Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Aktivisme dan Kegagalan Kemiskinan

9 Januari 2025   13:08 Diperbarui: 9 Januari 2025   13:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Mahasiswa 1998. Sumber Pinterest Rudi Mostar

Apa yang kita persangkakan tentang kemiskinan? 

Kegagalan, kemalasan, bahkan kesialan? Bukan begitu?

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba melihat bagaimana kemiskinan itu hadir, juga mencoba membantah, bahwa kemiskinan adalah kejadian yang terstruktur. Terkhusus di Indonesia, kemiskinan ada akibat tindakan korup lagi rakus dari penguasa.

Saya juga ingin mengkritik, kegiatan aktivisme yang gagal melihat itu sebagai sesuatu yang terstruktur. Alih-alih itu, para pegiat aktivisme justru menjadi bagian dari pelanggen kekuasaan. Sebelumnya, saya ingin mendeklarasikan, saya bukanlah aktivis, belakangan saya merasa menjijikkan dengan kata itu.

Aktivisme dan Perubahan Sosial

Aktivisme belakangan populer setelah perkembangan internet di masa postmodern ini. Secara kebahasaan, aktivisme berasal dari kata latin aktivus yang jika diserap dalam bahasa Indonesia berarti aktif.

Demonstrasi Mahasiswa 1998. Sumber Pinterest Rudi Mostar
Demonstrasi Mahasiswa 1998. Sumber Pinterest Rudi Mostar
Kata ini lekat pada individu atau kelompok dalam mendukung atau memperjuangkan perubahan sosial, politik, ekonomi, atau lingkungan. Jika menilik ke belakang, kita bisa melihat gerakan Mahatma Gandh, Nelson Mandela dan sebagainya sebagai gerakan aktivisme.

Gerakan tersebut umumnya, mendorong transformasi masyarakat. Hal ini penting, melihat bagaimana kepentingan ekonomi, diskriminasi, maupun pelannggaran hak asasi manusia yang belakangan semakin sering terjadi. Beberapa orang menganggap penting mendorong perubahan sosial.

Kemiskinan Sebagai Kekerasan Struktural

Ada yang menarik dari kemiskinan. Sebagai sebuah masalah dalam ekonomi dan sosial, perlu dilihat bahwa kemiskinan hadir karena adanya kekerasan struktural. Konsidisi sosial, politik, atau ekonomi secara sistematis menciptakan ketidakadilan dan penderitaan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat. Istilah "kekerasan struktural" diperkenalkan oleh Johan Galtung, seorang sosiolog yang menjelaskan bentuk kekerasan yang tidak langsung dan tersembunyi, tetapi tetap merugikan individu atau kelompok

Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat bagaimana perampasan ruang yang terjadi. Semisal pada kasus perampasan tanah di Rempang dan Takalar. Keduanya merupakan pengalihan lahan, dari lahan pertanian yang dikelola secara kolektif oleh warga, digantikan menjadi lahan kelola oleh negara. Tidak ada kesepakatan dari warga atas pengalihan tersebut, alhasil warga yang terbiasa hidup bertani dari tanahnya tersbut kehilangan mata pencaharian. Hal tersebut, terus berulang. Ini yang disebut sebagai kemiskinan struktural.

Dalam dua kasus tersebut, aktor yang menjadi perampas lahan adalah negara. Negara memiliki kewenangan lebih atas warga negara. Hal ini, besar kemungkinan terjadi karena ada ketimpangan sosial antara warga sebagai pihak yang dikuasai dan negara sebagai pihak yang menguasai.

Tindakan tersebut, merupakan tindakan yang tersistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh negara. Negara, memiliki kewenangan memanipulasi hukum dan menggerakkan kekuatan pengamanan dalam hal ini polisi. Kewenangan tersebut terkadang tidak mampu dijangkau oleh masyarakat, terkhusus masyarakat tani di dua wilayah yang disebut.

Selain negara sebagai aktor kekuasaan, pihak lain juga memiliki kemungkinan untuk menjadi aktor perampas lahan. Semisal pada mereka yang memiliki kondisi ekonomi berlebih, atau pemilik modal.

Dalam teori politik ekonomi, para pemilik modal dapat mengkonvrsi kekuatan ekonominya menjadi kekuatan. Mereka dapat menyewa preman atau bahkan polisi untuk kepentingan usahanya. Mereka juga dapat memanipulasi hukum, dengan menyewa legislator atau menyuap jaksa dan hakim dalam proses peradilan. Hal ini tentunya akan berdampak buruk dan melanggenkan ketimpangan sosialnya.

Bias Giat Aktivisme

Pada dasarnya, tulisan ini saya buat sebagai bahan diskursus melihat fenomena gerakan sosial yang ada. 

Pada suatu pagi yang cerah, saya yang berada dalam lingkungan kawan kawan yang mendeklarasikan mereka sebagai bagian dari aktivisme menkritik cara kerja saya dalam membangun relasi dengan tumbuhan.

Mereka mengklaim saya gagal dalam merawat tanaman yang ada. Kali ini, saya mencoba mengkoreksi cara berpikir tersebut.

Dalam relasi sosial, penting dilihat relasi kekuasaan tidak hanya terjadi hanya dalam hubungan petani dan negara, atau hanya dalam hubungan kemiskinan dan kekayaan namun lebih dari itu.

Jika menilik teori awal, teori kekerasan Galtung kita bisa membayangkan bagaimana kemiskinan itu terjadi. Ada struktul sosial yang bekerja.

Dalam relasi manusia dengan tanaman, penting melihat relasi sosial. Manusia terkadang mendeklarasikan diri sebagai tuan atau majikan, hal ini juga yang diklaim oleh pegiat aktivisme tersebut terhadap relasi saya dan tanaman yang ada, walau sebenarnya saya tidak menciptakan relasi majikan dan peliharaan. 

Penciptaan relasi majikan dan peliharaan, akan membentuk struktur sosial juga struktur kekuasaan. Keduanya akan saling ketergantungan, namun karena berada pada posisi subordinary atau posisi yang lebih rendah peliharaan akan rentang untuk tertindas dan dieksploitasi.

Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi pemikiran para aktivis tersebut. Dengan pemikiran struktural tersebut, melanggenkan umur penindasan.

Miris juga melihat aktivisme tersebut, alih alih mendorong perubahan sosial. Mereka justru menjadi pencipta kelas, menjadi tuan, majikan, kaya raya, untuk menguasai satu entinitas atau bahkan kelompok yang dikuasainya. Kasian mereka, gagal menciptakan perubahan sosial, dan hanya melanggenganggenkan penindasan walau tidak langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun