi relevan? Dimana cita-cita IPE sendiri adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan Indonesia dengan kolaborasi dari multidisiplin rumpun ilmu kesehatan.

Wallahu A’lam Bishowab

Nurdiansyah, S.Kep. Ns./Alumni FKIK UIN Jakarta 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun