“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 201 ayat 11
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selain persoalan ketidakjelasan pengaturan sebagai landasan pengangkatan yang memuat mekanisme yang komprehensif, persoalan kewenangan penjabat kepala daerah juga menuai perdebatan. Bahwa tidak adanya pengaturan terkait batasan-batasan kewenangan dalam menjalankan jabatan penjabat kepala daerah. Dalam praktik pelaksanaanya sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 201 ayat 10 bahwa penjabat gubernur diisi oleh pimpinan tinggi madya dari kementerian/lembaga, dan penjabat bupati/walikota diisi oleh pimpinan tinggi pratama dari kementerian/lembaga sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 201 ayat 11. Jika ditinjau dari teori kewenangan, wewenang yang dimiliki penjabat kepala daerah tidak hanya bersifat atributif, akan tetapi penjabat kepala daerah juga memperoleh wewenang delegatif yang diperoleh dari Presiden dan Menteri Dalam Negeri.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur, Bupati, Walikota dan Wakil Walikota mengatur bahwa “Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, Penjabat Walikota, adalah pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Penjabat Gubernur dan pejabat yang diangkat oleh Menteri untuk penjabat Bupati dan Penjabat Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban Gubernur, Bupati dan Walikota dalam kurun waktu tertentu”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan dan tugastugas yang dimiliki penjabat kepala daerah secara normatif merujuk pada kewenangan dan tugas-tugas yang dimiliki kepala daerah definitif seperti, mengajukan rancangan perda, menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Meskipun penjabat kepala daerah melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya seorang pejabat definitif, terdapat beberapa kewenangan yang tidak diperbolehkan baik berupa keputusan maupun tindakan seperti, melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. Kewenangan yang tidak diperbolehkan tersebut diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 belum memenuhi tahapan pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Seharusnya dalam pembentukan undang-undang terdapat perencanaan yang matang dalam setiap muatan pasal, sehingga apabila diturunkan ke peraturan teknis terdapat dasar hukum yang kuat. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan secara eksplisit bahwa membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;