Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merawat Mesra Petani

18 Agustus 2024   21:12 Diperbarui: 18 Agustus 2024   21:18 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makassar memang menarik

Bukan soal macetnya, tapi segala bentuk kisahnya. Di hari perayaan, hari orang orang meromantisasi sejarah. Sejarah soal perjuangan, walau sedikit membosankan dan banyak intrik politiknya. Saya pikir tidak sedikit manusia yang merayakannya, bahkan dari kalangan orang yang dirugikan akibat perayaan itu.

Saya, kami, dan kawan kawan coba memperingati hari itu. Saya coba mendaras soal kisah Petani yang belakangan banyak didiskusikan kawan kawan. Akibat mendaras ini, saya sampai di sebuah lingkungan petani di pinggiran Takalar, di area yang dulunya jadi lumbung pangan kerajaan Gowa Tallo.

Disana, saya mulai kembali diakrabkan dengan kata "merdeka". Bahkan, kata "mahardika" yang menjadi sinonimnya. Orang orang tani secara bersemangat meneriakkan kata itu, belakang saya juga diakrabkan dengan kelompok "mahardika". Juga menjadi semakin akrab dengan salah seorang anggotanya.

Saya percaya, di dunia yang adil makmur sentosa. Pekerjaan tani cukup menjanjikan, sayangnya nagari yang saya tinggali adalah nagari yang miskin dan korup. Petani selalu dimiskinkan, saya punya berbagai teori untuk menegaskan hal itu. Waktu kecil hingga akhir masa remaja, saya akrab dengan tani. Kakek nenek saya hidup bertani, ayah saya di akhir hayat juga bertani.

Di masa tua, ayah saya kembali mencitakan jadi tani. Walau di nagari yang nun jauh dari tempat asal. Rasanya cukup menyenangkan, bisa mendapat area alam bebas dari gedung dan kendaraan yang menyebalkan. Ayah saya gagal menggapai citanya sepenuhnya.

Di Takalar, saya kembali mengenang masa masa itu. Ditambah semangat bahagia dari orang tani di desa malam itu. Tak ada barang mewah, tak ada lampu diskotik warna warni, tak ada atap berkilau, tak ada lantai vinil mahal yang diinjak injak, tak perlu pakaian rapi berkerah dan sepatu pantopel. Hanya para orang tani, beberapa kawan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil untuk merayakan entah-apa-itu serta panggung sederhana yang didirakan di perkebunan warga secara swadaya tanpa bantuan pamrih dari negara. Saya pikir itu sebuah kemesraan.

Lepas acara, beberapa kawan masih meluapkan energinya. Mereka bernyanyi, mereka berdansa, mereka berteriak, mereka makan makanan dari orang tani, beberapa menikmati mabuk. Mata saya menyoroti seorang gadis mahardika, ia berteriak kegirangan. Saya tak tau dia sedang bahagia atau sedang melampiaskan gelisah.

Gadis mahardika itu menyanyi dan berdansa dengan energik, malam hari yang dibarengi angin malam keringatnya bercucuran. Sepatu yang ia pakai sedikit berdebu, ia menari bersama orang orang di tanah yang berpasir. Kelak tanah itu yang digarap orang tani untuk menyangga pangan manusia di kota. Tanah itu juga menjadi saksi sejarah, bagaimana orang tani mempertahankan tanahnya dari para jahanam yang saban hari meneriakkan "merdeka" versi bejatnya.

Larut malam, ketika bulan mulai bersinar terang dan membentuk lingkaran sempurna, ketika bintang bintang tidak teratur memenuhi langit malam, ketika binatang malam riuh mencari makanan. Para orang tani secara beraturan kembali ke rumahnya, sebelumnya mereka mendeklarasikan perlawanan. Perlawanan mempertahankan tanah dari para jahannam yang saban hari menceramah soal "nasionalis" arogannya.

Gadis mahardika hendak pergi, ia berniat tinggal. Tapi ia tak punya daya untuk tinggal, gadis mahardika yang lebih tua memaksa untuk tidak tinggal. Saya juga tak punya daya untuk memaksanya, saya pikir sedikit lebih arogan untuk tidak memohon kepadanya. Saya dikalahkan arogansi, akibatnya gagal mendapatkan kemesraan selanjutnya.

Pagi hari, saya terbangun oleh sengat matahari dan bunyi riuh dari excavator yang bekerja tidak jauh dari lahan tani. Konon, eskapator itu yang jadi momok buat orang tani. Mereka punya pengalaman buruk dengan eskavator. Beberapa tahun silam, excavator meratakan perkebunan mereka. Eskavator itu menjadi senjata bagi negara untuk mempertahankan stabilitas ekonominya. Negara menolak petani menjadi mandiri. Seorang petani, sudah sepekan tinggal di gubuk taninya. 

Disana, petani itu menjaga agar luka lalu beberapa tahun silam tidak terulang lagi, petani tidak bisa berharap kepada negara apalagi polisi untuk menjaga lahannya. Negara terlalu rakus untuk dipercaya, sedang polisi terlalu bodoh untuk diandalkan. Syukurnya, tidak ada kejadian buruk pagi itu. Hanya teh dan beberapa pangan yang diolah secara mandiri oleh orang tani.

Lepas beberes, kami berpindah ke rumah orang tani. Mereka menyajikan makanan kepada kami. Seingatku, gadis mahardika juga bersemangat menyajikan makanan itu. Saya mencoba menyangjungnya, tapi saya ingin terlihat sedikit arogan. Saya gagal menyanjungnya.

sumber gambar pribadi
sumber gambar pribadi

Malam hari, esok malam, malam lusa, dan malam berikutnya saya ingin mengenang setiap waktu. Saya berpikir dapat membangun kehidupan baik, bukan buat orang orang tani. Saya pikir itu terlalu naif, hanya merawat amal perlawanan di kemudian hari. Saya ingin meramu puisi, mendaras lagu, merumuskan tafsir agama bersama gadis mahardika. Ia punya insting perlawanan, ia juga tidak lepas dari nilai moral.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Sejarah terlalu membosankan dan menyebalkan, apalagi sejarah yang dikisahkan para rakus dan orang bodoh. Kemudian hari, apapun yang terjadi, saya ingin belajar dari waktu itu. Waktu orang tani bermesra dengan tanahnya, waktu pelawan melampiaskan semangatnya. Ini adalah sejarah kecil yang bisa diceritakan pada orang belajar kelak, orang belajar di masjid, di emperan, di warung kopi, atau pada buku yang bisa kita tuliskan tanpa intervensi partai komunis dan liberalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun