Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Berdamai dengan Badai

24 April 2024   17:59 Diperbarui: 24 April 2024   19:41 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Selepas Badai/ Dokumentasi pribadi

Takutkah tuan puan sekalian kepada badai?
Takutah Tuan Puan kepada mati?
Hidup Tuan Puan sudahkah mati berkali kali?

 
Hujan memang memancing kenang yang paling jauh dari waktu sekalipun. Saya mencoba berdialog kepada diri sendiri.

Saya takut kepada badai
Saya takut kepada mati
Semua orang hidup dalam kematian yg berkali kali

Dalam badai sore ini, saya berjalan di bawah hujan. Membeli sebungkus rokok dan makanan kecil, saya sebenarnya tidak butuh makanan kecil. Itu hanya alibi agar Ibu tidak tau saya membeli rokok. Maklum, saya kasih takut ketika Ibu marah melihat saya merokok.

Di seberang warung, ada bangunan madrasah idtidyah (setingkat sekolah dasar). Orang orang ramai duduk di atas motor, lengkap dengan jas hujannya masing-masing. Rupanya para orangtua siswa yang menjemput anak nya masing-masing.

Kejadian itu memantik kenang, saat bapak masih berkuliah di Unhas. Dan saya masih menjadi bocah ingusan yang membayangkan menjadi Luffi dalam anime One Piece, bermimpi menjelajahi dunia dengan melawan segala kekuatan jahat yang mendominasi. Pikiran itu memang cukup lucu untuk dikenang.

Bapak juga pernah menjadi orang di seberang warung. Duduk menanti bocahnya dengan jas hujan besar. Saya kegirangan melihat Bapak di luar, bagaimana tidak? Waktu itu hujan badai. Saya membayangkan akan duduk manis di dalam ruang kelas yang gelap diiringi dengan bunyi hujan, sesekali disertai petir, sesekali disertai poster berjatuhan akibat angin kencang. Kedatangan Bapak membuat bocahnya kegirangan. Waktu itu saya takut badai, sekaligus mencintainya.

Sekira 10 tahun kemudian, badai datang lagi, bersama dengan hujan, juga bersama tangis orang orang. Kali ini gantian, saya yang mengantar Bapak, menuju dusun tempat orang orang dimakamkan.

Badai hanya ditemani hujan, tidak ada petir dan angin kencang seperti biasanya. Hanya sinar mentari dan angin sepoi, air juga tidak terlalu banyak jatuh dari langit, hanya dari mata orang orang yang sedang berkabung. Orang di kampung menyebutnya hujan orang mati. Sekali lagi, saya takut badai, saya tidak jadi mencintainya.

Dokumentasi Pribadi Penulis
Dokumentasi Pribadi Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun