Dalam waktu dekat ini, kancah perpolitikan sedang ramai membahas tentang pemilihan umum (PEMILU). Mulai dari bocil bocil yang candu dengan game online sampai ibu ibu rumahan yang sedang ramai mencari diskon barang online, maklum lagi ada promo akhir tahun dari salah satu aplikasi belanja online. Semuanya sedang mempersiapkan amunisi serta bahan promosi untuk pasangan calon pilihannya masing masing, berharap kelak dapat meraih suara yang banyak.
Walaupun sekarang masih banyak yang menganggap PEMILU di masa pandemi tidak perlu dilaksanakan dengan alasan banyak hal yang harus ditangani akibat pandemi seperti kesejahteraan masyarakat kecil yang terkendala pandemi, kesehatan masyarakat yang membutuhkan biaya, biaya BanSos yang entah diapakan oleh Pak Mentri atau masalah pendidikan yang perlu dituntaskan. Menurutnya, angaran pemilihan umum harusnya dialihkan ke hal hal seperti tadi. Tapi itu semuakan tidak perlu dipikirkan, yang terpentingkan dari segalanya adalah Pemilihan Umum.
Pemilihan umum merupakan hal penting dalam demokrasi, karena hanya dari pemilihan umum inilah suara rakyat dapat digunakan. Setelahnya itukan suara rakyat hanya sebuah halusinasi yang tidak harus didengarkan.
Nah, salah satu bagian yang tidak mungkin untuk dihilangkan dari proses pemilihan umum adalah mereka yang dijuluki sebagai "Tim Sukses". Tim sukses sendiri bukan gabungan orang orang yang memiliki harta berlebih hasil dari jerih payahnya senidiri seperti sukses dalam kebanyakan stretype orang orang, tapi Tim Sukses yang dimaksudkan disini adalah mereka yang terdaftar secara resmi untuk memenangkan suatu calon.
Juga ada mereka yang menyebut dirinya sebagai relawan. Relawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berasal dari kata sukarelawan yang memiliki arti orang yang melakukan sesuatu tanpa paksaan. Jadi, sederhananya relawan yang dimaksud disini adalah orang orang yang berkampanye secara sukarela.Â
Berbeda dengan Tim Sukses yang dipilih secara terbatas, yah mungkin karena harus diupah jadi jumlahnya dibatasi. Relawan berasal dari berbagai kalangan masyarakat yang membantu dengan dalih tanpa pamrih, tidak ada iming iming uang, rumah, mobil, istana ataupun benda materil lainnya juga tidak dengan jabatan hirarki untuk dirinya maupun sanak keluarga, yakin saja mereka melakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan.
Jumlah relawan yang tidak dibatasi itupun memunculkan manusia manusia dari berbagai latar belakang, mulai dari anak muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan menengah atas hingga bapak bapak yang katanya sudah khatam tentang kancah perpolitikan macam ini, mengingat ia mendapat julukan mantan aktivis.Â
Dengan kisah heroiknya ia menceritakan pada orang orang di sekitarnya tentang perlawanannya pada rezim otoriter Soeharto,dengan rokok sebatang hasil pemberian kawannya ia berdiri dengan gagahnya sembari menatap sekitar mewaspadai bila suatu saat ada tukang bakso berbicara dengan walkie talkie. Pengalaman itu kemudian dianggap dapat memenangkan calonnya.
Tidak lupa pula anak anak muda sekolah menengah atas yang membanggakan diri dengan almameternya. Mereka satu persatu membanggakan jabatannya masing masing di lembaga. Mulai dari lembaga resmi setingkat OSIS ataupun lembaga tidak resmi yang mereka bentuk dengan iming iming "para pencari berkah", "kumpulan pemuda", "kumpulan pribumi", atau berbagai nama yang dianggap dapat meraup banyak kader demi kemenangan calonnya.
Mereka berkumpul dengan berbagai macam ideology mulai dari ideology kanan sampai paling kiri berkumpul dengan hidangan secangkir kopi dan beberapa bungkus rokok, tidak perlu menyiapkan korek api, selalu ada api modal pinjam dari kawan.Â
Warung kopi (Warkop) ataupun cafe biasanya ramai oleh mereka yang sedang memperbincangkan strategi politik atau sekedar menggunjing lawan politik. Ah, apapun yang mereka lakukan telah menyenangkan hati pemilik warkop warkop dan caf caf, tidak perlu memikirikan perkataan para perawat dan sebagainya yang terlibat dalam penanganan Covid-19. Sekali lagi perlu dipertegas, ini untuk kepentingan suara rakyat.
Bahkan,saking dianggap pentingnya komitmen seorang relawan dari masing masing pendukung. Sebagian orang telah menanamkan hal tersebut hingga perasaan terdalamnya, masih serig deceritakan di kampung kampung dua tetangga yang memutuskan untuk memutuskan tali silaturahim selama 5 tahun akibat berbeda pilihan calon kepala daerah. Itu tidak lain mereka lakukan karena mereka mencintai perannya sebagai relawan pendukung. Â Â Â
Atau ada juga kejadian sepasang suami istri yang memilih bercerai karena perbedaan pilihan. Tapi ini bukan karena perbedaan pasangan calon melainkan karena pilihan idola sepak bola yang berbeda, satu mengidolakan Ronaldo yang lain mengidolakan Messi, selengkapnya bisa anda baca di website tentang sepakbola. Sebabnya pun sama, karena mencintai perannya sebagai relawan pendukung.
Atas beberapa kejadian tersebut penulis ragu untuk jatuh cinta kepada calon pemimpin yang tidak dikenalnya atau sekedar aktif menjadi relawan pendukung pasangan calon sebagai bentuk langkah agar tidak ada perceraian dengan istri. Walaupun sampai saat tulisan ini diselesaikan penulis belum menikah.
Sebenarnya dampak kejadian konflik di atas dapat dihindari apabila manajemen konflik dari pelaku dapat diselesaikan dengan baik. Namun, sayangnya agenda pemenangan pasangn calon dan agenda ngopi lebih penting untuk diselesaikan daripada konflik konflik sepert tadi.
Mungkin, cukup sekian cerita tentang pemilihan umum di negri yang jauh dari Honolulu sana. Penulis ada agenda di warung kopi malam ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H