(Sumber gambar: http://metro.sindonews.com/read/1152711/170/demo-4-november-begini-pemandangan-sekitar-air-mancur-patung-kuda-1478240714)
Kontroversi soal Ahok akhirnya memicu demo massa  4 November 2016, yang dimotori oleh Habib Rizieq dari FPI. Habib Rizieq bukan sosok yang asing lagi dalam berbagai kontroversi. Bahkan teriakan Rizieq untuk membunuh pendeta dan menghina Jokowi dengan mudah ditemukan di youtube. Suatu ironi bahwa Rizieq yang sering melakukan penghasutan dan penghinaan, justru menuduh pihak lain sebagai penghina dan penista. Teriakan "bunuh ahok" juga sangat lancar muncul dari kelompok FPI dan Rizieq sendiri. Apakah orang atau kelompok yang tampaknya memandang rendah hukum ini berhak berbicara untuk keadilan? Untuk penegakan hukum?
Untungnya, pemerintahan Jokowi dengan konsisten menegakkan hak demokrasi warga negara manapun untuk menyuarakan pendapatnya. Demokrasi Indonesia yang telah dibangun dengan susah payah oleh berbagai komponen bangsa, termasuk umat Islam dan semua umat beragama lainnya, memang tak layak dirusak oleh seorang Rizieq!
Menko Polhukam Wiranto sendiri menegaskan bahwa sebenarnya proses pemeriksaan sudah terjadi. Kapolri sudah melaporkan proses, bahkan Gubernur DKI juga sangat kooperatif dan langsung menghadirkan diri untuk pemeriksaan. Jadi sangat jelas sebenarnya bahwa demo ini salah arah! Namun pemerintah memang harus menyediakan ruang publik untuk berpendapat. Dan itu dilakukan dengan sangat konsisten.
Yang sangat membanggakan adalah, makin banyak dari kalangan Muslim yang mengkritisi aksi demo ini sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak Islami. Ustad Subhan Bawazier misalnya menjelaskan bahwa demonstrasi bukanlah bagian dari kalimat Islam. Sang Ustad yang menyejukkan ini mempertanyakan, "mengapa kita harus berbangga pada hal yang bukan Islami?" Bandingkan misalnya dengan teriakan Rizieq dalam memobilisasi demo, atau teriakan "bunuh ahok" dari seorang haji yang muncul di youtube. Di tengah hingar bingar yang membuat Islam rentan untuk dimanfaatkan kepentingan berbagai pihak, kata-kata Ustad Bawazier menggemakan lagi Islam yang menyejukkan.Â
Usulan yang jauh lebih positif diberikan oleh Prof. Mun'im Sirry, akademisi Indonesia yang menjadi profesor di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Dalam tulisannya, Mu'nim Sirry mengatakan bahwa sikap baper ala FPI itu sebenarnya hanya mencerminkan defisit percaya diri Umat Muslim di Indonesia. Prof. Mun'im mengutip suatu perdebatan yang penuh persahabatan antara penguasa Muslim Kalif al-Mahdi dan Patriarch Kristen Timothy I, dari abad ke-9. Kisah perdebatan ini memperlihatkan seorang Kalif al-Mahdi yang fasih berbicara menggunakan ayat-ayat Kitab Suci Kristen dan seorang Patriarch Timothy yang juga berargumen dari Qur'an. Perdebatan yang mencerminkan sikap "well informed" namun luar biasa bersahabat inilah yang menjadi visi yang ditawarkan Prof. Mun'im untuk Indonesia. Kata-kata Prof. Mun'im yang menggambarkan visinya itu layak dikutip di sini:
"Salah satu rekaman perdebatan antara Patriakh Timothy dari Gereja Suriah Timur dan Khalifah al-Mahdi menggambarkan suasana bersahabat, walaupun keduanya mengajukan argumen berseberangan secara tajam. Timothy jelas tidak percaya pada kenabian Muhammad atau keilahian asal-usul al-Qur’an. Dia berusaha membuktikan bahwa mustahil al-Qur’an berasal dari sumber yang sama dengan Alkitab.
Sebaliknya, al-Mahdi begitu gencar mengkritik doktrin-doktrin Kristen, seperti Trinitas atau Yesus sebagai anak Tuhan.
Di akhir sesi debat, keduanya berangkulan dan menyapa satu sama lain dengan panggilan kehormatan. Sementara Al-Mahdi memanggil Timothy Øضرة الكاثوليكوس (Catholicos: Pemimpin gereja), Timothy menyebut al-Mahdi أمير المؤمنين (Amirul Mukminin: Pemimpin orang beriman)."
Jadi perbedaan pendapat dan debat yang sengit tidak musti mengurangi rasa persahabatan dan penghormatan. Perdebatan tafsir dan teologis tak musti selalu diselesaikan dengan tuduhan penistaan, ancaman pemolisian, apalagi pembunuhan! Prof Mun'im tampaknya mendambakan suatu atmosfer perdebatan yang intelektual bagi Indonesia. Perbedaan tafsir dan perbedaan pendapat adalah hal yang biasa, dan kalau dapat dikelola dengan baik malah dapat menghasilkan kemajuan bersama bagi bangsa ini.
Kata-kata Ustad Bawazier dan Prof. Mun'im Sirry menunjukkan satu kebangkitan kesadaran intelektual Islami buat masa depan Indonesia: Ketika perbedaan pendapat bukan diselesaikan bergelimang debu jalanan, melainkan memicu perdebatan intelektual yang bersahabat untuk kemajuan bangsa. Sanggupkah kita menghidupi visi itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H