Hafidz Indonesia atau Hafizh Indonesia?
Ajang pencarian bakat para penghafal Alquran ini iklannya sering lewat, tapi kurang saya perhatikan. Pas tadi acaranya 'nongol', saya lihat bagus juga acaranya, menampilkan anak-anak kecil di panggung untuk membaca surat Alquran yang ditentukan. Saya lihat banyak audiens (dan mungkin pemirsa di rumah juga) ikut-ikutan memperhatikan atau sekedar membaca apa yang telah dibacakan oleh pesertanya. Terutama jurinya, mereka berusaha memperhatikan tajwidnya secara seksama. Peserta pertama tampil, namanya Fatih. Namanya mirip juara X-Factor kemarin, Fatin. Dan saya pikir bocah ini akan menjadi juaranya. Seperti dugaan saya pada Fatin waktu pertama kali lihat audisinya, dia akan juara, ternyata terbukti. Dan saya baru tahu bahwa bocah yang menjadi sorotan utama dalam iklannya itu adalah dia, Fatih.
Untuk seumuran dia, saya akui dia cukup pede. Kebetulan surat yang harus dihafalnya adalah surat yang pernah saya hafal, Al-Mutaffifiin (Q.S 83), jadi lumayan untuk saya mengingat kembali hafalan ini. Dia membaca dengan sangat lancar, makhroj dan harakatnya pas. Dan tanpa lagu yang mendayu-dayu sehingga tidak mengganggu konsentrasi saya dalam pemaknaan ayat demi ayat. Meskipun mungkin dia berusaha membacanya dengan dilagukan, tapi saya mendengarnya tetap datar, tidak ada penekanan atau dramatisasi (baca: penjiwaan) ayat per ayat. ya mungkin karena ini hanya ajang hafalan tingkat anak-anak. Tapi saya tetap salut padanya, untuk seusia dia, makhrojnya enak didengar.
Selesai hafalannya, para juri memberi penilaian. Juri pertama mengakui bahwa dia membacanya dengan tajwid dan makhroj yang pas. Hanya ada satu huruf pada satu kata yang tidak pas menurutnya. Yaitu huruf sin dibaca shod pada kata 'asaathiiru' (ayat 13). Selanjutnya juri kedua menyuruh Fatih itu untuk mengulang ayat 7 dan ayat 18. Sang juri membandingkannya lalu mengatakan bahwa hanya kurang satu harakat (ketukan) di ayat ke-7-nya pada kata 'kallaa'.
Yang membuat saya heran adalah mereka (para Juri) begitu detail dalam memperhatikan makhroj huruf tiap kata yang dibacakan, tapi kenapa nama acaranya tidak disesuaikan dengan makhrojnya? Mengapa harus Hafidz Indonesia bukan Hafizh (Haafizh) Indonesia? Atau mungkin mereka sudah mengkritik sebelumnya tapi karena sudah terlanjur jadi iklan, ikon, logo, dsb itu sehingga mereka membirakannya begitu saja? Memang sih huruf latin tidak sepenuhnya bisa mewakili huruf arab, tapi bukankah kita punya kaidah penulisan arab-latin yang telah disepakati secara umum? seperti kita ketahui, huruf dzal, zai, dan zho dalam bahasa Arab ditulis sebagai dz, z, dan zh dalam bahasa latin. Huruf dzal misalnya pada kata adzan, dzikir, ustadz. Huruf zai misalnya pada kata zainab, zakat, zam-zam. Sedangkan huruf zho misalnya pada kata husnuzhon, zhihar, zholim, dan hafizh.
Saya mencoba cari kata hafidz (dengan dz berarti dengan huruf dzal) dalam kamus. Ternyata tidak ada kata tersebut. Bahkan bila diambil dari 3 huruf aslinya, tidak ada kata ha-fa-dza, yang ada hanya ha-fa-da langsung lompat ke ha-fa-ra. Bagi saya, makhroj huruf itu sangat penting bila dibanding dengan harakat (jumlah ketukan). Kenapa? karena beda satu huruf saja bisa beda arti. Sedangkan harakat, saya kira bisa membedakan antara 1 harakat dengan 2 harakat saja itu sudah baik. Artinya bisa membedakan panjang-pendeknya bacaan saja itu sudah cukup. Tidak perlu memanjang-manjangkan bacaan panjang dengan melebih-lebihkan harakatnya. Dengan kata lain, tidak perlu membedakan mana bacaan panjang yang mesti dibaca 2 sampai 4 harakat, apalagi sampai 8 harakat. Jadi, salah makhroj bisa mengubah arti, tapi salah harakat belum tentu mengubah arti.
Contoh kurang pentingnya harakat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kata Allah. Seharusnya huruf lam-nya dibaca 2 harakat, Allaah. Tapi dalam adzan, kata Allah dalam "Allaahu akbar" dibaca 5-10 harakatpun tidak akan mengubah artinya. Bagi saya, tidak bisa membedakan 2, 3, atau 10 harakat itu tidak begitu penting. Tapi jika tidak bisa membedakan 1 dengan 2 harakat adalah kesalah fatal. Misalnya jika anda menyebut kata jama'a dengan 1 harakat (dibaca pendek) maka itu artinya berkumpul. Tapi jika anda menyebut huruf jim (atau ja)nya dengan 2 harakat, jaama'a, maka itu artinya bersetubuh! anda baca dengan 2, 3, atau lebih harakatnya artinya tetap bersetubuh. Jadi yang ingin saya tekankan di sini adalah bedakan panjang-pendeknya bacaan (1-2 harakat itu cukup) tapi jangan terpaku dengan seberapa panjang harakat yang harus dibaca ketika bertemu huruf yang harus dibaca panjang. Kebanyakan pemula seringkali kesulitan jika berhadapan dengan kasus harakat ini (biasanya masuk dalam kasus mad) yang seringkali membuat mereka malah jadi malas baca Alquran (karena ribet mungkin?). Padahal cukup sederhana, ajarkan saja mana yang harus dibaca pendek, dan mana yang harus dibaca panjang.
Untuk kata Hafidz, selain salah huruf dz juga salah harakat, seharusnya huruf ha itu 2 harakat. Jadi yang benar adalah Haafizh (Hāfizh). Tapi seperti yang saya katakan sebelumnya, karena huruf latin tidak sepenuhnya mewakili huruf arab, maka dalam hal panjang-pendeknya huruf, bisa ditulis dengan huruf dobel (aa) atau huruf yang berkarakter, misalnya huruf a panjang diberi tanda titik atau garis di atasnya (ā). Berhubung kata Islam (huruf la-nya 1 harakat, harusnya 2 harakat jadi Islaam atau Islām) tidak dipermasalahkan masyarakat kita karena artinya disepakati secara umum, maka penulisan Haafizh menjadi Hafizh tidak saya permasalahkan. Saya hanya permasalahkan huruf zh yang ditulis menjadi dz. Karena kesalahan makhroj itu sangat fatal menurut saya. Misalnya kata 'aliim (dengan huruf 'ain; berarti Yang Maha Mengetahui), jika anda membacanya datar sehingga terdengar huruf alif bukan 'ain, mejadi aliim, maka artinya menjadi Yang menyakitkan. Parah kan? padahal cuma salah makhroj 1 huruf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H