Berapa banyak manusia Indonesia yang pernah termakan oleh scam atau penipuan online? Saya tidak punya data yang pasti, tetapi percayalah jumlahnya tidak sedikit. Bukan tidak mungkin teman Anda pernah percaya dengan hal tersebut, keluarga Anda, atau bahkan Anda sendiri pernah menjadi korban. Jika bukan jadi korban, paling tidak Anda sempat tergiur dengan metode instan untuk memperoleh uang dengan cara online.
Disadari atau tidak, mentalitas untuk mendapatkan suatu keuntungan dengan cara instan merupakan penyakit. Mentalitas ini menjangkiti banyak manusia. "Memperoleh keuntungan dengan cara yang cepat dan mudah, siapa sih yang tidak mau?" Mungkin begitu pemikiran mereka. Padahal, tanpa mereka sadari, dinamika dunia finansial tidak sesederhana yang mereka kira.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas bagaimana sistem atau mekanisme scam online. Saya hanya ingin menjawab kenapa scam atau modus penipuan online tersebut bisa menjamur di Indonesia? Dan kenapa pula ada banyak orang Indonesia begitu mudahnya percaya atau tergiur dengan hal demikian?
Di tahun 2015, Jakarta pernah ditunjuk sebagai tuan rumah kegiatan yang  bertajuk Social Media Week. Tapi, tahukah Anda bahwa ternyata Jakarta terpilih karena warganya sangat "berisik" di sosial media. Di tahun 2017, Indonesia berada di peringkat kelima sebagai negara paling "bawel" di sosial media. Dan hingga saat ini, netizen Indonesia bisa disebut sebagai netizen paling aktif dan mungkin juga paling "barbar".
Dengan membaca data tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia adalah pasar yang empuk untuk peredaran banyak informasi. Tidak terkecuali untuk informasi yang tidak sehat seperti scam atau penipuan online. Dengan  status sebagai salah satu user smartphone terbanyak, praktis arus informasi diakses dan dikonsumsi secara masif nyaris tanpa kendali.
Di satu sisi kemudahan mengakses informasi sangatlah berguna. Dengan demikian ada keterbukaan untuk orang Indonesia mengetahui banyak hal. Sayangnya, arus informasi yang sedemikian masif tersebut berbenturan dengan fakta di mana indeks pembangunan kualitas SDM orang Indonesia yang sangat lemah. Dengan banyaknya orang Indonesia yang mudah percaya hoax, mudah diprovokasi, percaya dengan klenik hingga tergiur scam atau menjadi korban penipuan online, menunjukkan banyaknya orang Indonesia yang kurang mampu berpikir kritis terhadap informasi yang diterimanya.
Bersikap kritis merupakan kebutuhan mutlak di era Post-Truth seperti saat ini. Meminjam istilah tradisi keilmuan Islam, bersikap kritis dalam konteks post-truth mungkin seharusnya telah menjadi Fardu 'Ain.Â
Secara defenitif post-truth yakni kondisi di mana masyarakat cenderung mengabaikan fakta objektif dibalik sebuah informasi. Informasi yang diperoleh tak lebih dari sekedar afirmasi bahwa dirinya turut serta eksis dalam mengkonsumsi informasi tersebut. Nalar kritis menjadi mati sebab masyarakat dengan mentalitas instan cenderung melibatkan sikap emosionalnya ketimbang mengaktifkan nalar sehatnya.
Memiliki kemampuan berpikir kritis memang tidak mudah. Akan semakin tidak mudah jika kita berharap kemampuan berpikir kritis itu dimiliki secara kolektif. Tidak mudah karena berpikir kritis sangat korelatif dengan budaya literasi.Â
Budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah. UNESCO pernah mencatat dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang di antaranya yang memiliki kegemaran membaca. Meski ini data yang sudah cukup lama, namun jika ada perubahan positif saat ini, saya kira belum cukup bisa disebutkan membanggakan.
Secara sederhana, ketika seseorang memiliki kualitas bacaan yang baik, berbobot dan kompleks, maka tentu hal demikian akan merangsang dirinya untuk memiliki kemampuan analytical thingking. Kemampuan menganalisa antar satu informasi dengan informasi yang lain inilah yang kelam akan menciptakan sikap kritis.
Sayangnya, sekali lagi budaya gemar membaca di Indonesia masih sangat rendah. Sehingga, kita tidak bisa berharap banyak melihat orang-orang Indonesia berpikir kritis di era post-truth seperti ini. Agak miris karena ponsel yang sudah cerdas tidak berbanding lurus dengan kualitas berpikir. Jadi, sampai di sini Anda sudah cukup tahu kenapa scam atau penipuan online marak di Indonesia. Dan kenapa pula ada banyak orang Indonesia yang tertipu atau mudah tergiur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H