Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan Prinsip Money Follow Function dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

11 Januari 2024   15:24 Diperbarui: 11 Januari 2024   15:33 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Model penyelenggaran pemerintahan baik sentralisasi maupun desentralisasi, keduanya memiliki implikasi positif dan negatif. Sentralisasi tidak sepenuhnya baik untuk diterapkan, karena pelaksanaan pemerintahan yang sentralistis kurang dapat memperhatikan permasalahan, kebutuhan, karakteristik daerah yang dampak akhirnya tidak mencerminkan keinginan, kebutuhan, kepuasan, dan aspirasi masyarakat daerah. Selain itu, model sentralisasi juga memperlemah inisiatif dan inovasi daerah dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di sisi lain, sentralisasi juga memiliki dampak positif seperti, dapat menjaga stabilitas politik, integrasi kebijakan, mengurangi ketimpangan antardaerah, dan lain sebagainya.

Perjalanan pelaksanaan otonomi daerah juga mengalami banyak dinamika, babak baru dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan adanya pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsinya. Di era otonomi daerah ini, hanya ada 6 (enam) urusan yang masih tetap di pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta bidang-bidang lain seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara. Selebihnya, terutama yang menyangkut pemberdayaan daerah diserahkan kepada daerah. Pelimpahan wewenang ini perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Di lain pihak, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sumber pembiayaannya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun ada juga beberapa daerah yang menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas otonomi daerah karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

Kalau kita berkaca dari Policy Brief CIS terkait Tantangan Pelaksanaan Otonomi Daerah, bahwa berdasarkan temuan lapangan kewenangan yang sangat besar pada wali kota/bupati tanpa diimbangi instrumen bagi gubernur untuk menyelaraskan kebijakan antardaerah berdampak pada sulitnya mendorong pemerataan antardaerah. Hal ini memiliki efek pada ketimpangan antardaerah. 

Nicholas Martua Siagian. Diklat Kepemimpinan. Jakarta. 2023 (dokpri)
Nicholas Martua Siagian. Diklat Kepemimpinan. Jakarta. 2023 (dokpri)

Sebagai contoh sebagai studi kasus yang diteliti oleh CSIS, ketimpangan antardaerah yang berdekatan terjadi di wilayah Bali, yaitu ketika satu kabupaten memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang jauh lebih tinggi ketimbang kabupaten lainnya. Dalam hal ini, Kabupaten Badung, yang dikarenakan berpusatnya pemasukan dari hotel dan restoran di satu wilayah tersebut. PAD yang berlimpah tersebut tidak bisa disalurkan untuk membantu antardaerah karena besarnya wewenang anggaran di tangan bupati, sedangkan gubernur tidak memiliki banyak kuasa untuk mendistribusikan kekayaan antardaerah. Selain itu, latar belakang partai pengusung gubernur dan kepala daerah juga kerap kali menjadi faktor penting keselarasan dan dukungan kebijakan antardaerah. Gubernur memiliki kecenderungan memberikan dukungan yang lebih kepada bupati maupun wali kota yang berasal dari partai yang sama. Bagi daerah yang memiliki PAD kecil, memiliki kesamaan warna partai dengan gubernur akan memudahkan untuk mendapat akomodasi pembangunan. Namun, apabila berasal dari partai yang berbeda, tentu fenomena politik tersebut akan semakin menyulitkan daerah-daerah tertinggal.  

Menurut Nicholas Martua Siagian, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya diberikan kewenangan dan instrumen menyelaraskan ketimpangan antardaerah di suatu provinsi, sehingga koordinasi antara gubernur dan bupati/walikota dapat mewujudkan prinsip otonomi daerah sebagai sebuah negara kesatuan. selain itu, gubernur juga seharusnya diimbang dengan instrumen untuk menyusun skema kerjasama antar kabupaten/kota yang dapat membantu kebutuhan penganggaran pembangunan di daerah yang memiliki sumber daya berlimpah dengan daerah yang kekurangan sumber daya. Sehingga daerah yang membutuhkan penganggaran pembangunan tidak berekspektasi lebih dari pemerintah pusat saja.

Tantangan Pemerintah Daerah dalam Melaksanakan Otonomi Daerah Berdasarkan Pengamatan Penulis

  1. Selama ini pemerintah daerah sangat bergantung kepada pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan. Dari pengalaman penulis, hampir tiap hari pemerintah daerah dan DPRD silih berganti beraudiensi membawa proposal untuk melakukan pembangunan di daerahnya dikarenakan ketidaksediaan anggaran dari APBD. 

  2. Terkadang proposal anggaran yang dirancang oleh pemerintah daerah di luar ekspektasi dari pemerintah pusat, salah satunya adalah nilainya yang sangat tinggi. Padahal APBN yang berjalan tidak mempunyai kesediaan anggaran, atau takutnya apabila disetujui menimbulkan kecemburuan antardaerah.

  3. Selama ini berjalannya pemerintah daerah hanya sekadar kemandirian secara kewenangan, tidak secara anggaran. Padahal untuk mengeksekusi kewenangan menjadi program yang konkret dibutuhkan.


Penutup

Sebagai penutup, Nicholas Martua Siagian menyampaikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak sekadar memberikan kewenangan yang mandiri, namun harus money follow function. Kemandian kewenangan itu harus dibarengi dengan kemandirian keuangan/anggaran. Untuk merealisasikan kewenangan menjadi program yang konkret dibutuhkan keuangan yang mandiri. Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, rasa ketergantungan dengan pemerintah pusat itu mutlak selalu ada, namun alokasi dana transfer yang lebih realistis terhadap masing-masing daerah setidaknya dapat memenuhi kebutuhan pembangunan daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun