Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merapal Doa di Jalan Makassar

30 Agustus 2024   20:45 Diperbarui: 30 Agustus 2024   20:53 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak pernah bercerita soal Kancil yang mencuri timun milik Petani. Dialognya cukup menarik, Kancil menganggap Petani terlalu rakus menguasai tanah, Petani tidak pernah bertanya kepada Kancil "apakah Petani bisa menanam disana" atau "siapa yang hidup disana". Kancil bahkan menganggap Petani yang mencuri dari kancil.

Semenjak itu, saya berpikir menolak menjadi Petani. Lambat laun, di dunia nyata saya sadar. Petani juga korban, Petani adalah korban pencurian dari negara. Saya tidak jadi menyalahkan Petani. Saya membenci negara. Saya sempat berpikir menjadi anarkis dan sepenuhnya menolak hirarkis dan struktur.

Saya gagal jadi anarkis, anarkis terlalu radikal untuk lingkungan saya. Saya hidup di lingkungan masyarakat spiritual, yang berbasis Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Mereka terlalu struktural. Tapi saya tetap sedikit melekatkan ideologi itu dengan tidak percaya pada superioritas.

Kemarin, saya menjadi sedikit superior. Manusia manusia demonstran menjadikan saya pemimpin aksi.

"Talekang" sifat yang terpikir di kepala saya. Di waktu demonstran, saya mengenakan topi, jaket, baju warna putih, membakar rokok, membawa toak, berjalan di depan ratusan demonstran.

"Persetan dengan polisi" teriakku dalam hati.

"Gagah sekali" pikirku

Dari semua itu, satu yang membuatku terkesan. Pagi hari menjelang siang, seorang gadis membawakanku baju berwarna putih. Dengan senyum, ia mengkhawatirkan ku tertangkap jikalau mengenakan baju hitam. Malam sebelumnya, memang kami mengagitasi kelompok berbaju hitam yang selalu menjadi sasaran kekerasan kepolisian.

Makassar membara hari itu, demonstan berjalan menguasai seisi Jl. Pettarani. Jalanan yang menjadi pusat mobilisasi di Makassar, bahkan se-daerah Sulawesi Selatan. Lautan manusia membanjiri jalanan, hingga tiba di Fly Over. Manusia berkumpul, dari petani, mahasiswa, buruh, dan lain sebagainya. Menuntut negara yang penuh korup dan manusia rakus.

dokpri
dokpri

Gadis itu,dia menari ria diantara para demonstran. Berjalan kesana kemari, memotret setiap momen kemarahan para manusia. Sesekali dia ketakutan. Yap ketakutan.

Tidak jauh dari fly over, berdiri sebuah menara pena milik perusahaan Fajar. Sebuah perusahaan media yang cukup besar di Makassar, gedungnya cukup untuk mengintai se-kota Makassar.

Gedung itu nampak seorang berbaju hitam, berpakaian siap perang, memegang sniper, bersiaga kapan saja menembakkan peluru apinya. Si Gadis mendatangiku yang sedang berkumpul dengan massa aksi (kami sedang membahas tehnis), dengan tangan gemetarnya. Si Gadis memperlihatkan gambar di ponselnya yang secara buram menunjukkan penampakan itu.

Saya, kami, menengok ke arah timur. Arah gedung pena. Benar ada seorang yang sedang bersiaga. Si Gadis bahkan tidak berani menatap, tangannya masih gemetar, matanya sedikit berkaca.

Saya hanya menenangkannya,

"Mereka sedang bersiaga, Ibu Negara datang!"

Si Gadis pergi dari penglihatanku. Ia tetiba menghilang di kerumunan massa. 

Malam hari, selepas aksi. Di kamar gelap tempatku bersemedi, kucoba rapalkan mantra. Mantra soal hal baik yang ditemui setelah aksi massa besar, soal nafas yang diharap masih panjang, soal kemesraan yang abadi.

Sepekan tulisan ini saya mulai, banyak kejadian terjadi, banyak hal baik yang tidak tercatat (mungkin saya persembahkan di lain hari), banyak doa yang mulai terkabul.

Saya ingin mengukur, seberapa berhasil cinta itu menjaminkan perubahan. Bukan perubahan dua manusia, tapi perubahan sosial yang membawa hal hal baik. Untuk petani, untuk mahasiswa, untuk buruh, dan sebagainya, terkhusus untuk sang gadis.

Di waktu mendatang, saya ingin mengirim surat buat bapak. Saya ingin memberitahu, bahwa kisah yang dikisahkan sudah kualami. Saya mulai mengenal sosok kancil, sosok petani, bahkan pencuri. Saya harap, dengan ini semua. Bapak bisa berbangga sudah menceritakan kisah kisah aneh itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun