Mohon tunggu...
Moh Misbahul Umam
Moh Misbahul Umam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

From a young age, I found solace in the written word. Whether it was through journaling, writing short stories, or composing poetry, I always felt a connection to language. This passion led me to pursue a degree in literature, where I honed my skills and learned the intricacies of storytelling. One of the most rewarding aspects of writing is the ability to share knowledge and experiences. I have written articles on travel, personal development, and even technology. Each topic has its own challenges, but they all require thorough research and a clear understanding of the subject matter.Moreover, writing allows me to connect with others. Through my blog and social media platforms, I have built a community of readers who share similar interests. Their feedback and encouragement motivate me to continue improving my craft. As I continue to grow as a writer, I am constantly seeking new opportunities to challenge myself. Whether it’s taking advanced writing courses or collaborating with other authors, I believe that learning is a lifelong journey.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahagianya Terlalu Sebentar

19 Agustus 2023   11:20 Diperbarui: 19 Agustus 2023   12:09 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi mulai memancarkan sinarnya menembus hijauanya daun rambutan dibelakang rumah. Ku sruput kopi yang telah dibuatkan Ibu dan singkong goreng panas di piring berhiaskan Bunga Teratai. "pagi yang indah" gumamku. 

Sembari emnunggu kopi agar tak terlalu dingin, sebatang rokok ku bakar untuk menenagkan pikiran yang kacaunya tak karun karena beban kuliah yang bagi ku sendiri sangat sangat menjadi beban. Beban yang seharusnya tak perlu kubawa sampai ke rumah tapi malah terbawa hingga membuat apa apa yang aku lakukan menjadi tak tenang. Namun, semua menjadi lebih tenang ketika Ibu ada di sampingku. 

Keluh kesah yang sedang ku alami menjadi ringan bahkan sirna dalam sekejap dengan melihat pandangan Ibu yang selalu menghayutkan bak air laut yang terlihat tenang tetapi siapapun yang berenang akan tenggelam dalam rasa yang begitu dalam. Ada yang bilang kalau anak pertama menjadi contoh bagi adik-adiknya, Si bungsu harapan terakhir keluarga. Begitu banyak hal yang ingin ku adukan pada Ibu. Namun, tak sanggup ku luapkan karena aku tahu banyak beban yang telah ibu pikul di belakang senyum manisnya itu. 

"Lebih baik kupendam sendiri dan terbiarkan memudar seiring berjalannya waktu". Sedari SMA banyak pikiran yang menghantui mulai dari diri ini yang terasa membebani bapak dan ibu, nanti kalau sudah lulus mau kemana, ini, itu, bla bla bla. 

Dunia menurut versiku terlalu rumit padahal ada yang bilang bahwa dunia ini bila dijalani dengan hati yang Ikhlas dan tulus akan terasa membebani, kita saja yang membuatnya terlalu sulit dengan membesarkan masalah kecil menjadi besar. Yang seharusnya dapat diselesaikan saat itu juga malah dibuat semakin panjang tanpa adanya jeda yang pasti.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 09.00 aku beranjak dari tempat duduk ku untuk bersiap-siap melakukan perjalanan camping Bersama teman-teman kecilku. Jam 10.00 selesai berkemas dan aku sudah siap dengan jadwal yang telah disepakati sebelumnya yaitu pada jam 14.00 dengan titik kumpul berada di rumah temanku. Tetapi salah satu temanku, sebut saja Candra yang berprofesi sebagai Internet Service Provider, Bahasa gampangnya tukang wifi. 

Saat sudah mau berangkat ternyataa ada salah satu rumah konsumen mengalami trouble jaringan sehingga aku memutuskan untuk membantunya agar pekerjaan cepat selesai dan perjalan yang tertunda dapat dilanjutkan agar tidak telat. Tapi apalah daya keinginan alam memang tidak ada yang tahu kadang panas lalu hujan lalu panas lagi. 

Saat aku dan Candra memperbaiki wifi yang sedang trouble tiba-tiba hujan mengguyur yang menyebabkan perbaikan menjadi tertunda. Alhasil aku berinisiatif untuk menghubungi teman-teman yang lain agar berangkat terlebih dahulu dan menunggu di pos pemberangkatn Wukir Negoro.

Sedangkan aku dan candra menunggu hujan sedkit reda untuk memperbaiki wifi, apabila diteruskan dapat berakibat fatal karena masalahnya sering petir menyambar koneksi yang tidak dimatikan oleh konsumen yang menyebabkan konsleting listrik dan berakibat pada rumah terbakar sampai korban jiwa. 

Aku pernah melihat pada berita yang ditampilkan di televisi waktu itu. Sekita hampir 2 jam aku dan candra menunggu dan untungnya hujan mulai sedikit reda sehingga masalah perbaikan wifi dapat diatasi. Waktu magrib pun datang aku dan candra segera Bersiap menyusul teman-teman yang sudah berangkat duluan ke pos 1 untuk melakukan camping. 

Tak lupa berpamitan kepada ibu dan bapak dirumah untuk memohon doa restu agar dari rumah sampainke rumah Kembali dengan selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Kita tahu perihal alam yang sulit dideteksi kemauannya seperti apa. Walaupun ini bukan pendakian sudah sepatutnya kita menyiapkan segala hal agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari.

Motor  bututku yang telah usang ku nyalakan dengan sepenuh tenaga karena memang usianya yang udah tua juga. Selepas isya berkumandang aku dan candra berangkat menuju wukir negoro dalam perjalanan tak luput dari panjatan doa agar senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Hawa yang dingin setelah hujan menusuk tubuh yang kering ini ditambah kegelapan hutan sirah kencong yang tidak ada penerangan kecuali lampu dari motor butut ini juga sesekali suara burung gagak yang menambah syahdunya suasana malam hari dimalam itu. 

Jarak yang lumayan jauh dari rumah kami tempuh sekitar 45 menitan dan akhirnya kami sampai di pos perijianan pendakian gunung buthak via sirah kencong. Tak lupa teman-teman yang sudah menunggu sedari tadi menyambut kami dengan perasaan yang tak terkira antara senang dan kesal karena lama tapi tak bisa juga disalahkan karena alam tidak ada yang tahu bagaimana. Setelah semuanya berkumpul, untuk memulai keberangkatan tak lupa kami semuaa melakukan doa bersama agar senantiasa diberi keselamatan dari kebrangkatan sama pulang tak lupa membuat jargon agar semangat semakin membara. Tak terasa jam ditangan menunjukkan pukul 21.00 WIB dan kami memulai perjalanan. 

Perjalanan tak terasa capek karena banyak sekali humor yang dilontarkan oleh teman-teman untuk mengurangi rasa Lelah yang melanda. Ada satu temanku panggil saja Gus Jibril yang sedikit nyentrik. Bagaimana tidak ketika yang lainnya membawa ransel untuk camp dia malahan membawa kayu bakar satu karung. Katanya untuk membuat api unggun nantinya diatas agar tak kedinginan. Antara kasian dan terharu dengan semangat yang dimilikinya. 

Dari belakang yang kulihat dia sudah mulai kecapean karena beban yang dipikul. Namun, dia tak mau dengan alasan ketika sudah mengambil keputusan aku tak akan setengah-setengah dalam melakukannya. Takjubnya aku melihat kegigihan dia. Semakin malam angin dingin terus menghembuskan nafasnya. 

Tak lupa aku dan rombongan berhenti sejenak untuk mengatur nafas yang kini sudah mulai terengah-engah. Satu batang rokok pun kuambil untuk menghangatkan tubuh ini. Saat berhenti aku, candra, gus Jibril dan gus faisal dikagetkan dengan suara teriak anak Perempuan yang ternyata kakinya terkena pacet/lintah. "biarlah, biar dia merasakan bahwa alam punya sesuatu yang tak pernah diduga.

Anak yang tak pernah bepergian biar tau kalau berpetualang itu menyenangkan", ucap Faisal. Aku pun tersenyum melihat dia berkata seperti itu. Namun tentunya hal itu tak bisa dibiarkan. Aku pun menolongnya. Setelah dirasa tenaga kami sudah pulih, kami melanjutkan perjalanan dan sekitar jam 12.00 tepat kami sampai dilokasi camp. 

Kami buru-buru mencari tempat yang pas karena disana sudah banyak juga yang mendirikan tenda serta hujan gerimis yang tiba-tiba datang membuat kami mempercepat dengan membagi tugas. Tak lama tenda pun berdiri dan karena sudah capek aku pun memutuskan untuk istirahat dulu sedangkan yang lain beres-beres dengan barang bawaan masing-masing. 

Tak lama gerimis sudah reda karena kedinginan kami membuat api unggun dengan kayu bakar yang telah dibawa oleh Gus Jibril. Api sudah menyala kami pun melingkar untuk mendapatkan rasa hangat juga menyeduh kopi dan menikmati sepoi-sepoi angin malam. Malam itu penuh canda dan tawa banyak cerita yang terlontar dari satu mulut ke mulut lain. Karena aku merasa sudah tak kuat lagi, aku memutsukan untuk Kembali dulu kedalam tenda. Jam 6.00 aku dibangunkan oleh temanku Candra yang sudah menenteng kopi ditangannya untuk keluar menikmati ciptaan Tuhan diwaktu pagi. 

Dengan kondisi masih setengah sadar dan lemas aku membuka tenda dan betapa takjubnya melihat pagi itu begitu cerah dengan kebun teh yang mengeluarkan asap embun pagi dan pegunungan kawi yang begitu gagah ditambah sorotan Mentari dengan warna jingganya menambah syahdu suasana kala itu. "Tuhan begitu adil dengan segala ciptaan-Nya didunia ini, lantas mengapa aku masih sering saja mengeluh?, Gumamku sendiri. Aku menyeruput kopi yang dibawa Candra dan menghisap satu batang rokok dengan perasaan Bahagia sedangkan abak cewe menyiapkan bahan untuk sarapan pagi. Sambil menjahili teman-teman tak lupa momen itu aku abdikan dengan jepretan kamera. 

Canda dan tawa mereka seakan menjadi moodboster bagiku. Setelah berfoto dan sarapan selesai kami Bersiap-siap untuk  turun kebawah. Setelah semua dirasa aman, kami berdoa lagi agar apa yang kami lakukan tidak sia-sia agenda tadabbur ala mini dilakukan untuk mengetahui bahwa kuasa Tuhan sangatlah tak terbatas, dimana manusia hanya titik atau bahkan tak terlihat di alam semesta ini. 

Sepatutnya kita tak berbangga diri dan menyombongkan dengan apa yang kita peroleh. Bukankah ini semuaa hanya titipan. Kembali lagi ke kita masing-masing bagaimana menyikapi. Setelah selesai berdoa kami turun kebawah dengan jalan yang berbeda, "jan uenak tenan yo kang rasane nde gunung, isuk-isuk". Ucap Gus Faisal. 

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak henti-hentinya aku memandang kiri-kanan area kebun teh yang menyejukkan mata sampai tak terasa kami sudah di penghujung jalan depan pos. setelah kami semuaa dibawah kami istirahat Kembali untuk persiapan pulang ke rumah masing-masing. 

Disela-sela istirahat, Candra memiliki inisiatif untuk melakukan game sambung kata. Aku dan yang lain pun menyanggupinya, mendadak aku dan yang lainnya menjadi seorang yang puitis, anak cewe yang melihat tak henti-hentinya untuk tertawa. Setelah dirasa cukup kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang kerumah masing-masing. Dari awal perjalanan inilah aku merasa ingin meluapkan semuaa yang terjadi dengan sebuah cerita hingga saat ini aku jadi senang untuk menulis walaupun terkadang juga ada rasa bosan yang sering menghinggapi. Cukup diakhiri sampai disini dan sampai jumpa dilain hari kawann.

Pos 1 pendakian gunung buthak via sirah kencong
Pos 1 pendakian gunung buthak via sirah kencong

"menjadi pengamat walaupun tak dianggap ternyata tak sesakit yang kubayangkan, namun rasa kecewa yang teramat dalam membuat segalanya menjadi tak karuan" semoga engaku tetap bahagia walau kisah yang dulu hanya sebatas ingatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun