"Uang dan Politik tidak dapat dipisahkan" kalimat tersebut bermakna bahwa uang memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan politik dan pengambilan keputusan politik. Uang seringkali menjadi faktor penentu dalam pendanaan kampanye politik, pengarahan kebijakan, dan pengaruh politik secara umum. Dalam sistem politik yang kompleks, uang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi hasil pemilihan, membentuk aliansi politik, dan memberikan akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk meraih kekuasaan. Hingga kini sumber pendanaan partai politik diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011, yaitu berasal dari tiga sumber utama, yaitu iuran anggota yang telah menjadi anggota DPR RI/DPRD Provinsi/Kota, sumbangan yang sah secara hukum, dan bantuan keuangan yang diberikan oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Namun meskipun telah mendapatkan bantuan dari APBN/APBD, biaya politik masih sangatlah mahal dan belum mampu mencukupi operasional partai politik sehari harinya sehingga partai politik mengharapkan keuangannya dari anggotanya. Berdasarkan laporan KPU tahun 2019, terdapat 16 partai politik yang menerima dana kampanye dengan total senilai Rp 427.151.741.325. Dari jumlah tersebut, sebesar 79,10 persen atau Rp 337.856.293.303 berasal dari sumbangan calon legislatif. Sementara itu, sebesar 20,09 persen berasal dari partai politik dan sisanya merupakan sumbangan dari perseorangan. Dengan demikian, sebagian besar penerimaan dana kampanye berasal dari sumbangan yang diberikan oleh calon legislatif.
Isu uang dalam politik menjadi perhatian penting dalam pembahasan pendanaan partai politik, sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa biaya untuk berpolitik sangatlah mahal sehingga menyebabkan berbagai dampak negatif dalam perpolitikan nasional. Berbagai isu dihadapi dalam pembiayaan politik di Indonesia menghasilkan dampak negatifnya adalah terjadinya timbal balik atau politik balas budi. Para politisi sering kali merasa terikat atau harus mengembalikan kebaikan yang diberikan oleh pihak-pihak yang memberikan dukungan finansial. Hal ini dapat mengorbankan kepentingan publik dan mempengaruhi integritas kebijakan yang diambil oleh politisi. Selain itu, isu uang dalam politik juga mencerminkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan. Para politisi yang memiliki koneksi atau hubungan yang kuat dengan pihak-pihak yang memiliki sumberdaya keuangan yang besar memiliki keunggulan dalam memperoleh pembiayaan politik. Hal ini dapat mengakibatkan dominasi atas sumberdaya negara oleh beberapa calon saja, sementara calon lainnya kesulitan untuk memperoleh pembiayaan yang memadai.
Selanjutnya, lemahnya penegakan regulasi menjadi tantangan dalam mengatasi masalah uang dalam politik. Meskipun ada peraturan yang mengatur tentang pembiayaan politik, penegakan regulasi seringkali tidak efektif. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan sumber daya dan kurangnya komitmen dari pemangku kebijakan. Reformasi pembiayaan politik juga terhambat oleh kekhawatiran pemangku kebijakan bahwa kekuatan dan posisinya akan terancam jika reformasi dilaksanakan. Namun, transparansi dan akuntabilitas dalam pembiayaan politik sangat diharapkan untuk mengatasi permasalahan ini. Pembentukan sebuah lembaga negara independen baru dapat menjadi solusi potensial untuk menangani isu ini dengan lebih efektif. Lembaga ini kedepannya akan berwenang dalam mengawasi dan memastikan adanya transparansi dalam pembiayaan politik, sehingga dapat mengurangi praktik pembiayaan gelap dan memperkuat integritas politik di Indonesia.
Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang pendanaan Pemilu serentak 2019, perlu diperhatikan bahwa kegiatan sehari-hari partai politik juga membutuhkan biaya yang harus diatasi dengan pendanaan yang memadai. Partai politik bukan hanya aktif selama masa kampanye Pemilu, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan politik dan sosial sepanjang tahun. Mereka harus melakukan kegiatan seperti mengorganisir pertemuan anggota, mengadakan kampanye partai, membentuk kebijakan politik, melaksanakan program sosial, dan membangun infrastruktur partai. Semua ini membutuhkan dana yang cukup besar untuk dapat berjalan dengan efektif.
Agar partai politik dapat menjalankan kegiatan sehari-hari mereka dengan baik, perlu adanya peraturan yang lebih komprehensif dan jelas yang mengatur pendanaan partai politik di luar masa Pemilu. Undang-undang yang mengatur pendanaan partai politik harus mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh partai politik dalam menjalankan fungsinya. Hal ini akan memastikan bahwa partai politik memiliki sumber daya yang cukup untuk beroperasi secara efektif, mencegah praktik pembiayaan gelap, dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana partai politik.
Pengawasan Terhadap Pendanaan Partai Politik dan Urgensi Pembentukan Lembaga Negara Independen Baru
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, setiap partai politik berhak mendapat pendanaan dari tiga sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, serta bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dari ketiga sumber keuangan partai politik yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tersebut dipergunakan untuk membiayai kegiatan pendidikan politik dan operasional partai politik. Undang-Undang Nomor Tahun 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menegaskan bahwa bantuan keuangan dari negara diprioritaskan untuk kegiatan pendidikan politik. Namun berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), dijelaskan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, penggunaan dana bantuan keuangan partai politik tidak berubah, yakni untuk memenuhi kebutuhan operasional dari partai politik. Hal ini merupakan stigma dari kebiasaan lama di mana bantuan keuangan negara selalu diidentikkan dengan bantuan operasional partai politik, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Subsidi Dana Partai Politik sudah menegaskan peruntukan dana bantuan keuangan, bukan sekadar untuk kegiatan operasional, melainkan juga untuk pendidikan politik. Dari hasil pemeriksaan BPK, terlihat bahwa sebagian besar partai politik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota tidak mengalokasikan bantuan keuangan untuk kegiatan pendidikan politik.
Hampir dalam setiap laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan pertanggung jawaban dana bantuan partai politik terdapat catatan atas lemahnya sistem pengendalian intern pada organisasi partai politik yang diperiksa. Untuk itu, diharapkan partai politik dapat lebih meningkatkan sistem pengendalian internnya sehingga dapat menghasilkan laporan keuangan yang jauh lebih tepat dan akurat. Sistem pengendalian intern partai politik merupakan suatu proses yang didesain dan dijalankan dalam suatu organisasi partai politik yang melibatkan sistem dan prosedur serta kebijakan, personil dan lingkungan serta pimpinan partai politik yang bertujuan untuk meyakinkan tujuan partai politik dapat tercapai yaitu:Â