Sebagai contoh, aparatur yang melaksanakan pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap operator pengaduan layanan publik selama satu minggu di hotel, hasilnya diharapkan bisa meningkatkan kualitas SDM operator, yang akhirnya semakin berkualitasnya pelayanan kepada masyarakat. Sederhananya adalah demikian jika istilah penyerapan anggaran digunakan semestinya.
Yang menjadi permasalahan, tidak sedikit serapan anggaran tersebut justru disalahartikan. Misalnya, mengadakan rapat koordinasi yang rutin di hotel berbintang tanpa menghasilkan output; melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota, nyatanya dimanfaatkan untuk berlibur; melaksanakan pengembangan kapasitas (capacity building) di hotel berbintang, nyatanya digunakan membawa keluarganya menginap, tidak diikuti secara utuh dan penuh; memperbaiki jalan-jalan umum yang sebenarnya tidak mengalami kerusakan, yang justru hanya mengakomodasi kepentingan politik.
Dalam Jurnal Rechstvinding Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berjudul, "Analisis Rendahnya Penyerapan Anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintaha Daerah", Edward James Sinaga menyampaikan bahwa persoalan tidak berkualitasnya penyerapan anggaran ini terjadi karena beberapa hal yaitu, adanya ketakutan yang berlebihan dari aparatur di berbagai institusi untuk terkait penggunaan anggaran, lemahnya perencanaan, minimnya pengetahuan pemahaman sejumlah aparatur di berbagai institusi terkait mekanisme penggunaan anggaran dan model pertanggungjawaban, hingga proses panjang birokrasi.
Tidak bisa dipungkiri, birokrasi kita masih menghadapi minimnya kualitas dalam perencanaan dan penganggaran. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyoroti bahwa perencanaan yang buruk menjadi celah terjadinya penyelewengan anggaran, artinya korupsi bahkan terjadi sejak perencanaan. Fenomena serapan anggaran di akhir tahun pada akhirnya tidak lagi beroerintasi pada kualitas, namun sekadar dibelanjakan demi menghindari pengembalian ke kas negara atau pemangkasan anggaran di tahun depan.
Dari beberapa pernyataan di atas, kesalahan pemaknaan serapan anggaran itu kembali lagi pada kualitas dari SDM aparatur pada birokrasi kita. Minimnya kapasitas dalam perencanaan anggaran akhirnya berimbas pada penggunaan anggaran yang 'ugal-ugalan' tanpa melihat apakah anggaran yang dikeluarkan itu menjadi belanja produktif yang berorientasi kepentingan pubik serta memberikan domino effect pada pertumbuhan ekonomi.
Perlu adanya koordinasi pemerintah pusat seperti Kementerian Keuangan, Bappenas, LKPP, KPK, BPKP, dan instansi lainnya untuk memperhatikan kualitas perencanaan anggaran pada insitusi pemerintahan termasuk melakukan pembinaan SDM aparatur di pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga bisa meningkatkan kualitas perencanaan anggaran daerah.
Keberhasilan pemerintah daerah membelanjakan anggaran tentu akan sangat berdampak pada pertumbuhan dan pembagunan lokal, serta berkontribusi pada pembangunan nasional. Sekalipun pemerintah pusat memiliki pengaruh besar, tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan itu kembali kepada masing-masing pemerintah daerahnya sebagai pengelola anggaran daerah.
Mengacu pada rumus sederhana dalam Ekonomi, Y (pendapatan nasional) = C (Consumption) + G (Government) + I (Investment) + X - I (Export - Import), bahwa menuju peningkatan pendapatan nasional yang berdampak pada pertumbuhan nasional sangat dipengaruhi oleh belanja pemerintah yaitu G (Government). Tentu, belanja yang dimaksud adalah belanja yang benar-benar berkualitas sehingga memberikan domino effect. Dengan demikian, serapan anggaran harus dimaknai semestinya yaitu belanja yang berdasarkan perencanaan yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H