Elmer Bernstein, sebuah nama yang asing di abad ke-21 ini. Kaum muda yang terlibat di dunia musik industri bisa jadi tidak mengenal sosoknya, bahkan karyanya. Bagaimana ia menciptakan musik pun tidak terlalu dikenal di dunia musik popular. Salah satu karyanya sudah terlampau banyak diadopsi dan dimodifikasi sana-sini. Dengan kata lain, ciptaannya jauh lebih dikenal daripada sang penciptanya.
Seekor kuda jantan yang gagah sedang berlari di padang gurun ala Mexico. Di punggungnya, duduk seorang pria dengan jeans dan kemeja yang dibalut rompi kulit. Tidak lupa mengenakan topi besar untuk menghalau panas sekaligus penanda maskulin. Dinyalakannya sebatang rokok. Sorot mata yang tajam beserta rahang yang keras berteduh di bawah topi kulitnya. Yap, dia seorang koboi amerika.
Elmer Bernstein dan koboi amerika? Dua karakter yang saling melengkapi dalam sebuah iklan produk rokok. Saat koboi beserta kudanya masuk ke arena padang gurun, gemuruh brass dan woodwind mengisi track iklan rokok ini. Gertakan tajam brass macam flute, french horn, trombon, trompet, tuba dipadukan dengan eksotisme lembutnya woodwind macam oboe dan clarinet. Mereka dinafaskan secara tutti (bersama), fortissimo (tegas), dan allegro (cepat) sampai mengesankan kewibawaan citra rasa berkelas.
Begitulah cara musikal untuk menggambarkan sosok Elmer Bernstein. Dialah sang pengesan ikon musik para petualang yang berani mengambil resiko. Karyanya kita kenal dengan nama The Magnificent Seven, sebuah film era tahun 60-an yang mengisahkan tentang pahlawan koboi pembela kebenaran pada jamannya. Lebih akrab lagi di telinga kita saat mengenang iklan sebuah rokok buatan amerika, Marlboro.
Dalam The Magnificent Seven, Elmer Bernstein merangkai keterkaitan harmonis nada-nada diatonis ke dalam lembar scorenya. Bukan pertama-tama, karena aransemennya akan begitu pelik dilagukan, tapi karena intonasinya meninggalkan kesan; keberanian, kegagahan, kejantanan, pengorbanan, dan juga kewibawaan. Modelnya pun bukan seorang wanita cantik nan molek dengan rambut ala Marylin Monroe, tapi lelaki gagah bernama Charles Bronson. Jelas ada sebuah pesan sosial-patriarkal di dalamnya. Kesan-kesan dari lagu ini seumpama setelan jas yang hanya pas jika dikenakan oleh kaum adam, lelaki yang gagah dan berwibawa.
Jika dianalisa lebih dalam lagi mengenai lagu The Magnificent Seven, maka bisa ditemukan alasan mengapa kesan berwibawa lekat padanya. Pertama, karena instrumen yang saling dipadukan di dalamnya. Sisi melodis dikuasai oleh timbre dari brass dan woodwind. Dua keluarga alat musik ini tidak diragukan lagi selalu membawa pesan transenden. Bagi yang mendengarkannya, seolah-olah mereka dimainkan oleh malaikat atau barisan tentara surgawi. Lagipula, alat musik ini biasanya digunakan sebagai penanda peperangan.
Kedua, jenis musik tersebut dikombinasikan dalam bentuk concerto gaya marching band. Seperti diujarkan bahwa concerto pada umumnya memiliki 3 bagian yang diistilahkan dengan movement. Dalam lagu tersebut, movement pertama sudah menciptakan nuansa heroik dengan tempo permainan yang allegro. Kemudian, disusul dengan movement kedua yang sangat kontras, yaitu membawakan tema tragedi. Sampai pada akhirnya, diselesaikan dengan movement ketiga yang merupakan repetisi konsisten dengan gaya heroik. Perasaan pendengar diguncang-guncang, dibuat bertanya-tanya, dan dipancing untuk menebak-nebak, sampai suatu bagian mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berimajinasi menjadi sosok pahlawan dalam dunia mereka sendiri. Mereka seolah-olah menaiki kuda, mengejar penjahat, saling baku tempak, dan akhirnya, menang dengan berwibawa.
Dalam bahasa latin, kata “pria” dikenal dengan kata “vir”. Kata ini masuk dalam daftar kategori deklinatio bergenus maskulinum. Menarik juga bahwa kata “vir” menjadi suku utama dalam kata “vires” yang berarti kekuatan atau daya. Lebih menarik lagi saat melihat kata “virtus” yang berarti keberanian, keperwiraan, keutamaan. Ada keterkaitan makna kata-di balik-kata di antara “vir”, “vires”, dan “virtue”. Ada kemungkinan, konsep laki-laki itu menjadi konsep dasar muncul konsep keberanian, keutamaan, juga kekuatan.
Kelahiran konsep tetang keutamaan atau kesejatian, dalam hal ini, tidak lepas dari keberadaan laki-laki. Tidak bisa dipungkiri, bahwa budaya patrialkal menjadi raksasa yang hidup terus-menerus sejak jaman bebatuan sampai jaman android. Semua manusia yang terlahir, dipastikan, mencari apa itu kesejatian. Terbilang mulai dari jaman Thales yang mengungkapkan bahwa kenyataan dunia ini adalah air, Descartes yang memunculkan sisi rasio sebagai yang utama, sampai Einstein dengan relativitasnya.
Socrates mencari kesejatian dengan cara berdialog dengan orang yang ia jumpai. Emmanuel Kant mencarinya dengan upaya mendamaikan sisi empiris dan rasionalisme. Juga Jacques Derrida memperoleh kepastian dengan mencoba mendekonstruksi susunan yang berlaku. Friedrich Nietzsche berargumen bahwa pada dasarnya apapun yang ada di dunia ini memiliki kehendak untuk berkuasa. Kesejatian satu pemikiran tokoh besar bisa jadi berlawanan ataupun senada dengan kesejatian pemikiran tokoh lain. Pada intinya, binatang berasio ini selalu berhasrat menemukan kesejatian.
Pecarian konsep kesejatian tidak luput dari usaha manusia untuk mengenali siapa dirinya. Sisi buddhis melihat manusia bukanlah mahkluk yang abadi karena manusia memiliki kondisi, yaitu rupa (mewujud), vendana (merasa), sanna (mengingat), sankara (berpikir), dan vinnana (menyadar). Sisi kristianitas memahami konsep manusia sebagai citra dari Yang Agung. Pada dasarnya, manusia adalah ia yang berada untuk mencari karena ia mengetahui sekaligus merasakan bahwa dirinya tidak stabil. Di sinilah, mengapa manusia terlebih dahulu harus mengetahui siapa dirinya, gnothi seauthon (kenali dirimu-Socrates).
Ada seorang pemikir dengan pemikiran yang menarik, Schopenhauer. Baginya, manusia layaknya bocah kecil yang sesuka hati berbuat dan bertutur. Hidupnya dituntun oleh keinginan-keingan yang dia sendiri tidak selalu bisa deskripsikan untuk apa, mengapa, dan bagaimana. Berbeda dengan keberadaan rasio yang dimiliki manusia. Rasio berusaha keras mencari tahu tentang apa, mengapa, dan bagaimana.
Berpijak dari pemikiran Kant tentang dunia fenomenal dan noumenal, manusia mampu melacak apa yang dianggapnya benar dengan rasionya. Akan tetapi, dunia fenomenal adalah dunia yang bisa diindra berdasarkan objek. Dengan kata lain, rasio ada karena objek telah ada terlebih dahulu. Ada spasi di antara pemiliki rasio dan objek yang dirasio. Spasi inilah yang membuat manusia tidak lekas puas akan jawaban yang ditemui. Dengan rasio, manusia selalu ingin menghapus spasi atau jarak. Padahal, spasi mencari kondisi mutlak untuk mengenal objek, dalam hal ini mengenal dirinya.
Lucu sekali jika manusia mengenali dirinya dengan mengambil jarak akan dirinya. Hasil yang didapatpun hanyalah doxa atau pendapat yang bisa saja keliru. Salah-salah malah bukan dirinya yang dikenali, melainkan hanya sebagai dirinya yang sedang berbuat sesuatu atau malah cerminan dirinya. Sesungguhnya, yang patut dikenali adalah dirinya yang memiliki sesuatu. Manusia memiliki rasa cinta. Tapi, rasa cinta ini tidak hanya sekedar dikenali dengan tindakannya merangkul, memeluk, atau sekedar mencium. Rasa ini tidak nampak oleh mata, melainkan tertangkap secara intuitif oleh sesuatu, yang dalam porsi ini, ditempatkan sebagai kehendak untuk mengetahui sesuatu.
Manusia perlu mengetahui dunia noumenal, yaitu dunia yang mengandalkan rasa percaya bahwa dia ada. Schopenhauer mengulas bahwa dunia noumenal ini tidak berhenti pada rasa dan tindakan percaya, melainkan menyadari bahwa dirinya memiliki kehendak. Mencoba mengambil istilah Plato, bahwa untuk mengenali dunia yang lebih dalam, dibutuhkan waktu untuk masuk ke dalam diri, bermeditasi, berkontemplasi, atau bahasa ringannya, merenung.
Ibarat manusia hendak mendefinisikan gunung. Dengan rasio, manusia mendefinisikan gunung dari kejauhan. Gunung adalah segitiga. Pada awalnya, dia puas. Lantas, setelah bosan, manusia mulai mendekati gunung. Dipandangnya, bahwa gunung adalah tembok tinggi yang terbangun dari tanah, pepohonan, dan bebatuan. Sebentar, dia puas atas temuannya.
Sampai pada titik tertentu, dia merasa bosan dan kemudian menaiki gunung sampai pada puncaknya. Di titik inilah, dia tidak berspasi dengan gunung. Lantas, dengan rasionya, dia bingung untuk mendefinisikan gunung. Gunung bukan lagi segitigas, bukan lagi tembok tinggi. Di sinilah, dia tersadar bahwa dirinya dan gunung telah menyatu. Bukan rasio yang dibutuhkan, tapi rasa untuk mengagumi gunung, sampai muncullah sungguh dari dalam hati, wow indahnya!
Unik juga bahwasanya Schopenhauer memasukkan sisi estetika ke dalam epistemologinya. Baginya, cara memahami dunia noumenal adalah melalui jalur seni. Sebab, seni bukanlah tempat rasio bermain, melainkan tempat sisi hati merenungi. Dalam bentuk kontemplasi ini, tidak ada spasi lagi, keduanya menyatu. Objek tidak lagi dipandang sebagai materi semata sambil manusia mendapati dirinya tanpa keinginan lagi. Di sinilah, jalan seni menempati posisi penting dalam hidup manusia agar lebih bermakna.
Dalam dunia seni, Schopenhauer memposisikan musik di bagian jalan seni yang paling tinggi. Bukan dengan maksud bahwa seni-seni di luar seni musik tidak kompeten atau tidak sekelas musik. Akan tetapi, Schopenhauer memandang dari sisi mimetiknya atau bagaimana sesuatu ditiru. Musik, sesungguhnya, tidak membutuhkan objek-objek material untuk ditiru sebagaimana seorang pelukis atau pemahat membuat karyanya. Musik itu tidak mengcopas (copy-paste) objek materiil. Musik meniru kehendak itu sendiri. Musik berusaha menjelaskan dengan bahasanya apa, bagaimana, dan mengapa cinta itu, amarah itu, sedih itu, kesendirian itu, tidak luput apa galau itu.
Dalam pemikiran Schopenhauer, musik membawa manusia untuk memahami keberadaan kehendak. Melaui musik, manusia memiliki kesempatan untuk tiba pada esensi kehidupan yang sesungguhnya. Musik menjadi jalan bagi manusia untuk mengenal lebih dalam siapa dirinya dengan apa yang dia miliki. Jalan musik mereduksi penggunaan rasio yang berlebihan. Sebab, rasio sesungguhnya hanyalah pelayan bagi kehendak. Dan, musik menjadi cara kehendak menubuhkan diri. Dia menubuh ke dalam ekspresi yang tidak meniru objek manapun dan siapapun.
Boleh dikatakan bahwa jalan tersebut layaknya jalan metafisika untuk memuaskan apa yang menjadi kerinduan setiap manusia. Sama halnya, dengan para lelaki yang berusaha mencari jalan untuk tampil lebih macho dan bukan cuuucho. Melalui musik, para lelaki berusaha melampaui kodratnya sebagai mahkluk yang notabene lebih menggunakan rasionya. Mereka mencoba memahami apa, mengapa, dan bagaimana cinta itu bisa ada dan terasa.
Para lelaki pada umumnya tidak dengan mudah mengungkapkan ekspresi perasaannya dengan memeluk kala rindu, berteriak kala riang, menangis kala sedih, atau manyun kala sedih. Melalui musik, meraka berdiri tanpa spasi sehingga komposisi nada yang berintonasi sesuai dengan maksud hatinya. Jadi, bukan karena melihat para koboi, lantas Elmer Bernstein menciptakan lagu The Magnificent Seven. Justru, karena dia berdiri tanpa spasi bersama dengan keberanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H