Rabu lalu (1/9), akibat penyalahgunaan narkoba jenis sabu, Coki Pardede diciduk polisi. Netizen heboh seketika. Sampai saat ini nama Coki ramai terpampang di beranda-beranda sosial media.Â
Wajar saja, Coki memang cukup dikenal. Ia merintis karir melalui kanal komedi. Panggung Stand Up Komedi Season 4 yang diikutinya berhasil mendongkrak nama dan karirnya.
Ketenaran Coki tidak berhenti sampai di situ. Komedian ini juga dikenal akibat berkali-kali mengundang kontroversi. Di tahun 2018, bersama Tretan Muslim, dalam acara yang bertajuk The Last Hope Kitchen.Â
Coki berkelakar, "bagaimana jika sari-sari kurma masuk ke pori-pori (daging babi), apakah cacing pitanya jadi mualaf?" Ujar Coki tertawa-tawa. Kelakar Coki ini menuai respon negatif dari sebagian ummat Islam Indonesia. Coki dituding menistakan agama.
Materi komedi Coki lebih kepada dark comedy. Materi ini memang erat dengan jokes bernada satire. Tak jarang humor-humornya menyerempet ke agama. Ada yang tertawa terhibur mendengarnya, namun tak sedikit pula yang mendidih otaknya sebab menilai bahwa, agama tidak semestinya menjadi objek komedi.
Sisi lain dari Coki yang cukup banyak menyita perhatian publik adalah, posisinya sebagai Agnostik. Secara terbuka, Coki menyatakan bahwa ia adalah seorang agnostik.Â
Sebuah posisi filosofis yang menunda percaya mengenai eksistensi Tuhan. Posisi agnostik hanya berbeda tipis dengan Ateis. Jika ateis dengan tegas menyatakan tuhan tidak ada. Alasannya, tak ada bukti yang valid dan objektif akan keberadaan tuhan.
Sedangkan agnostik lebih kepada sikap 'tidak mengetahui' akan keberadaan tuhan. Sikap inilah yang membuat orang-orang agnostik menunda percaya sampai dikemudian waktu ada bukti objektif bahwa, tuhan itu memang ada. Inilah posisi Coki Pardede. Coki secara tegas menyatakan diri seorang agnostik.
Ketika Coki disambangi polisi di kediamannya, dan kemudian diamankan karena terbukti mengkonsumsi narkoba jenis sabu, tak sedikit netizen yang menilai bahwa, Coki terkena azab dari tuhan akibat meragukan eksistensi-Nya.Â
Ada pula yang menyebut penangkapan Coki wajar. Orang yang meragukan keberadaan tuhan dinilai sudah pasti tidak bermoral. Ia bebas melakukan apa saja, termasuk mengkonsumsi sabu-sabu. Toh, baginya tuhan itu belum tentu ada. Begitu kiranya penilaian sebagian netizen.
Namun, benarkah seperti itu? Apakah posisi sebagai agnostik atau ateis secara otomatis membuat seseorang menjadi amoral? Apakah kita, Â jika menjadi ateis atau agnostik serta merta akan seenaknya berbuat jahat?
Lebih dari lima tahun lalu, tepatnya di tahun 2015, KPK menangkap Suryadharma Ali atas dasar penyalahgunaan wewenang serta memperkaya diri sendiri.Â
Ketika itu dirinya berstatus sebagai menteri agama dan merupakan petinggi di salah satu Parpol Islam. Kasus korupsi menggiringnya ke penjara. Dipecat pula sebagai Ketua Umum Partai.
Dalam kasus yang berbeda, Indonesia merupakan negara yang sudah cukup kenyang diguncang serangan teror. Peristiwa Bom Bali hingga Bom Gereja di Surabaya kiranya masih segar dalam ingatan warga Indonesia.
Jika boleh jujur, pelaku dari dua kasus yang berbeda tersebut dilakukan oleh mereka yang beragama. Mungkin ada yang berusaha berkilah dengan berkata, "oh itu bukan salah agamanya. Mereka adalah oknum. Agama tidak mengajarkan korupsi dan teror." Namun, poinnya bukan soal oknum atau bukan. Ini tentang potensi.
Faktanya, percaya ataupun tidak terhadap eksistensi tuhan, sama sekali tidak menjadi penentu baik buruknya seseorang. Moralitas dan agama yang dianut tidak selalu inheren. Sejarah mencatat betapa agama menjadi pemantik peperangan.
Kita juga disuguhkan kabar, di mana nama tuhan yang suci diteriakkan sembari memenggal kepala, dan meledakkan bom di rumah ibadah agama yang lain. Bagaimana mungkin, sebuah agama yang menawarkan kedamaian surga, tetapi penganutnya menciptakan neraka bagi orang lain?
Sementara itu di belahan dunia yang lain, ada beberapa negara yang dikenal karena penduduknya tidak religius. Mereka cenderung bersikap "bodoh amat!" dengan agama.Â
Tetapi, merekalah yang terdepan merefleksikan nilai-nilai luhur keagamaan. Penduduknya tertib, menghargai hak orang lain, kebersihan dijaga, angka korupsi ditekan ketitik terendah, cerdas dan maju.
Jadi, beragama ataupun tidak, hal tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan moralitas. Mereka yang percaya terhadap tuhan ataupun tidak, sama-sama berpotensi melakukan kebaikan serta keburukan.
Pun demikian dengan kasus yang menimpa Coki Pardede. Posisi Coki yang menunda percaya terhadap keberadaan tuhan, yakni agnostik, tidak memiliki korelasi dengan penyalahgunaan narkoba yang telah dilakukannya.Â
Di luar sana ada banyak bandar dan penikmat narkoba, namun mereka tetap percaya terhadap tuhan.
Sekian dan terimakasih. Eh, Kopi, mana kopi?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H