Mohon tunggu...
Ian Kassa
Ian Kassa Mohon Tunggu... Freelancer - Merdeka dalam berpikir.

Percaya bahwa tak ada eksistensi tanpa perbedaan. Serta percaya pada proses, bukan pada mitos.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies & Tenun Kebangsaan yang Semakin Koyak

17 Oktober 2017   00:14 Diperbarui: 17 Oktober 2017   06:43 2372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resmi sudah Jakarta dengan gubernur barunya, Anies Baswedan. Didampingi pula dengan Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur. Seperti yang kita ketahui, untuk sampai ke tampuk tertinggi kepemimpinan DKI, Anies telah meniti lika-liku dinamika politik. 

Dalam bingkai pluralisme dan toleransi, Anies merupakan sosok idola. Tapi, itu dulu. Beberapa tahun yang lalu. Jauh sebelum atmosfir Pilkada DKI memanas. Sekarang? Saya skeptik. Malah sudah hampir menyentuh level tidak mempercayai Anies sebagai "simbol" perekat keberagaman bangsa lagi. Bukan cuma saya, tapi ada banyak orang. Ada banyak kalangan. Kok bisa? 

Tidak sedikit dari orang-orang yang mengingat Anies, yang diingatnya adalah "Tenun Kebangsaan". Satu terminologi yang merefleksikan harmonisme keragaman bangsa. Keragaman yang dibingkai dengan toleransi serta terhembuskan oleh satu nafas yang kita sebut "Bhineka Tunggal Ika."

Tapi, sekali lagi saya katakan, itu Anies yang dulu. Orang Makassar bilang, "Lain bolu, lain cakalang. Lain dulu, lain sekarang." Bolehlah kita bertanya, apa kabar Tenun Kebangsaan? Mari kita lihat. 

Setelah Anies Baswedan dilantik kemarin, Ia kemudian menyampaikan pidato perdananya sebagai gubernur baru Ibu Kota Negara. Isinya nyerempet-nyerempet istilah 'Pribumi'. "Kini saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Anies. Di samping itu, ada juga bentangan spanduk yang dibawah oleh pendukung Anies dengan tulisan: "Kebangkitan Pribumi Muslim". 

Saya kira kita sudah selesai dengan siapa pribumi dan siapa pendatang (non-pribumi). Saya kira kita sudah sepakat bahwa identitas-identitas seperti tidak baik untuk cita-cita keadilan sosial di negeri ini. Ternyata saya salah.

Jadi, kelak ada lagi gelaran politik dan kita menemukan kembali sentimen-sentimen siapa pribumi dan siapa yang bukan, yakinlah bahwa tenun kebangsaan tidak bekerja efektif. Justru yang ada malah semakin koyak. Rest in Peace Tenun Kebangsaan.

Namun, dari palung hati terdalam, untuk Anies Baswedan dan Tenun Kebangsaan itu, masih ada kedip-kedip bara harapan yang menyala. Mungkin nyalanya akan kian besar bila nanti dalam laju kepemimpiannya, Anies Baswedan tidak memberi sedikit pun ruang untuk mereka yang cenderung intoleran. Mampukah? Lagi-lagi saya masih skeptik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun