kebijakan nasional di tingkat lokal. Dalam konteks otonomi ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengelola sumber daya, termasuk anggaran, untuk melanjutkan pembangunan di daerah mereka. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal dapat berjalan secara efisien dan merata.
Pemerintah daerah di Indonesia adalah bagian penting dari sistem pemerintahan yang  berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah pada dasarnya diharapkan dapat melaksanakan fungsi otonomi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah karena mereka adalah pelaksanaAdanya kemandirian secara anggaran memungkinkan pemerintah daerah tidak hanya mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga memanfaatkan dana transfer dari pemerintah pusat. Kemandirian fiskal ini menjadi faktor kunci dalam keberlanjutan pembangunan yang tidak bergantung sepenuhnya pada pusat. Namun demikian, pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks anggaran masih menghadapi berbagai tantangan, seperti ketimpangan kapasitas keuangan antar daerah, efisiensi penggunaan anggaran, dan kemampuan daerah dalam menyerap dana pusat secara optimal.Â
Berbicara soal pembangunan tidak lepas dari kemampuan anggaran setiap daerah. Tidak ada daerah yang tidak ingin melakukan pembangunan secara masif dan besar-besaran. Namun, selalu terhambat dengan keterbatasan anggaran, bahkan ketergantungan dengan pemerintah pusat. Jangankan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi saja masih sangat bergantung pada atensi pemerintah pusat. Permasalahan inilah yang mengakibatkan kepala daerah sulit berinovasi melakukan pembangunan, karena untuk memenuhi pelayanan dasar sekalipun masih mengalami kekurangan anggaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, selain Pendapatan Asli Daerah, pada Bab III undang-undang tersebut juga diatur Transfer ke Daerah. Transfer ke Daerah merupakan dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Adapun Transfer ke Daerah diantaranya adalah Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Desa.
Transfer ke Daerah memiliki peranan penting dalam mencukupi anggaran daerah, terutama di tengah kondisi Pendapatan Asli Daerah yang minim, karena dana yang diterima dari pemerintah pusat ini menjadi salah satu sumber utama untuk mendanai berbagai program dan layanan publik. Dengan demikian, transfer ini tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan daerah pada pendapatan sendiri, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan daerah dapat berlangsung secara berkelanjutan dan merata, meskipun keterbatasan sumber daya lokal.
Di antara Transfer ke Daerah yang disediakan oleh pemerintah pusat, ternyata salah satu penganggaran yang tidak diterima oleh semua pemerintah daerah adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam terminologi Undang-Undang, DAK diartikan sebagai dana yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. Singkatnya, Dana Alokasi Khusus adalah menjadi dana yang diperebutkan oleh pemerintah pusat demi meningkatkan pasokan anggaran untuk melaksanakan pembangunan.
Dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Khusus dialokasikan sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu dengan tujuan sudah diatur yaitu mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik. Meski demikian, frase 'kebijakan pemerintah' yang dimaksud adalah harus berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, Â kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan regulasi dalam undang-undang Dana Alokasi Khusus tidak lepas dari intervensi penuh pemerintah pusat selaku penyedia anggaran kepada pemerintah daerah. Bahkan, salah satu poin yang dituliskan secara eksplisit adalah penyaluran Dana Alokasi Khusus harus berdasarkan arahan Presiden. Ketentuan tersebut akhirnya membuat pemerintah daerah secara tidak langsung berkompetisi mengambil hati Istana pemerintah pusat yang harapannya dapat memiliki peluang lebih besar sebagai daerah penerima Dana Alokasi Khusus.
Dana Alokasi Khusus (DAK) di Indonesia pada akhirnya memiliki pengaruh dari subjektivitas Presiden, terutama karena proses penentuan dan penyalurannya yang sering kali dipengaruhi oleh kebijakan dan prioritas politik pemerintah pusat. Dalam hal ini, Presiden dan menteri-menteri negara memiliki kekuasaan untuk menentukan fokus penggunaan Dana Alokasi Khusus, yang bisa mencerminkan kepentingan politik atau regional tertentu. Penyaluran Dana Alokasi Khusus yang tidak merata juga menjadi perhatian, di mana daerah-daerah yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah pusat seringkali mendapatkan alokasi yang lebih besar, sementara daerah lainnya terabaikan. Meski demikian, kriteria untuk menentukan besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) bisa bervariasi dan kurang transparan, sehingga menciptakan kesan bahwa keputusan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat, melainkan seberapa dekat hubungan antara daerah dengan pemerintah pusat.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, pada tahun 2022, sekitar 60% dari total DAK dialokasikan untuk daerah di Jawa dan Bali, sementara daerah di luar pulau tersebut, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, hanya menerima porsi yang jauh lebih kecil. Misalnya, Papua yang memiliki kebutuhan pembangunan yang sangat tinggi, hanya menerima kurang dari 10% dari total DAK yang tersedia. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam distribusi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan riil daerah.
Akibat dari alokasi yang tidak merata ini, daerah-daerah yang kurang mendapatkan Dana Alokasi Khusus menghadapi berbagai masalah, termasuk kekurangan infrastruktur dasar, layanan kesehatan yang buruk, dan rendahnya kualitas pendidikan. Misalnya, di beberapa wilayah terpencil, sekolah-sekolah masih kekurangan fasilitas dasar, yang menghambat proses belajar mengajar dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia.