Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terombang-ambingnya Pemberantasan Korupsi

24 Desember 2024   14:12 Diperbarui: 24 Desember 2024   14:12 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harvey Moeis ketika dilakukan penyelidikan di Kejaksaan Agung. Sumber: Kompas

"Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, memberi kesempatan untuk tobat, hei para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya, mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong," ujar Presiden Prabowo dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Mesir, ditayangkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Kamis, 19 Desember 2024.


Penggalan kalimat ini merupakan Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam pidatonya, Prabowo Subianto juga menyampaikan bahwa tak mempermasalahkan jika koruptor mengembalikan uang dengan sembunyi-sembunyi. Adapun penggalan statementnya yang menjadi sorotan publik adalah, "Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan, mengembalikannya lho ya. Tapi kembalikan."

Statement dari seorang Presiden Republik Indonesia ini akhirnya menjadi perdebatan publik di media sosial. Adapun yang menjadi perdebatan mulai dari, 'memberikan kesempatan tobat', 'mengembalikan uang dengan sembunyi-sembunyi supaya engga ketahuan', 'kembalikan lalu dimaafkan'. Tentu ini menjadi pertanyaan, apakah statement ini sebenarnya hanya sekadar gurauan di tengah pidato atau memang normative statement yang jadi perintah dari Presiden Republik Indonesia.

Di hari yang sama pada 19 Desember 2024, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memberikan respon atas pernyataan bahwa usul dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk memaafkan koruptor asal mengembalikan kerugian negara merupakan bagian dari amnesti. Yusril juga menyampaikan bahwa apa yang diucapkan oleh Prabowo Subianto juga sesuai dengan kewenangan Presiden dalam Konstitusi.

Selain itu, dalam konferensi pers Pimpinan KPK yang baru pada Jumat, 20 Desember 2024, sedikit memberikan tanggapan yang berbeda, Setyo Budiyanto yang merupakan Pimpinan KPK baru menyatakan bahwa pernyataan dari Presiden tersebut masih secara umum, hanya untuk beberapa perkara, sehingga perlu pendetailan dari pembantu Presiden.

Memang pernyataan dari Presiden Prabowo Subianto yang paling mencolok adalah, 'Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan'. Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana pengembalian secara diam-diam oleh koruptor kepada negara? Bukankah pengembalian kerugian negara ke kas negara harus melalui lembaga negara juga, seperti Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau lembaga yang berwenang?

Jika merujuk pada biaya sosial korupsi (Social Cost of Corruption) dikenal istilah biaya implisit, artinya ada biaya oportunitas yang ditimbulkan akibat korupsi misalnya, cicilan bunga yang semakin besar, domino effect sebelum dan sesudah adanya korupsi, serta biaya yang hilang akibat sumber daya yang hilang karena adanya korupsi. Contoh nyatanya, bagaimana jika uang negara tersebut justru diinvestasikan dulu oleh koruptor baru dikembalikan kepada negara? Artinya, kerugian negara yang ditimbulkan bukan hanya soal jumlah yang diambil, namun dampaknya terhadap sosial masyarakat.

"Ibarat kapal tanpa nahkoda yang tidak tahu arahnya ke mana, terkadang oleng ke kiri, terkadang oleng kanan." Perumpamaan ini sebenarnya ingin menunjukkan kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian hari semakin terombang-ambing. Mulai dari Kasus Korupsi di KPK yang tidak tuntas, KPK yang independennya sekadar formalitas, Kejaksaaan Agung yang tidak tegas, Banyaknya oknum Polri yang culas, hingga skandal korupsi Hakim Mahkamah Agung yang sangat di luar batas. Lalu, siapa yang bisa dipercaya? Jika ternyata semua Aparat Penegakan Hukum justru menjadi orang yang harus dicurigai?

Sebagai masyarakat biasa yang bisa kita lakukan hanya berharap bahwa sistem pemberantasan korupsi masih berfungsi sebagaimana mestinya. Jika memang maksud dari Presiden Prabowo Subianto sebenarnya adalah ingin mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset, tentu ini adalah strategi yang harus didukung sebagaimana juga tertuang dalam Konvensi PBB (UN Convention Against Corruption) tahun 2006 yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset, sebenarnya bukan berarti menghapuskan pidana dari koruptor sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian negara menjadi faktor yang meringankan bagi koruptor atas hukuman yang akan dijatuhkan hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun