Dalam hitungan bulan, kabinet yang lama akan berganti dengan kabinet yang baru. Sudah tentu, dan tidak lagi menjadi rahasia jika seiring dengan bergantinya pemerintahan dan susunan kabinet yang baru, akan ada perombakan dan pergantian Menteri-menteri yang dulunya bertugas dibidang dan areanya masing-masing, meski tidak bisa pula dipungkiri mungkin akan ada pula Menteri yang menjabat dua periode.
Salah satu yang mungkin akan berganti adalah Menteri yang bertugas untuk mengurusi bidang pendidikan dasar dan menengah. Bergantinya Menteri pendidikan ini tentu akan membawa perubahan kebijakan didalam segala aspek, terutama di kementrian yang akan dipimpin oleh Menteri yang baru, tidak terkecuali kurikulum pendidikan di sekolah.
Perubahan demi perubahan pada kurikulum pendidikan di negeri ini tampaknya sudah menjadi sebuah kewajaran. Setidaknya ada sekitar 10 jenis kurikulum yang telah diterapkan sejak tahun 1947 hingga kini.
Kini, mendekati masa kabinet yang akan segera dirombak dan kemungkinan besar bahwa kemudian Menteri pendidikan juga akan mengalami pergantian, maka kemungkinan besar pula, kurikulum dan segala kebijakan yang telah ada juga akan mengalami perubahan.
Dalam wawancara dengan sebuah media nasional, Wakil Presiden yang kini sedang menjabat, Jusuf Kalla, mengatakan bahwa jika tiap kali Menteri berganti dan kemudian kurikulum yang sedang berjalan ikut dirombak itu adalah hal yang wajar.Â
Agak sedikit mengejutkan memang, jika seorang Wakil Presiden berkata seperti itu, tanpa berpikir akibat yang dirasakan oleh siswa yang menjalani kurikulum tersebut.
Meski dasar berpikir beliau mengatakan bahwa pendidikan itu dinamis dan bisa berubah karena teknologi yang terus melaju, apakah itu membenarkan perombakan kurikulum menjadi sebuah kewajaran?
Mari kita lihat, jika kurikulum dirombak setiap 5 tahun sekali dengan asumsi bahwa Menteri pendidikan akan melaksanakan tugasnya dengan bersih selama 5 tahun, tanpa adanya reshuffle ditengah-tengah periodenya, itu saja masih akan menimbulkan pro dan kontra.Â
Sebab, akan proses dimana sebelum siswa-siswi di berbagai jenjang pendidikan menyelesaikan kurikulum yang sedang berjalan mereka harus berhadapan lagi dengan sesuatu yang baru.
Belum lagi jika ditengah-tengah sang Menteri harus di-reshuffle, dan kemudian membuat kebijakan baru lagi.