"Duh kayanya gue perlu self-healing nih", "lu kenapa? Coba deh lu kemana gitu, buat self-healing", tampaknya kalimat-kalimat seperti itu tidaklah begitu asing ditelinga kita.Â
Contoh lain, mungkin pada saat kita sedang berselancar di social media, terkadang kita pasti menjumpai caption-caption dengan jenis yang seperti ini "my kind of self-healing", "me time to recharge my energy", sambil memposting sebuah foto lagi liburan atau sedang berada di sebuah caf.
Tapi benarkah penyembuhan diri yang seperti itu yang kita inginkan?
Nggak salah sih, tekanan dan masalah yang dihadapi oleh setiap orang saat ini semakin lama semakin tidak lagi terkendali. Kaum milenial dan generasi Z adalah kelompok yang saat ini sangat rentan dengan tingkat stress yang sangat tinggi.Â
Tuntutan pekerjaan dan tuntutan sejawat terkadang membuat kesehatan mental menjadi tidak stabil. Kalau tidak hati-hati bisa mengakibatkan gangguan mental yang cukup parah.
Namun, disisi lain, fenomena self-healing ini justru menjadi lelucon karena pada akhirnya mengakibatkan mata rantai yang cukup mengkhawatirkan. Pada dasarnya ketika seseorang ingin melakukan self-healing tentu ada akibat yang terjadi, terutama pada keuangan si orang itu sendiri.Â
Berlibur ataupun sekedar pergi ke caf yang cukup mewah dengan alasan self-healing tentu membutuhkan uang yang terkadang tidak sedikit, bahkan terkadang membuat pribadi kita menjadi lebih boros.
Kembali lagi, setelah melakukan self-healing, kembali ke rutinitas keseharian bisa menjadi dua gendang. Menjadi lebih segar atau menjadi frustasi kembali ketika melihat rekening yang tidak lagi membuat senyuman terukir disudut bibir.Â
Lalu seperti kata beberapa influencer di social media "begitu aja terus, sampai thanos datang".
Tentu tidak ada yang salah dengan melakukan self-healing. Namun, jangan sampai hal tersebut sebenarnya hanya menjadi alasan kita untuk sesuatu yang tidak ingin kita akui, lebih buruknya lagi menjadi alasan bagi kita untuk terus melakukan pemborosan.