Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Berdamai dengan Badai

24 April 2024   17:59 Diperbarui: 24 April 2024   19:41 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Selepas Badai/ Dokumentasi pribadi

Se-dasawarsa berselang, saya mengajak teman teman untuk mencoba menantang badai. Mengajaknya berperang untuk menaklukkannya. Bukan alat perang lazimnya yang saya bawa, hanya pakaian yang menyerap keringat, tenda biru tebal tempat, alat masak, lauk pauk beserta bumbu dan beberapa liter beras. 

Kami juga membawa pedang untuk membelah badai, di kampung pedang itu disebut parang.
Kami menantang badai di tepian sungai Kaluku Nangka. Jaraknya cukup jauh dari rumah Ibu, disana adalah hutan tempat Suku Kaili Da'a (salah satu lokal yang hidupnya tradisional dan nomaden) berburu. Sial, badai datang di malam hari. Ketika kami sedang beristirahat dan bersiap untuk tidur. 

Badai menyerang tenda kami, kami menggertak dengan menabrakkan gigi atas dan gigi bawah. Seperti orang yang menggigil. Kami memakai baju perang,  bentuknya serupa kain yang digunakan Bapak untuk sembahyang. Kami memakainya untuk menghangatkan badan yang diserang badai.

Pagi hari, badai berhenti menyerang. Kami masih hidup. Saya dan teman teman mengalahkan badai. Kami bersorak ke langit dan meneriaki badai.
"Aaaa..."  teriakan serentak kami secara bersamaan.

Kami mengalahkan badai, kami merayakannya dengan membakar harta rampasan perang semalam yang dibawa badai. Di sekitaran tenda, badai merobohkan pohon ubi, kami mengambilnya. Di sekitaran tenda, badai menjatuhkan kelapa, kami memungutnya. Di sekitaran tenda, badai menjatuhkan ranting ranting, kami membakarnya. Hari itu, saya tidak takut badai, saya mulai mencintainya kembali.

Dokumentadi Pribadi Penulis
Dokumentadi Pribadi Penulis

Kemarin, saya datang ke kampung halaman. Saya mencari badai. Badai berjalan ke arah timur, bersembunyi di matahari terbit. Saya coba mendatanginya. Saya bertemu badai di Hutan Lore, dekat dengan Danau Tambing. Badai bersembunyi di Gunung Rorekatimbu, tempat perang Tinombala antara TNI-Brimob melawan gerilyawan Santoso.

Badai datang bersama mitos. Mitos soal terorisme dan longsor yang didengungkan Polisi Hutan Lore. Saya tidak gentar. Saya bersama dua orang kawan bergegas menantang badai. Kami membawa senjata seadanya, makanan dan bifak darurat. Mengantisipasi untuk bisa berlari jikalau badai datang bersama dengan sekutunya.
Badai datang di tengah perjalanan. Sebelumnya, kami bertemu 5 kawan baru KPA dari Palolo. Merek memperingati, badai mengamuk di puncak dan akan datang kesini. Kami hanya tertawa sembari menawari kawan baru kopi dan tembakau yang saya linting untuk dijadikan rokok. Tepat daat berpisah dengan kawan baru, badai datang dengan tombaknya. 

Badai mengagetkan kami, suaranya menggelegar bersama dengan petir.

Sekali lagi kami tertawa, badai masih ada dan merindui kami. Kami melawan badai di bawah bifak berwarna kuning, sesekali kami membakar alat perang kami. Menghabiskan amunisi tembakau dan beberapa gelas kopi. Badai juga tertawa.

Selepasnya, kami bergegas pulang. Kami tidak ingin melawan badai ketika dia bersekutu dengan malam. Badai melawan kami dengan jalanan licin akibat berpasir dan basah. Beberapa kali badai menjatuhkan kami, tapi kami tetap berdiri. Badai selalu mengancam dengan longsor tetapi kami masih menertawai badai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun