Jika memang pemerintah ingin mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset sebagai upaya pemberantasan korupsi, bukan berarti seolah-olah menganggap penindakan menjadi upaya yang 'toxic'. Di tengah semakin membludaknya korupsi di Indonesia dari mulai level pusat hingga desa, justru upaya penindakan memberikan efek jera kepada penyelenggara negara hingga masyarakat.
Jangan sampai narasi pemberantasan korupsi yang tidak tegas dari pemerintah, akhirnya mengubah persepsi masyarakat bahwa tindak pidana korupsi dari 'extra ordinary crime' menjadi 'ordinary crime', dari koruptor adalah penjahat luar biasa menjadi kejahatan ringan.
Secara keseluruhan, pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih holistik, yaitu dengan menggabungkan penindakan yang tegas, pencegahan atas perbaikan sistem, serta pemulihan aset hasil korupsi yang sistematis. Penegakan hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memberi efek jera. Mereformasi sistem untuk menutup celah korupsi, serta memulihkan aset sebagai langkah menciptakan pemerintahan yang sehat.
Eksistensi Presiden Republik Indonesia menahkodai upaya pemberantasan korupsi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa sistem pemberantasan korupsi tidak sedang terombang-ambing ke jalan yang salah, atau bahkan tenggelam karena kelalaian dari seorang nahkoda. Ibarat penumpang di dalam sebuah kapal begitulah ilustrasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, hanya dapat menyaksikan, berharap, dan berdoa sang Presiden tidak salah langkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H