Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nicholas: Konsep Struktur dalam Otorita Ibu Kota Nusantara Berbeda dengan Pemerintah Daerah pada Umumnya

2 Januari 2024   14:03 Diperbarui: 2 Januari 2024   14:04 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nicholas Martua Siagian dan Tim ketika Kunjungan ke Titik Nol Ibu Kota Nusantara

Pemaknaan mengenai otorita sendiri merupakan sebuah konsep yang timbul dalam proses ketatanegaraan di Indonesia pasca diundangkannya Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Mengenai hal tersebut kita dapat mengacu kepada Undang-Undang Dasar terutama pada Pasal 18B yang berbunyi, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang." Ketentuan ini merupakan solusi dengan cara  memberikan kekhususan tertentu terhadap sebagian daerah di Indonesia dengan memberikan pengakuan "Recognition'' terhadap wilayah tertentu dengan kekhasan yang telah eksis sebelumnya. 

Nicholas Martua Siagian dan Tim ketika Kunjungan ke Titik Nol Ibu Kota Nusantara
Nicholas Martua Siagian dan Tim ketika Kunjungan ke Titik Nol Ibu Kota Nusantara

Kekhususan demikian kita dapat temukan pada provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang diberikan kekhususan dalam menjalankan pemerintahan sebagai bentuk pengakuan terhadap kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Begitu pula di wilayah lain seperti Aceh yang diberikan kekhususan tertentu dengan mengakui penggunaan syariat Islam karena mengakui kekhasan yang dimiliki oleh Aceh. 

Dalam ketentuan Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 diatur mengenai kekhususan daerah Aceh yang meliputi pada Hukum Syariah, Aqidah, dan Akhlak. Dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18 ayat (3) dijelaskan bahwa, "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota anggotanya dipilih melalui pemilihan umum." Sedangkan, dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa, "Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD." Hubungan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Otorita Ibu Kota Negara tidak mengenal adanya DPRD, namun menyelenggarakan pemilihan anggota DPD. Padahal, DPRD merupakan sarana legitimasi pemerintah daerah. 

Seharusnya, sebagai bentuk dari pemerintah daerah, DPRD harus tetap diakomodasi sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah dalam rangka legitimasi pemerintah. Selain itu, dalam ketentuan Undang-Undang IKN ini mengatur mengenai kepala IKN yang setara dengan Kementerian. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ini diatur bahwa, "Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR." 

Padahal, ketentuan pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis." Dalam undang-Undang Ibu Kota Negara mengatur mengenai konsep, persiapan,  pemindahan, pembangunan. Ketentuan tersebut masihlah terlalu multitafsir karena sangat mengatur hal yang cukup luas namun diatur dengan sangat sederhana. Hal demikian sangat memungkinkan terbentuknya norma baru di dalam aturan delegasi. Padahal aturan delegasi berfungsi untuk menjabarkan, memperjelas, dan merinci suatu norma. Alih-alih Undang-Undang Ibu Kota Nusantara membuka peluang bagi aturan delegasi untuk mengatur norma baru di dalamnya. 

Hal ini yang bisa kita temukan dalam ketentuan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ibu Kota Nusantara yang mengenyampingkan Undang-Undang pemerintahan Daerah. Jika kita telusuri lebih lanjut, Kepala Otorita diberikan kewenangan atribusi dalam membuat aturan otorita dan aturan kepala otorita. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (6) yang berbunyi, "Otorita Ibu Kota Nusantara berhak menetapkan peraturan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Nusantara dan/atau melaksanakan kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara.." Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 

Yang jadi permasalahan selanjutnya adalah mengenai bagaimanakah letak peraturan otorita dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Apakah peraturan otorita dapat disamakan dengan peraturan menteri atau justru setara dengan daerah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun