“Masa depan adalah ruang-ruang kosong, terserah kita hendak diisi apa.”
Melintasi horison waktu, melalui pendidikan kita hendak mencapai sebuah cita-cita luhur dimasa depan yaitu masyarakat Indonesia yang madani. Jika tidak tabu, marilah menerawang masa depan memakai kacamata angka-angka kuantitatif berikut untuk membaca kualitas manusia Indonesia. Untaian angka-angka ini seyogyanya menjadi buku pedoman yang bisa dibaca sebagai modal membangun kualitas masa depan Indonesia melalui pendidikan. Saya percaya kualitas pendidikan (pedagogi/didaktika) niscaya berhubungan tegak lurus dengan tingkat literasi manusia. Sejarah mencatat peradaban kita didasarkan dan disokong pada huruf-huruf yang disusun dalam kata yang mengandung makna, sehingga setiap manusia bisa membaca kemudian mengetahui maksud dari perkembangan peradaban, dari masa lalu, masa kini dan menuju masa depan. Oleh sebab itu mari bersepakat membaca masa depan dengan melihat penguasaan manusia Indonesia akan literasi.
Angka pertama yang saya sajikan sebagai cermin masa depan adalah angka melek huruf Indonesia. Menurut data yang saya dapat dari BPS ditahun 2013, angka melek huruf manusia Indonesia cukup menggembirakan, yaitu 94,14 %, artinya dari seluruh jumlah manusia Indonesia usia 15 tahun keatas, sejumlah 94,14 % telah mengenal huruf, telah mampu baca tulis. Angka ini cukup mengembirakan, bila kita bercermin pada tahun 1950 saat itu angka melek huruf Indonesia hanya 20 %. Peningkatan yang cukup signifikan dalam rentang waktu yang tidak lama. Ada korelasi positif antara tingkat melek huruf dan kesejahteraan sebuah bangsa. Seluruh negara maju telah membuktikan korelasi tersebut secara empiris.
Namun cukupkah ?
Fakta berikutnya justru merisaukan, meskipun tingkat melek huruf Indonesia cukup tinggi, namun indeks minat baca kita sangat rendah, salah satu paling rendah di Dunia. UNESCO pada tahun 2012 mencatat, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia,hanya ada satu orang yang mempunyai minat baca. sementara itu bersandar padahasil penelitian bahwa salah satu faktor rendahnya kualitas manusia disebabkan oleh rendahnya akses kepada informasi. Harus diakui, pada era teknologi secanggih saat ini, akses mendapatkan informasi tidaklah sesulit dahulu, kita tidak lagi perlu menghabiskan waktu dan energi yang banyak untuk mengakses informasi, yang menjadi masalah adalah rendahnya minat manusia mengoptimalkan akses tersebut. Hal ini disebabkan oleh rendahnya minat baca. Kita punya buku,baik itu cetak maupun digital dan sumber-sumber informasi lainnya namun ironisnya masyarakat kita malas membaca.
Tidak ingin berkutat pada lebih banyak angka, setidaknya dua ukuran kuantitatif literasi manusia Indonesia diatas mumpuni dijadikan teropong yang cukup jernih untuk melihat ruang-ruang masa depan Indonesia. Bahwa bangsa kita memiliki potensi yang bila digunakan dengan optimal mampu mengisi masa depan bangsa Ini dengan kecemerlangan, kesejahteraan.
Dia yang berdiri yang ditiru dan diteladani
Bila kita sepakat mengartikan sekolah seharusnya menjadi wadah transformator talenta dan bakat menjadi vokasi, dan kita sepakat didalam wadah inilah anak-anak menemukan buah-buah ilmu pengetahuan yang menjadi energi mereka untuk bertransformasi, maka marilah juga bersepakat bahwa guru adalah emulator dan emulsi yang menstimuli dan menjaga agar setiap anak memakan buah pengetahuan yang benar. Marilah bersepakat bahwa dia yang berdiri di depan kelas itu adalah contoh hidup dari karakter dan moral Illahi yang transenden. Sehingga dia yang berdiri yang ditiru dan diteladani itu layak kita tempatkan dipuncak hirarki penghormatan peradaban kita.
Oleh sebab itu pemerintah sebagai regulator peradaban harus memastikan setiap insan yang menjadi guru adalah manusia yang kompeten dan terpanggil sebagai seorang pendidik. Dalam hal ini saya menekankan keharusan, terutama saat kita berbicara soal pendidikan dasar. Pada konteks ini seorang guru haruslah seorang yang memahami bahwa pekerjaan tangannya akan menentukan dasar dari transformasi awal talenta menjadi sebuah vokasi. Bahwa didalam seluruh pengajarannya kita percayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak kita untuk dioptimalkan; memberatas buta huruf dan menumbuhkan minat baca. Kepada guru kita titipkan harapan akan ruang-ruang masa depan Indonesia. Sehingga dalam menghidupi vokasinya sebagai guru dalam pengajarannya kita akan mendengar sayup-sayup doa ini dari hati mereka ke hati setiap kita : “Dear God, Help me to see each of my children as uncut diamond, needing only enough presure to knock off the rough edge. So that the brilliance that You have placed in each in their hearts will always shine through.”
Adalah sebuah keniscayaan kita ingin tujuan dan 'raison d'etre' pedagogi dikembalikan menjadi inspirasi bagi peradaban manusia, sehingga sekolah dipandang tidak lagi sebagai dapur sertifikat kelulusan dalam angka semata. Sekolah bukan lagi ‘mesin’ yang membunuh talenta anak-anak kita. Namun sekolah dipandang sebagai wahana yang membahagiakan, tempat dimana akal budi, ahlak, karakter dan talenta anak-anak Indonesia ditransformasi, dan dalam cita-cita masa depan Indonesia, pendidikan mencerahkan, menghidupkan dan menghantarkan manusia Indonesia hidup bahagia dalam dunia yang madani dan sejahtera.
Sunario Aritonang