Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sampai Kapan kita Nyaman dengan Bencana?

4 Januari 2022   12:06 Diperbarui: 4 Januari 2022   12:34 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang dikeluhkan di awal tadi, bencana banjir di penghujung tahun seolah dianggap menjadi hal biasa. Banjir adalah keadaan kelebihan air yang relative tinggi yang tidak tertampung lagi oleh alur sungai atau saluran dan melimpah serta menggenangi kekawasan yang mempunyai ketinggian lebih rendah didaerah kering.

Di Makassar misalnya, hampir tidak ada wilayah resapan air. Wilayah resapan disulap menjadi pemukiman. Pemukiman di daerah resapan jika terpaksa bisa. Tapi kita memerlukan jalur air dengan gorong gorong yang bagus.

Lereng lereng terjal di daerah Malino juga misalnya, yang berubah menjadi kebun sayur warga. Pola kapitalisasi pertanian seperti yang disebutkan diatas memaksa warga untuk menanam sesuai kebutuhan industri.

Eksploitasi kapitalisme telah menyebabkan bencana akibat tidak ada keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Bencana yang terjadi dimana mana seringkali hanya memperhitungkan soal penanganannya, bukan perkara pencegahan. Pada akhirnya memunculkan pahlawan pahlawan baru dengan media sebagai panggungnya. Mulai dari terma “zakat” dan “sedekah” untuk kebencanaan. Agama lagi lagi mengakomodasi panggung buat kaum elit untuk memamerkan kekayaannya. Tapi sayangnya, agama hanya jadi obat candu buat kaum miskin yang terkena dampak bencana.

Meminjam pemikiran Asghar Ali Engineer, agama dalam ranah Islam misalnya dalam menangani tantangan kemiskinan, Engineer mengatakan bahwa jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial.

Hari ini negara seharusnya sadar, bahwa kebijakan yang muncul bukan hanya untuk kepentingan produksi kelas borjuasi saja. Tapi, ada kepentingan pertanian yang perlu diperhatikan, hal ini yang akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di Indonesia ke depannya.

Selain ketahanan pangan, perlu disadari juga mengenai kebencanaan. Curah hujan yang cukup telah menyebabkan banjir di beberapa daerah, termasuk di Sulawesi Selatan. Hal ini masih belum seberapa mengingat BMKG melaporkan puncaknya akan terjadi pada kurun waktu Januari sampai Februari. Jika, tidak ada antisipasi maka kita dapat menilai bahwa bencana adalah panggung kepahlawanan. Makanya perlu perlawanan.

Sampai ratusan banjir yang menggenan hari ini, orang orang hanya mengenang bencana dengan kenyamanannya masing masing. Para pemilik modal tampil sebagai pahlawan kederwananan dan para kaum penerima derma cukup nyaman dimanja dengan sistem yang memiskinkan mereka. Kita perlu berangkat dari fokus menangani bencana kepada permasalahan mencegah bencana.

            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun