Kenapa memilih jalan itu?...
Pertanyaan seperti itu selalu mengundang kenangan bertahun lalu, ketika perjalanan di kaki Gunung Bawakaraeng. Selepas menikmati puncak Bawakaraeng, selepas puas meresap hawa dingin, selepas menghirup udara segar yang tidak pernah didapati di perkotaan. Kami segera berkemas, menghindari matahari tiba di atas kepala. Menuju tujuan akhir dari perjalanan, pulang.
Di jalur Bawakaraeng, pos 9, ada jalan bercabang. Satu menembus Lembah Lembanna, Malino, Gowa. Jalur itu yang kami lalui untuk sampai di puncak. Satu menembus Manipi, Sinjai.
Waktu menemui percabangan itu, seorang kawan singgah untuk istirahat. Perjalanan memang cukup santai, mengingat kami dalam masa libur semester. Jadi, tidak ada agenda apapun untuk beberapa hari ke depan.
Beberapa saat melepas lelah, satu rombongan pendaki datang dari arah jalur Manipi, kami sempat bercakap. Saya kurang ingat, dari percakapan tersebut kami dengan yakin memilih pulang lewat jalur Manipi. Jika kembali ke pertanyaan awal "Kenapa memilih jalan itu?"
Jawabannya sangat sederhana "penasaran". Ya, itu juga keputusan paling aneh yang kami pilih seumur hidup. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, 8 orang dari kelompok kami, hanya seorang yang pernah mendengar bahwa ada jalur Bawakaraeng lewat Manipi, itupun hanya mendengar, dia tidak tau persis bagaimana jalurnya. Sisanya jalankan tau, dengar soal jalur tersebut baru hari itu saja.
Beberapa dari kami memang agak trauma dengan pos 8 dan pos 7 jalur Lembanna. Disana, jalannya cukup terjal juga licin, belum lagi tidak ada sumber mata air yang kami temui waktu itu. Tapi jalur Manipi bukannya lebih baik, kami sempat mendapati hujan dan pohon tumbang yang memaksa kami berjalan menunduk.
Satu yang menguntungkan kami saat turun waktu itu, di jalur Manipi. Kami tidak pernah mendapat pendakian, saya membayangkan kami melintasi jalur tersebut saat mendaki. Sangat berat pastinya, jalanyang dilalui semuanya menanjak. Jalur turun berpihak pada kami waktu itu.
Kami keluar dari rimba, tidak lama saat matahari hampir tenggelam. Kami tiba di perkebunan warga, beberapa warga agak terkejut dengan kedatangan kami. Pasalnya, rombongan terakhir yang mendaki baru saja naik pagi hari. Mereka keheranan kapan rombongan kami mendaki. Kami hanya menjawab dengan tawa sambil berkata "saat naik kami tidak lewat disini".
Kami tiba di permukiman warga tepat saat hari berganti malam. Masalah kami tidak berhenti disini. Kendaraan yang kami kendarai sebelumnya, berada di Malino. Yah, tidak mungkin dong kami meminta kendaraan kami tiba-tiba menjemput kami.
Cara paling memungkinkan adalah menumpang kendaraan warga, syukurnya di permukiman. Rata-rata dari mereka adalah petani sayur mayur. Selepas panen, warga akan membawa hasil taninya ke Makassar, Sungguminasa atau sekedar di pasar terdekat untuk dijual. Jadi, kami masih bisa menumpang truk untuk ikut ke Malino.
Saya masih ingat persis, kami harus menumpang 3 kali untuk sampai di Malino, tempat kami memarkir motor. Perjalanan pulang menumpang truk bukanlah pengalaman buruk. Kami bisa menikmati Lembah Bawakaraeng lewat bisingnya mobil truk.
Kami tiba di Lembanna, Malino sekitar pukul 01.00 dini hari. Saya masih ingat betul wajah Tata Rama dan istrinya waktu itu. Tata Rama adalah seorang warga Lembah Lembanna, disana saya menjadikan rumahnya sebagai tempat singgah. Tempat itu juga yang saya sarankan kepada teman teman yang lain.
Tata Rama menyambut kami dengan hangat, walau saya tau betul. Kedatangan kami malam itu mengganggu tidurnya. Tata Rama bahkan masih bersedia menemani kami untuk sedikit bercakap dan menyajikan teh untuk menghangatkan badan, mengingat suhu Lembanna yang cukup rendah.
Selepas menyeruput teh dan membersihkan badan kami memilih menunda pulang ke rumah, Rumah Tata Rama menjadi pilihan tempat tidur waktu itu.
Saya tidak akan bantah, suasana pagi di Lembanna sangat asri. Embun, kicau burung, dan senyuman warga desa akan selalu dirindukan. Entah mujizat apa yang diturunkan Tuhan waktu itu, Â kami yang tidur larut di malam hari bisa bangun pagi. Hal yang sangat mustahil kami lakukan di perkotaan.
Selepas melaporkan kepulangan kami di tempat registrasi, kami bergegas pulang. Kami tidak lupa berpamitan dengan Tata Rama sekeluarga, keramahan nya selalu menarik kami untuk kembali ke tempat. Ah, bagaimana kabar orang tua itu, lama tidak bersua.
Saya dan kawan kawan lain, tidak pernah membayangkan cerita pendakian kami seperti ini. Apa yang kami pilih, jalan sunyi yang kami bahkan tidak paham seluk beluknya ternyata membawa cerita berkesan kepada kami.
Dari kejadian itu, sedikitnya mempengaruhi cara berpikir saya soal pertanyaan "Kenapa memilih jalan itu". Akibatnya, saya dan kawan kawan lebih senang memilih jalan yang lebih misterius. Dengan pertimbangan bahwa Tuhan selalu ada. Entah itu bagaimana bentuknya, bahkan jalan itu lebih berkesan untuk membawa perubahan perubahan baru.
Sebenanrya, dari kejadian saya sedikit banyaknya ingin  membahas soal bagaimana pola organisasi yang ada di Muhammadiyah. Wa bil khusus teman teman angkatan muda. Semoga bisa kita diskusikan bersama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H