Mohon tunggu...
Ian Wong
Ian Wong Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti

Ian Wong, orang Indonesia biasa, mengharapkan kemajuan bangsanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nabi yang Terlalu Kafir

23 Februari 2017   16:05 Diperbarui: 23 Februari 2017   16:15 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Injil Lukas bercerita, satu kali Yesus mengajar di rumah ibadat. Yesus membuka dari Kitab Nabi Yesaya dan membaca: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-20).” Dan Yesus lalu menutup kitab, dan berkata, “Pada hari ini terpenuhilah ayat ini ketika kamu mendengarnya!”

Namun Yesus menimbulkan polemik dan polarisasi. Banyak yang membenarkan ucapan Yesus. Tapi Injil Lukas mencatat juga beberapa suara sumbang. “Sembuhkanlah dirimu sendiri!” “Bukankah dia ini anak Yusuf?” Dan Yesus pun menimpali kontroversi ini, “Tak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”

Tampaknya tak ada yang mempermasalahkan kebaikan yang dilakukan Yesus: kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi yang tertindas, rahmat Tuhan buat semua! Tak ada yang mempersoalkan ini. Tapi ada sesuatu dari diri dan identitas Yesus yang tampaknya dianggap mengganggu. Siapa dia? Dengan otoritas siapa dia membuat klaim-klaim tentang dirinya dan tentang Allah?

Kalimat-kalimat berikutnya yang diucapkan Yesus membuat para pendengarnya lebih marah lagi. “Banyak janda waktu terjadi kelaparan di Israel pada zaman Nabi Elia, tapi nabi Elia justru dikirim pada janda di Sarfat, di tanah Sidon,” kata Yesus. “Pada zaman itu, banyak orang kusta di Israel tak disembuhkan, tapi nabi Elisa justru menyembuhkan Naaman orang Siria itu,” kata Yesus melanjutkan. Seketika itu juga, naik pitamlah massa yang mendengarkan Yesus, karena Sidon dan Siria yang disebut Yesus terhitung bangsa-bangsa kafir di telinga pendengarnya.

Injil Lukas yang kuno ini rupanya masih sangat relevan terhadap kondisi kita. Kata kafir sering sekali membangkitkan amarah dan kebencian, dan menjadi label untuk dilekatkan pada kelompok yang dianggap berdosa, yang lebih rendah, atau yang tidak kita setujui. Ketika Yesus menunjukkan bahwa Tuhan ternyata menurunkan rahmatnya kepada yang dianggap kafir, orang-orang yang mendengarkan Yesus pun menjadi sangat marah. Dan Lukas mencatat, orang-orang ini menghalau Yesus dan mencoba membunuh Yesus dengan melemparkan dia dari tebing (Lukas 4:28-29).

Yang aneh adalah, Yesus sebenarnya orang Yahudi juga yang lahir dan tumbuh dalam tradisi Yahudi, sama seperti pendengarnya. Namun massa yang mata gelap tak peduli hal-hal itu. Seandainya Yesus disudutkan sebagai Cina Kristen, tampaknya juga massa yang sudah marah tak akan peduli mengecek akurasi fakta. Apalagi Yesus terkenal terlalu bersahabat pada kelompok yang dianggap kafir: pelacur, pemungut cukai dan orang berdosa (Lukas 7:34). Padahal Yesus mengutip dari Kitab Yesaya, firman Tuhan yang sakral buat para pendengarnya; Yesus menggali dari kedalaman tradisi pendengarnya sendiri. Cuma satu kesalahan Yesus, dia menunjukkan bahwa rahmat Allah adalah buat semua - termasuk yang kafir. Allah adalah yang rahmatan lil alamin! Dan itulah yang membuat massa naik pitam.

Perasaan berhak untuk melakukan tekanan pada kelompok yang dianggap kafir biasanya dibayangkan hanya terjadi pada kelompok mayoritas. Namun kelompok Yahudi dalam dunia Injil Lukas bukanlah termasuk kelompok mayoritas, apalagi penguasa. Bangsa Yahudi justru adalah kelompok yang terjajah oleh kekaisaran Romawi. Bahkan temple - Bait Allah mereka - dibangun oleh Herodes, seorang non-Yahudi yang menerima gelar Raja bagi Yudea dari senat Romawi. Perasaan fanatisme pada kelompok sendiri ternyata bisa juga menjangkiti kelompok minoritas yang terjajah!

Jadi sikap intoleran bukanlah monopoli kaum mayoritas. Dalam kelompok yang intoleran, uluran tangan terhadap kelompok yang dianggap kafir sering dilihat sebagai tindakan yang mengkompromikan kebenaran. Akibatnya fanatisme disamakan dengan perjuangan mulia untuk membela kesucian. Memang benar bahwa kemurnian ajaran dapat menghasilkan pertentangan dengan nilai-nilai yang umum berlaku di masyarakat, sehingga kesucian atau kesalehan dapat membutuhkan usaha untuk menentang arus. Tapi justru di tengah pengertian seperti inilah, Yesus menawarkan alternatif yang mengejutkan.

Bagi Yesus, keterbukaan dan penerimaan terhadap orang dari kelompok yang tertindas atau terkafirkan, justru adalah bagian dari kesucian itu sendiri. Yesus menunjukkan bahwa Allah sendiri memberikan rahmatnya pada orang-orang yang terpinggirkan: seorang janda kafir dan panglima raja kafir. Jika sikap ilahi adalah mencintai yang dibenci dan dikucilkan dunia, maka memelihara kesucian haruslah juga mengupayakan sikap ilahi ini dalam kehidupan.

Pesan ini konsisten dengan kisah kelahiran Yesus yang tercatat dalam Injil Lukas, yaitu  keselamatan dari Allah adalah bagi “segala bangsa” (Lukas 2:30-31). Bahkan dalam Lukas 24:47 tertulis; “Dalam nama Yesus, berita pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa.” Kata “segala bangsa” (panta ta ethne) yang digunakan di sini dalam bahasa aslinya menunjuk kepada bangsa kafir. Jadi jelaslah pesan Yesus yang dicatat Lukas: Allah mengasihi manusia, bahkan juga yang dianggap kafir. Dan kesucian dalam mengikut Tuhan adalah berarti mengasihi yang kafir, seperti Tuhan juga mengasihi mereka!

Ini adalah pelajaran yang penting, terutama untuk umat Kristiani sendiri. Bagi Yesus, kesucian bukanlah lawan dari keterbukaan. Justru kesucian itu menjadi semakin mendalam ketika kasih dapat merangkul yang tak layak dikasihi. Dalam Injil Matius, kasih yang diajarkan Yesus adalah kasih yang sanggup mengasihi musuh (Matius 5:44). Ini memang hal yang luar biasa berat, kalau tidak mau dikatakan absurd. Mungkin hanya Tuhan sendiri yang sanggup mendemonstrasikan kasih semacam ini dengan sempurna ketika Dia memilih mengasihi manusia yang sering mengecewakanNya. Dan sifat ilahi inilah yang berusaha diikuti setiap pengikut Yesus, terutama dalam situasi konflik.

Polarisasi yang terjadi dalam pemilu di Amerika Serikat adalah contoh terbaru dari fenomena ketegangan antar kelompok beragama. Kalangan yang konservatif akan melabel lawannya sebagai golongan liberal, yang dianggap identik dengan pekerjaan iblis sendiri, sedangkan sebaliknya yang konservatif akan dilabel sebagai fundamentalis. Tokoh yang pandai mengambil hati dengan slogan-slogan melawan kelompok yang dilabel sebagai layak dibenci akan lebih mudah mengambil keuntungan dalam suasana politik seperti ini. Bukankah ini juga politik jalanan di Indonesia?

Di lain pihak, umat Kristiani di Indonesia sering menarik diri dari urusan negara atau yang menyangkut orang banyak. Akibatnya mayoritas umat Kristiani sering sibuk dengan dirinya dan kelompoknya saja. Ini mungkin adalah satu cara bertahan yang muncul dari puluhan tahun upaya marginalisasi terhadap golongan minoritas di Indonesia. Namun dalam situasi tekanan inilah, kisah Yesus yang menyentuh kehidupan orang kafir dan justru dibenci para pemimpin agama di zamannya, memberikan suatu teladan yang lain tentang kesalehan. 

Kesalehan yang dicontohkan Yesus tidak akan tercemar karena bersentuhan dengan yang kafir. Kesalehan yang digambarkan Yesus begitu bertenaga, sehingga justru menghasilkan pembebasan, pemulihan dan kesembuhan ketika bersentuhan dengan yang kafir. Dengan kata lain, kesalehan ini dapat menular saking bertenaganya, berbeda sekali dari kesalehan rapuh yang harus diisolasi supaya tidak tercemar kontaminasi. Kesalehan semacam ini juga tidak perlu terekspresikan dalam kekerasan, tetapi justru tervalidasi ketika ditindas oleh yang merasa berkuasa.

Kesalehan yang sangat bertenaga ini akan memotivasi orang beriman untuk berlomba berbuat kebaikan, bahkan kepada yang dianggap kafir. Kesalehan demikian membutuhkan satu kedewasaan iman, suatu sikap yang berserah untuk menerima sentuhan dan bijaksana ilahi. Akankah Indonesia menyaksikan banyak kesalehan demikian? Ini sangat bergantung pada kedewasaan umat beragama, tapi kita memang sangat mendambakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun