Desember pun tiba. Bulan desember identik dengan bulan penuh kisah. Ia hadir untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan. Apa yang hadir pada bagian akhir pastinya menyimpan banyak kisah, layaknya almanak yang merangkum jejak-jejak.
Kisah-kisah desember muncul sebagai endapan yang solid akan tawa, tangis, dan juga tanpa ekspresi sama sekali. Desember adalah sebuah penutupan. Semua laporan pekerjaan. Semua neraca jual-beli. Semua perbandingan untung-rugi. Semua evaluasi dan refleksi. Bulan desember tetaplah menjadi sebuah akhir yang sebanding dengan sebuah penutupan.
Akan tetapi, ada sebuah kisah yang diawali pada bulan desember. Desember, untuk pertama kalinya, menjadi masa yang membuka cara pandang baru. Cara menaruhkan hati yang unik. Cara menghidupi energi – katanya – paling hebat, yaitu cinta.
Desember. Cinta yang memiliki. Pernah memiliki. Pernah dimiliki. Dan. Tak lagi memiliki.
Desember adalah bulan penuh hujan. Entah itu hujan dalam arti yang sebenarnya. Entah hujan dalam arti kelimpahan. Baik kelimpahan berkat ataupun sial. Hujan memang pasti turun di bulan desember. Tak bisa disangkal. Belum pernah dalam sejarah manapun hujan tak pernah turun di bulan desember.
Desember. Hujan pasti turun. Dan. Kisah pun bermula dari turunnya hujan.
Raines, namanya. Terlahir sebagai anak laki-laki bungsu di sebuah keluarga biasa saja. Ia begitu mencintai suasana di luar rumahnya. Ia bisa menyatukan telapak kakinya dengan tanah. Menyamakan ritme nafasnya dengan perputaran udara. Bersiul senada bunyi dahan menggesek dahan lainnya. Menarikan tangan seirama perputaran bumi.
Dari semua teman alamnya, Raines begitu kagum pada hujan. Baginya, hujan seperti musik yang paling harmonis sebagai pengiring geraknya. Suara rintik air pertama seperti suara biola 1 dan biola 2 yang menyajikan interlude. Mengalun membentuk urutan ringan nada-nada biasa. Sambil ditemani suara gledek seperti gesekan one-note pada gesekan cello dan contrabass. Lanjut, ke movement pertama, masuklah melodi cantus firmus oleh flute yang ditemani selaras dengan oboe dan clarinet. Rasanya, asik.
Raines begerak berputar di bawah hujan. Hujan sudah turun selama 7 menit. Menyenangkan rasanya bergerak, menari sesuka hati, berputar sepuas kaki, dan bernyanyi. Nada-nada dari mulutnya tidak masuk ke dalam aliran musik manapun. Keluar begitu saja dari mulutnya. Kakinya beranjak kemana ia suka. Ke depan, menjadi poros putaran, menendang, bahkan melayang.
Hujan reda. Tarian reda. Pelangi malah ada.
Dongeng dahulu kala mengisahkan pelangi adalah jembatan dimana para dewi turun dari langit untuk numpang mandi di sungai yang ada air terjunnya. Ingat juga kisah Jaka Tarub yang mencuri selendang salah seorang dewi, Nawang Wulan. Nawang Wulan pun tidak bisa kembali ke nirwana karena selendangnya hilang. Jaka Tarub kemudian sudi menampung Nawang di rumahnya. Nawang yang cantik merasa lebih aman. Mereka pun akhirnya menikah.
Ada juga dongeng pelangi yang menceritakan sebuah harta karun tepat di ujung dan pangkal pelangi. Ada sekotak emas penuh di sana. Makanya, pelangi bisa bersinar cerah. Cahaya pelangi berasal dari emas yang ada di ujung dan pangkalnya.
Entah ada berapa dongeng tentang pelangi lagi di belahan budaya lainnya. Semua menyisakan keindahan dan pesan moral masing-masing. Pelangi tetaplah pelangi. Yang hadir setelah hujan. Pelangi menjadi semacam konsolasi alias hiburan setelah hujan hadir.
Pelangi menjadi simbol kekaguman anak-anak. Pelangi adalah heboh. Anak-anak heboh melihat pelangi sambil berlari dan berkata kepada ibunya,”Mama, ada pelangi!” Seorang pria kepada kekasihnya,”Sayang, pelanginya bagus ya?!”. Seorang oma kepada cucu tersayangnya,”Kakak, sini lihat ada pelangi!”. Seolah-olah reality show yang menghadirkan artis yang turun ke jalanan. Wajib dipandang. Tak bisa dipegang.
Keindahan sangat mudah saat mata menangkap warna. Warna-warna mengandung semacam ilusi optikal yang membuat otak lebih segar. Menghadirkan beragam variasi. Tidak ada monoton. Bahkan, menjadikan lebih hidup. MeJiKuHiBiNiU. Merah. Jingga. Kuning. Hijau. Biru. Nila. Ungu. Adalah 7 warna pelangi. Angka 7 adalah angka yang sempurna. Itulah mengapa pelangi menjadi hal yang sempurna.
Keindahan dan kesempurnaan agaknya seperti teman dekat saja. Sesuatu yang indah adalah sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang sempurna, tentunya sesuatu yang indah. Sesuatu yang beragam dan variatif adalah sesuatu yang indah. Sesuatu yang sempurna artinya sesuatu yang beragam dan variatif. Komplementer sekaligus substitutif.
Pelangi yang selalu muncul setelah hujan memberikan warna keindahan kepada hujan. Monokrom pada hujan dilengkapi dengan hadirnya pelangi. Hujan tidak lagi memancing kebosanan. Hujan malah melahirkan kangen. Andai saja, pelangi tidak muncul, hujan hanyalah gejala alam yang dihindari. Terima kasih, pelangi. Anda mau menunggu dengan sabar sampai hujan reda.
Dan. Keindahan adalah milik mereka yang memiliki warna-warni dalam hidupnya.
Namun, di ujung sana, ada satu mahkluk yang tidak begitu sependapat soal warna-warni dan keindahan.Baginya, keindahan tidak sekedar milik polikromatik. Ada kalanya keindahan muncul saat tidak ada kepastian sama sekali. Tidak ada yang bisa dipastikan sama sekali di bawah langit. Hitungan matematik jatuh pada titik relatif. Kira-kira saja. Ada tempat dimana tidak ada yang bisa memihak di salah satu kutub atau kedua kutub sekaligus.
Hitam. Sama sekali tidak polikromatik. Hitam mengiyakan kegelapan. Padanya, ada persembunyian dan ketakutan. Warna ini misterius dan keren sekaligus. Kesannya, menakutkan padahal ia menyenangkan. Ia tidak menerima cahaya masuk ke dalam dirinya. Mungkin, karena ia lebih memilih untuk menjadi pribadi yang tidak mudah ditebak. Tak mudah dipengaruhi.
Putih. Sama sekali juga tidak polikromatik. Ia terang dan mencerahkan. Ia bersih dan terbuka pada siapapun. Ia suci dan selalu menjadi lambang dari kekudusan. Ia bersih dan menjadi parameter seberapa merawat diri. Putih lebih nampak eksklusif dan mahal.Cahaya pun, ia terima masuk ke dalam dirinya. Sayangnya, ia harus banyak berhati-hati. Ia lebih mudah diracuni dan dikotori. Mungkin, karena ia lemah.
Titik itu adalah titik di antara kutub hitam dan kutub putih. Titik yang sama sekali monokromatik. Sebuah tempat yang nanggung mengesankan ketidaktegasan dan ketidakpastian. Sebuah axis abu-abu. Kata orang, abu-abu adalah warna galau.
Tidak ada mendung yang tidak pernah abu-abu.
Mendung itu juga indah. Ia tak perlu banyak warna untuk menjadikan dirinya sesempurna pelangi. Ia hanya butuh satu abu-abu untuk menjadikan dirinya sederhana. Karena keindahan juga adalah perkara sederhana. Tidak rumit. Dan tidak ribet. Kesederhananaan ini menentramkan. Ia seumpama payung yang teduh. Tidak perlu lagi takut matahari sambil berpikir bahwa kulit akan terbakar. Dan, gosong. Lantas, tidak menarik. Lantas, tidak laku. Lantas, jadi gelap.
Mendung tidak menyakiti siapapun. Ia tidak membasahi orang-orang sampai masuk angin. Ia tidak memanasi orang-orang sampai dehidrasi dan gosong. Ia baik. Tidak banyak bersuara. Mendung lebih sering berdiam diri dan memberikan aura ketenangan. Ada damai di dalamnya. Yah, karena dia tidak ingin menyakiti siapapun.
Berbahagialah orang yang hatinya mendung karena tidak akan tega menyakiti siapapun. Ia adalah malaikat.
Malaikat, namanya. Malaikat tidak punya nama, tapi punya cerita. Tidak seperti malaikat lainnya. Ia beda. Suka menyendiri. Saat malaikat lain beradu pandang dan kata, ia hanya tersenyum sebagai penonton. Ia tidak mengenal kata, selain bagaimana caranya tertawa. Hahahahaha.
Malaikat menyepi di tepian langit. Tepian langit adalah tempat kesukaannya. Tidak ada yang mengusiknya dari diam. Di sana ada jendela. Di tempat itu, ia sering mengamati tingkah laku para manusia. Ia suka hijaunya dunia manusia. Di dunianya, hanya ada warna putih. Dan, tentunya warna hitam untuk mata dan rambutnya. Di matanya, tingkah laku manusia membengkokkan bibirnya menjadi sebuah senyuman.
Bola mata hitam Malaikat tertuju pada tarian seorang anak. Ia mengamati seorang anak laki-laki menggerakkan dirinya selaras dengan hujan. Semakin lama, ia semakin hanya memfokuskan matanya untuk mengamati Raines. Anak laki-laki kecil yang aneh.
Hujan pun berhenti. Tarian pun berhenti. Malaikat tak berhenti mengamati.
Keesokan harinya, hujan turun lagi. Ini pasti masih di bulan Desember. Malaikat segera berlari ke tepian langit. Raines berlari menuju panggung alamnya. Hujannya cukup lama. Tariannya pun menjadi lebih lama. Kali ini, tidak ada nyanyian. Wajah Raines dihadapkan ke arah langit. Tetesan hujan langsung mengenai semua bagian wajahnya.
Malaikat melihat dengan jelas wajah anak laki-laki aneh itu. Rasanya menyenangkan. Ia tersenyum sendiri. Malaikat yang lain sibuk dengan kata-kata mereka. Malaikat hanya sibuk dengan matanya. Malaikat merasa anak laki-laki aneh tertuju pada dirinya. Mata malaikat berusaha mengajak berkomunikasi. Tapi, terlalu jauh.
Mata Raines tertuju pada tepian langit. Sayup-sayup, ia melihat ada sepasang mata dan sebuah senyuman dihadiahkan kepadanya. Raines turut tersenyum. Mata itu mengajaknya bicara. Tapi, terlalu jauh baginya untuk memastikan mata itu. Raines tidak menurunkan kepalanya sampai hujan berhenti. Ia suka ada hadiah tatapan dan senyuman dari tepian langit.
Hujan berhenti. Malaikat berlari menjauh dari tepian langit sambil tertawa. Memiliki teman baru, rasanya seperti baru saja meminum air setelah dahaga berkepanjangan. Melegakan.
Raines berlari ke kamarnya. Segera ia mengganti pakaian basahnya. Tak sabar menunggu datangnya hujan esok hari. Ia senang punya kawan baru.
Mendung menandai langit di pagi hari. Raines terang saja melompat dari tempat tidurnya. Berlari ke panggungnya lagi. Tariannya siap menjadi pertunjukkan di awal hari. Malaikat bergegas duduk di tepian langit. Paginya akan terasa lebih menyenangkan bersama mahkluk kecil nan aneh.
Ritual persahabatan mulai terjalin karena hujan. Raines mulai lupa bahwa dirinya mencintai hujan. Ia lebih mencintai sebuah pandangan dan senyuman yang tertuju kepadanya. Hujan lagi-lagi menjadi musik pengiring yang tepat untuk kisah persahabatan Raines dan Malaikat.
“Raines, kemari sebentar. Ayah mau bicara”, panggil ayahnya.
“Sebentar juga, Ayah. Aku pamitan dulu sama hujan ya!”, pinta Raines.
Ayahnya mengerti seberapa sayangnya Raines terhadap hujan. Ayahnya pun sangat mencintai hujan. Ia ingat bahwa Raines lahir pada saat hujan turun tepat langit sore menjadi lembayung. Hujan menemani lahirnya Raines. Sebuah transisi seorang mahkluk dari dunia plasenta menuju dunia barunya diiringi oleh hujan.
“Malaikat, kenapa kamu terus di tepian langit? Kemarilah saudari-saudarimu hendak mengadakan pesta. Jangan kau pusingkan dirimu dengan masalah-masalah dunia bawah!” Bumi tempat hujan turun kerap dianggap sebagai dunia bawah. Dan, langit sebagai dunia atas.
“Aku suka berada di sini. Aku lebih merasa damai. Kupingku sepertinya berbeda dengan kupingmu. Terlalu peka untuk mendengar kata-kata. Aku lebih suka sepi”, jawab Malaikat.
“Kamu ini malaikat. Kita selalu bersama. Tidak ada dalam kamus kita apa itu sendiri, apalagi sepi. Kamu tidak bisa memisahkan diri dari kaummu. Kamu tidak hendak meninggalkan jiwa malaikatmu, kan?”
“Bukan maksud aku untuk tidak menerima diri sebagai malaikat dengan cara menyendiri dan menikmati sepi. Jujur, aku juga tidak tahu mengapa aku tidak bisa seperti kalian. Aku pernah selalu mencoba. Tapi, akhirnya aku yang jatuh tidak kuat karena terlalu bising. Duniaku ini terlalu dipenuhi dengan kata-kata. Aku hanya merasa bahwa aku tidak pernah menjadi diriku selama aku ada di tengah-tengah kaumku”, ungkap Malaikat.
“Tutup mulutmu! Berani benar kamu berkata demikian tentang kaummu. Kamu tidak bisa memilih untuk tidak menjadi seorang malaikat. Kamu dijadikan dari awal mula sebagai seorang malaikat. Kamu adalah bagian dari kami. Tidak mungkin bagimu untuk tidak bisa hidup sebagai seorang malaikat. Tidak ada rasa percaya dalam diriku bahwa kamu tidak bisa menikmati kata-kata dalam kebersamaan kami. Kamu hanya membual!”
“Maaf, tapi aku tidak .... “
“Ah, sudahlah. Aku mengamati kamu dari beberapa waktu yang lalu. Kamu selalu menikmati hujan yang keluar dari air mata Malaikat Hujan. Mereka menurunkan hujan agar dunia atas dan dunia bawah masih terhubung. Hujan adalah tanda bahwa kaum dunia atas masih ingin bersahabat dengan manusia. Bersahabat. Doa-doa mereka agar hujan turun adalah kekuatan bagi kaum kita. Puji-pujian kekaguman mereka terhadap pelangi kita adalah nafas hidup kaum kita.”
“Itu sama saja membuat mereka menyembah kita. Aku rasa itu kurang pantas!” ujar Malaikat.
“Siapa yang minta pendapatmu?! Aku tekankan sekali lagi, bahwa hubungan malaikat dan manusia adalah hubungan dunia atas dan dunia bawah. Kamu tidak sedang jatuh cinta dengan manusia kan? Karena aku selalu melihatmu tersenyum ke bawah. Dan, senyummu berbeda dari senyum seorang malaikat dari dunia atas!”
“Aku ... aku ... aku hanya tertarik dengan seorang anak laki-laki aneh yang selalu menari setiap kali hujan turun. Dia tampak bahagia karena hujan. Aku kagum pada kebahagiaannya ...”
“Cukup. Kamu salah besar. Kamu melakukan 2 kesalahan besar. Merekalah yang harus mengagumi kita. Merekalah yang harus belajar dari kita. Bukan seperti itu. Kamu benar-benar harus aku paksa untuk tidak lagi berdiam di tempat ini!”
“Tapi, aku ... aku akan kehilangan ...”
“Tidak ada pembantahan. Kamu tidak diajarkan untuk menolak permintaan kakakmu. Mulai dari sekarang kamu dilarang untuk duduk di tepian langit. Harus!”
Kebebasannya terkekang. Kebebasan, baginya, adalah sebuah dunia kesendirian yang bisa ia atur seturut kata hati. Ia bebas untuk menentukan kemana kakinya melangkah di waktu malam. Menentukan pagi yang mana yang harus ia awali. Menentukan kawan mana yang ia percaya. Menetukan asap apa yang rindu ia hisap. Menentukan jalanan mana yang sesuka hati ditelusuri. Dunia kebebasan adalah dunia bilik kamar dalam kesendirian. Kini, tak ada lagi.
Bangunan impian yang ia rancang tak lagi ia rasakan. Ia terkekang oleh sujud hormat dan ketaatan dan juga janji. Ia tak punya alasan lagi untuk menyendiri dan menikmati dirinya. Tanpa kebebasan, ia belajar lagi untuk berbagi. Belajar lagi sesaknya mengalah. Belajar lagi kebesaran hati untuk mengerti.
Dunia sepinya beralih menjadi dunia ramai. Menjadi dunia yang penuh kata-kata. Padahal, sudah terlalu betah baginya untuk menelan kata-kata hanya untuknya sendiri. Terlalu biasa menikmati dunia tanpa kata-kata, yaitu diam. Bukan karena ia bisu dan tak mengenal susunan huruf dalam kata. Tapi, kata-kata terlalu mengekang luapan emosi. Kata-kata membatasi ungkapan.
Keterbatasan kata-kata menunjukkan bahwa dirinya tidak sekedar hidup di alam logika semata. Jejeran huruf dari A sampai Z terlalu menyempitkan pengalaman hidup, terlebih kisah-kisah yang ia jejaki dalam rencana maupun di luar rencana. Baginya, kata-kata yang paling tepat mengatakan adalah diam.
Diam dan kesendirian adalah teman yang paling abadi. Tidak pernah bermain intrik dan manipulasi ekspresi. Ia benar-benar memiliki cara lain untuk memahami apa itu diam. Apa itu sendiri. Dengan diam, ia tak akan punya celah untuk menipu dirinya sendiri. Tak perlu mencari alasan sok rasional untuk menjawab sekian deret pertanyaan.
Dengan menyendiri, ia tak perlu mencari-cari bagaimana ia dipahami. Yang terpenting adalah menjadikan dirinya sebagai axis mundi. Sebutlah, kesendirian adalah satu-satunya cara yang paling pas agar ia bisa berdiri seimbang. Tak perlu mencari titik berimbang dari luar dirinya – yang malah mendesaknya untuk mendesain sekian banyak topeng. Dengan diam dan sendiri, ia menjadi dirinya sendiri.
Ia adalah malaikat. Malaikat yang kecewa. Adakah yang bisa memahami diamnya, kini?
Raines kesepian. Hujan tetap turun. Namun, tariannya tidak sebahagia kemarin. Ada yang kurang dari langit. Ia tak lagi menemukan pandangan dan senyuman dari tepian langit. Tak ada lagi tarian kala hujan.
“Langit .. ada apa denganmu kini? Kamu menyembunyikan ia yang menemaniku beberapa hari ini. Aku memang tidak kenal dia. Aku tidak tahu namanya. Namanya tidaklah penting. Aku lebih membutuhkan pandangan dan senyumnya. Aku kehilangan keberadaanya”, sang anak berujar kepada langit.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Kamu kehilangan. Aku tahu itu. Rasanya tidak enak. Aku pun juga tahu. Tapi, aku tidak bisa memberikan jawaban yang paling pas untuk pertanyaanmu. Aku hanya tahu bahwa kalian saling melengkapi. Aku pun tidak tahu namanya. Dia hanya seorang malaikat yang merindukan kesendirian dan suasana sepi”, jawab Langit.
“Malaikat? Siapa itu?”,tanya Raines.
“Malaikat adalah kaum penghuni dunia atas. Mereka hidup tidak pernah seorang diri. Mereka selalu bersama. Malaikat yang selalu menatap dan membagikan senyum kepadamu adalah malaikat yang berbeda”, jawabnya.
“Berbeda seperti apa maksudmu, Langit?”
“Ia bukan malaikat biasa. Ia satu-satunya malaikat yang lebih menyukai diam daripada kata-kata. Ialah malaikat yang kagum pada seorang manusia. Hal ini tidak diperkenankan di dunia atas. Tidak layak kaum dunia atas mengagumi manusia dunia bawah.”
“Sebegitu jauhkah kami dipisahkan?”
“Aku tidak tahu banyak tentang hal itu. Harusnya kamu bersyukur masih ada Malaikat Hujan yang berkenan menitikkan air matanya untuk menjadikannya hujan. Dan, kamu masih bisa menari.”
“Apakah dia juga Malaikat Hujan?”
“Malaikat Hujan adalah malaikat yang telah mati. Karena usia mereka. Pun juga karena pilihan mereka untuk mati.”
“Hujan adalah kesedihan berarti?”
“Bukan. Hujan yang muncul dari air mata Malaikat Hujan adalah lambang doa dan cinta kepada mereka yang masih hidup. Air mata di dunia atas bukanlah kesedihan, melainkan kesetiaan. Mereka pasti menangis di penghujung tahun, di bulan Desember ini, sebagai penanda bahwa para malaikat yang telah mati tetap setia menemani sampai tahun berujung.”
“Itulah mengapa hujan hanya dan selalu muncul pada bulan Desember?” Raines mulai merasakan sesak.
“Iya, begitulah kurang lebih. Malaikat Hujan tidak pernah menitikkan air mata sebelum atau sesudah bulan Desember.”
Desember berakhir. Hujan pun tidak ada lagi. Tepian langit masih sepi. Januari tiba seperti biasa. Tidak ada yang istimewa di bulan ini. Februari terlewatkan. Ia tidak lagi mengisahkan kasih sayang. Maret menyisakan kesedihan. Apalagi, April. Hari-hari pada bulan April lebih sering diisi dengan halilintar tanpa hujan.
Halilintar adalah pertanda bahwa malaikat yang paling diagungkan sedang murka karena salah satu atau lebih dari kaumnya melakukan kesalahan. Artinya, pada bulan April, ada malaikat yang melakukan kesalahan.
Raines tahu akan legenda ini, legenda tentang Halilintar. Ia mendengar dari kisah ayahnya. Halilintar adalah murka dari dewa karena ada dewa-dewa kecil melakukan kesalahan. Maka dari itu, setiap kali halilintar menggelegar, semua anak lari ketakutan dan memeluk orang tua mereka untuk meminta maaf.
“Apakah dewa itu sama dengan malaikat?!” tanya Raines kepada dirinya sendiri.
Bulan Mei terlewatkan begitu saja. Tidak ada mendung. Tidak ada halilintar. Tidak ada pelangi. Apalagi, hujan. Raines kesepian. Kesepian, bagi Raines, adalah kesedihan. Kesedihan membawa Raines kepada air matanya. Ia membuat hujannya sendiri. Hujan yang tidak bisa mengiringinya menari.
Juni tiba. Kata ayah, Juni adalah nama dari seorang dewa kembar. Saudaranya adalah Juli. Juni dan Juli lahir pada pertengahan tahun. Juni hadir lebih dulu daripada Juli. Mereka memiliki sifat yang berbeda. Juni adalah dewa yang selalu ceria dan suka berbagi tawa. Berbeda dengan Juli, yang lebih suka menyendiri dan sibuk dengan dunianya. Juni, sebagai kakak selalu mengalah kepada Juli. Mereka saling menyayangi. Ibarat tangan, Juni adalah tangan kiri dan Juli adalah tangan kanan.
“Siapapun yang lahir di bulan Juni pasti paham arti berkorban. Pasti cerewet dan suka mengatur. Maklumlah karena seorang kakak harus bisa mendampingi adiknya. Selalu menginginkan yang terbaik untuk yang dicintainya”, Raines mengingat kata-kata ayahnya.
“Malaikat ... nampaknya kamu mulai menikmati duniamu tanpa tepian langit. Hahahahaha”, sang kakak tertawa puas melihat Malaikat tidak lagi diam dan sendiri.
Malaikat sebenarnya tersiksa, tapi dia tidak berani mengungkapkan keadaannya. Ia memilih untuk lagi-lagi diam dan berpura-pura bahagia. Di pikirannya, tetap ada anak laki-laki aneh itu. Malaikat tidak tahu namanya. Baginya, kehadiran si anak lebih penting. Jauh dari apapun.
Malaikat ingin lari. Ia ingin bertemu dengan anak laki-laki itu. Yang aneh. Yang mengagumkan. Yang nyata. Ia tidak kuat. Ia hanya ingat satu-satunya cara untuk bertemu anak laki-laki aneh itu. Dan, ia bertanya kepada dirinya sendiri,”Inikah yang harus aku pilih?”
Tujuh. Tujuh. Tujuh. Ada hari ke-tujuh. Ada bulan ke-tujuh. Ada warna pelangi ke-tujuh. Warnanya ungu.
Raines terbangun karena merasakan kedinginan. Hari ini hari ke-tujuh di bulan ke-tujuh. Tidak mungkin musim membawa hawa dingin. Ia melongok keluar. Kaca jendelanya tertutup embun. Agak basah. Langit pagi tak cerah.
Sayup-sayup, genting kamarnya berdenting. Ada bebunyian yang lama tak ia dengarkan. Ia terdiam untuk sejenak. Tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin. Tidak pernah mungkin.
Ia lari keluar. Berlari cepat. Tawanya muncul. Hujan datang. Tak ada pandangan dari tepian langit. Namun, ahagia ia menyaksikan ada ribuan bahkan jutaan pasang pandangan di setiap titik air yang turun. Pandangan dari mata yang sama. Dia bernafas lega karena hujan turun di bulan Juli. Dan, angin menemani hujan turun.
“Pasti kamu lahir di bulan Juni”, katanya kepada jutaan pasang mata yang membasahi wajahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H