Apa kira-kira yang terlintas di benak anda, ketika mendapati seorang anak kelas 4 SD yang belum mampu membaca dengan baik? Ya, itulah terjadi dengan adik angkat saya sekitar delapan tahun yang lalu. Sebut saja namanya Vina (bukan nama asli).
Konyolnya lagi, mama saya justru membawa Vina ke kampung nenek untuk meminumkan Vina "air ajaib". Air yang dipercaya jika diminum akan membuat orang yang meneguknya akan menjadi pintar dan cerdas.
Apa yang terjadi kemudian dengan Vina? Sama seperti sebelumnya, tak ada perubahan. Vina tetap belum mampu membaca. Bisa dibayangkan, sebuah persoalan dipercahkan dengan cara yang tidak korelatif.
Tetapi, seperti itulah Indonesia. Dari jaman pra kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia memanglah negeri yang berselimutkan mitos dan takhayul.
Uang hilang di dalam lemari, yang dikambing hitamkan tuyul. Orang kesurupan dianggap kerasukan lelembut. Terjadi kecelakaan di dalam sebuah terowongan dimaknai sebagai gangguan mahluk halus. Aksi sulap yang terlihat tidak masuk akal, justru menuduh praktisi sulapnya bekerja sama dengan jin.
Sejak dulu, fenomena seperti itu sudah ada. Bahkan di jaman pra kemerdekaan. Hal seperti inilah yang pernah mengusik Tan Malaka. Pahlawan nasional yang sempat terlupakan ini menyebutnya dengan istilah, "Logika Mistika".
Di dalam salah satu maha karya miliknya, Madilog, Tan Malaka menggunakan istilah "Logika Mistika" untuk menggambarkan  cara berpikir bangsa Indonesia kala itu.
Logika mistika adalah pemikiran yang bertumpu pada kepercayaan terhadap mitos dan takhayul. Menurut Tan Malaka, cara berpikir seperti ini tidak akan bisa membuat bangsa Indonesia maju.
Di sinilah letak peran penting dunia pendidikan. Sekolah-sekolah sudah selayaknya bekerja membentuk mindset berpikir rasional terhadap peserta didiknya. Para guru sudah semestinya mendidik para siswa untuk percaya pada proses dari balik suatu fenomena.
Dengan begitu, kelak kita akan melihat jawaban dari generasi Indonesia bahwa pelangi bukan karena ada bidadari mandi, hujan turun bukan karena ada yang menangis atau menuangkan air di langit sana, fenomena gerhana matahari bukan karena ditelan raksasa, tsunami terjadi bukan karena dosa-dosa siapa.
Begitulah. Mari belajar untuk melihat proses, bukan meletakkan mitos sebagai solusi.