Pagi pagi sekali kawanku bangun dari kasur empuknya yang menjadi tempat beristirahat kami kala matahari masih menjunjung di angkasa. Ya, akhir akhir ini memang memaksa kami mengubah pola tidur, ketika pada umumnya manusia manusia normal beraktivitas di siang hari dan beristirahat di malam hari. Kami dituntut untuk sebaliknya, beraktivitas di malam hari dan beristirahat di siang hari .Entahlah memang karena pola management waktu yang kurang baik atau sekedar kenikmatan beraktivitas kami dapati di malam hari. Sekedar menghirup aroma kopi arabika dicampur dengan susu kental manis telah menjadi habitus dalam pola pengorganisasian massa yang sering diterapkan.
Namun, pagi itu seorang kawan mengeluh kehabisan bahan pokok makanan, beras. Aku kemudian teringat dengan beras yang dititipkan sanak saudara dari Sidrap ke kota metropolitan ini sebagai bekal pangan. Sidrap memang menjadi lumbung padi di Sulawesi Selatan dengan luas bahan baku sawah mencapai 48.117 Ha dari total 1.883 km2 total wilayahnya. Dihimpun dari data kontan.co.id pada April 2021 para petani mampu menghasilkan 8.200 ton/hektar. Seharusnya jumlah ini mampu untuk mengakomodasi kebutuhan pangan setiap orang di Sulawesi Selatan. Apa daya? Pola monopoli kapital tidak menghendaki itu, penimbunan harta oleh para pemilik modal melahirkan kesenjangan yang semakin melebar dampaknya merugikan kaum miskin.
Lanjut berkisah, siang harinya kuniatkan untuk mengambil beras tersebut, letaknya memang agak jauh. Kami berada di Gowa sedangkan tujuan berada di Moncongloe, Maros persis perbatasan Makassar. Jadi, niat pergi kamu tunda hingga sore hari. Sayangnya sebelum hari menjadi sore, hujan yang terus mengguyur beberapa hari ini telah menyebabkan banjir di beberapa titik di Kota Makassar dan sekitarnya. Sayang saja menurutku, negara yang memiliki fungsi pertahanan dan keamanan gagal mengantisipasi bencana banjir tersebut dalam rangka melindungi warganya.
Negara wajib melindungi setiap warganya dari berbagai ancaman baik bencana alam dan bencana non alam. Hal ini diatur dalam Pembukaan (preambule) UUD NRI tahun 1945 alinea 4 berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. …
Apa daya? Cita cita setiap negara berkembang menerapkan sistem welfare state termasuk Indonesia. Mereka mendorong negara sebagai aktor utama harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.
Konsep ini dalam ranah ke-Indonesia-an disebut pembangunan kesejahteraan sosial (PKS). Konsep PKS ini secara sederhana dirumuskan dalam 3 tugas utama yang harus dilakukan negara;
- Pertumbuhan ekonomi (economi growth) ,
- Pertumbuhan masyarakat (community care)
- Pengembangan manusia (human development)
Pengaruh globaliasi saat ini mendorong negara berkembang untuk melakukan pembangunan instruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini kemudian mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup yang ada.
Pelaksanaan welfare state di Indonesia cenderung tidak berhasil, kebijakan pembangunan desa yang buruk masih menjadi segmen penyumbang orang miskin terbesar. Secara garis besar penyebab kemiskinan oleh penganut demokrasi sosial yang secara teoritis dicetus Marx dan Engels mempercayai bahwa kemiskinan bukan soal individu melainkan strukturll, ini dapat terjadi karena adanya ketimpangan dan absennya keadilan di masyarakat.
Buruknya pembangunan sektor pertanian juga bentuk tidak berhasilnya welfare state. Sensus pertanian menyebutkan dalam kurung waktu 10 tahun terakhir terjadi penyusutan keluarga petani hingga 5,04 juta. Hal itu mendorong terjadinya urbanisasi pada masyarakat desa. Pada kurun waktu bersamaan, jumlah perusahaan pertanian bertambah sekitar 1.500 perusahaan.
Model kapitalisasi seperti ini pada akhirnya menyebabkan petani hanya dipekerjakan sebagai buruh tani dan mengurangi rasio petani terhadap besaran lahan dan melakukan alih tata guna lahan besar besaran. Juga model ini mengurangi kedaulatan para petani menentukan jenis tanaman pertanian, yang meningkatkan rentannya menghadapi bencana.
Seperti yang dikeluhkan di awal tadi, bencana banjir di penghujung tahun seolah dianggap menjadi hal biasa. Banjir adalah keadaan kelebihan air yang relative tinggi yang tidak tertampung lagi oleh alur sungai atau saluran dan melimpah serta menggenangi kekawasan yang mempunyai ketinggian lebih rendah didaerah kering.
Di Makassar misalnya, hampir tidak ada wilayah resapan air. Wilayah resapan disulap menjadi pemukiman. Pemukiman di daerah resapan jika terpaksa bisa. Tapi kita memerlukan jalur air dengan gorong gorong yang bagus.
Lereng lereng terjal di daerah Malino juga misalnya, yang berubah menjadi kebun sayur warga. Pola kapitalisasi pertanian seperti yang disebutkan diatas memaksa warga untuk menanam sesuai kebutuhan industri.
Eksploitasi kapitalisme telah menyebabkan bencana akibat tidak ada keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Bencana yang terjadi dimana mana seringkali hanya memperhitungkan soal penanganannya, bukan perkara pencegahan. Pada akhirnya memunculkan pahlawan pahlawan baru dengan media sebagai panggungnya. Mulai dari terma “zakat” dan “sedekah” untuk kebencanaan. Agama lagi lagi mengakomodasi panggung buat kaum elit untuk memamerkan kekayaannya. Tapi sayangnya, agama hanya jadi obat candu buat kaum miskin yang terkena dampak bencana.
Meminjam pemikiran Asghar Ali Engineer, agama dalam ranah Islam misalnya dalam menangani tantangan kemiskinan, Engineer mengatakan bahwa jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial.
Hari ini negara seharusnya sadar, bahwa kebijakan yang muncul bukan hanya untuk kepentingan produksi kelas borjuasi saja. Tapi, ada kepentingan pertanian yang perlu diperhatikan, hal ini yang akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di Indonesia ke depannya.
Selain ketahanan pangan, perlu disadari juga mengenai kebencanaan. Curah hujan yang cukup telah menyebabkan banjir di beberapa daerah, termasuk di Sulawesi Selatan. Hal ini masih belum seberapa mengingat BMKG melaporkan puncaknya akan terjadi pada kurun waktu Januari sampai Februari. Jika, tidak ada antisipasi maka kita dapat menilai bahwa bencana adalah panggung kepahlawanan. Makanya perlu perlawanan.
Sampai ratusan banjir yang menggenan hari ini, orang orang hanya mengenang bencana dengan kenyamanannya masing masing. Para pemilik modal tampil sebagai pahlawan kederwananan dan para kaum penerima derma cukup nyaman dimanja dengan sistem yang memiskinkan mereka. Kita perlu berangkat dari fokus menangani bencana kepada permasalahan mencegah bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H