Internet: Anugerah atau Petaka?
Internet adalah anugerah yang membuka akses ke berbagai informasi dan peluang yang tak terbatas. Namun, di balik kemudahan ini, ada bahaya besar yang mengintai: kepalsuan dalam sosial media. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan edukasi, justru sering kali menjadi sarang informasi yang menyesatkan, hoaks, hingga penipuan berbasis digital.
Di era digital ini, hampir setiap individu memiliki akses ke internet, tetapi tidak semua memiliki kemampuan untuk memilah dan menganalisis informasi dengan baik. Fenomena clickbait, disinformasi, dan manipulasi opini semakin marak. Sayangnya, banyak pengguna media sosial yang menelan mentah-mentah informasi tanpa melakukan verifikasi, sehingga mudah dimanipulasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Skema Ponzi: Penipuan Berkedok Investasi
Salah satu bentuk kepalsuan di media sosial yang harus diwaspadai adalah skema Ponzi, yang sering kali berkedok investasi menguntungkan. Skema ini menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat dengan konsep yang tampak meyakinkan. Namun, keuntungan yang diberikan kepada investor lama sebenarnya berasal dari uang yang disetorkan oleh investor baru, bukan keuntungan bisnis atau investasi yang nyata.
Di Indonesia, berbagai kasus penipuan investasi berbasis Ponzi telah merugikan masyarakat hingga triliunan rupiah. Kemunculan platform investasi bodong di media sosial semakin meningkat karena algoritma media sosial memungkinkan promosi yang agresif dan menargetkan orang-orang yang mudah tergiur dengan janji keuntungan cepat. Kurangnya literasi keuangan membuat banyak orang percaya begitu saja dan akhirnya kehilangan uang mereka.
Rendahnya Literasi: Penyebab Lemahnya Penalaran Kritis
Salah satu penyebab utama mudahnya masyarakat tertipu skema Ponzi adalah rendahnya literasi. Menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia masih menempati peringkat rendah dalam hal literasi dibandingkan dengan negara lain. Riset dari UNESCO juga menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001%, artinya dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang gemar membaca.
Rendahnya budaya membaca ini berdampak langsung pada lemahnya kemampuan berpikir kritis. Padahal, bacaan yang kompleks dan berbobot memiliki peran penting dalam merangsang kemampuan berpikir analitik. Di negara-negara dengan tingkat literasi tinggi, masyarakatnya lebih skeptis terhadap informasi yang mereka terima, sehingga lebih sulit untuk tertipu oleh hoaks atau skema penipuan.
Di Indonesia, justru yang banyak dikonsumsi adalah konten-konten ringan, seperti hiburan viral yang tidak memiliki nilai edukatif. Akibatnya, daya analisis masyarakat melemah, sehingga mereka lebih mudah terprovokasi dan termakan informasi menyesatkan.