Motor  bututku yang telah usang ku nyalakan dengan sepenuh tenaga karena memang usianya yang udah tua juga. Selepas isya berkumandang aku dan candra berangkat menuju wukir negoro dalam perjalanan tak luput dari panjatan doa agar senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Hawa yang dingin setelah hujan menusuk tubuh yang kering ini ditambah kegelapan hutan sirah kencong yang tidak ada penerangan kecuali lampu dari motor butut ini juga sesekali suara burung gagak yang menambah syahdunya suasana malam hari dimalam itu.Â
Jarak yang lumayan jauh dari rumah kami tempuh sekitar 45 menitan dan akhirnya kami sampai di pos perijianan pendakian gunung buthak via sirah kencong. Tak lupa teman-teman yang sudah menunggu sedari tadi menyambut kami dengan perasaan yang tak terkira antara senang dan kesal karena lama tapi tak bisa juga disalahkan karena alam tidak ada yang tahu bagaimana. Setelah semuanya berkumpul, untuk memulai keberangkatan tak lupa kami semuaa melakukan doa bersama agar senantiasa diberi keselamatan dari kebrangkatan sama pulang tak lupa membuat jargon agar semangat semakin membara. Tak terasa jam ditangan menunjukkan pukul 21.00 WIB dan kami memulai perjalanan.Â
Perjalanan tak terasa capek karena banyak sekali humor yang dilontarkan oleh teman-teman untuk mengurangi rasa Lelah yang melanda. Ada satu temanku panggil saja Gus Jibril yang sedikit nyentrik. Bagaimana tidak ketika yang lainnya membawa ransel untuk camp dia malahan membawa kayu bakar satu karung. Katanya untuk membuat api unggun nantinya diatas agar tak kedinginan. Antara kasian dan terharu dengan semangat yang dimilikinya.Â
Dari belakang yang kulihat dia sudah mulai kecapean karena beban yang dipikul. Namun, dia tak mau dengan alasan ketika sudah mengambil keputusan aku tak akan setengah-setengah dalam melakukannya. Takjubnya aku melihat kegigihan dia. Semakin malam angin dingin terus menghembuskan nafasnya.Â
Tak lupa aku dan rombongan berhenti sejenak untuk mengatur nafas yang kini sudah mulai terengah-engah. Satu batang rokok pun kuambil untuk menghangatkan tubuh ini. Saat berhenti aku, candra, gus Jibril dan gus faisal dikagetkan dengan suara teriak anak Perempuan yang ternyata kakinya terkena pacet/lintah. "biarlah, biar dia merasakan bahwa alam punya sesuatu yang tak pernah diduga.
Anak yang tak pernah bepergian biar tau kalau berpetualang itu menyenangkan", ucap Faisal. Aku pun tersenyum melihat dia berkata seperti itu. Namun tentunya hal itu tak bisa dibiarkan. Aku pun menolongnya. Setelah dirasa tenaga kami sudah pulih, kami melanjutkan perjalanan dan sekitar jam 12.00 tepat kami sampai dilokasi camp.Â
Kami buru-buru mencari tempat yang pas karena disana sudah banyak juga yang mendirikan tenda serta hujan gerimis yang tiba-tiba datang membuat kami mempercepat dengan membagi tugas. Tak lama tenda pun berdiri dan karena sudah capek aku pun memutuskan untuk istirahat dulu sedangkan yang lain beres-beres dengan barang bawaan masing-masing.Â
Tak lama gerimis sudah reda karena kedinginan kami membuat api unggun dengan kayu bakar yang telah dibawa oleh Gus Jibril. Api sudah menyala kami pun melingkar untuk mendapatkan rasa hangat juga menyeduh kopi dan menikmati sepoi-sepoi angin malam. Malam itu penuh canda dan tawa banyak cerita yang terlontar dari satu mulut ke mulut lain. Karena aku merasa sudah tak kuat lagi, aku memutsukan untuk Kembali dulu kedalam tenda. Jam 6.00 aku dibangunkan oleh temanku Candra yang sudah menenteng kopi ditangannya untuk keluar menikmati ciptaan Tuhan diwaktu pagi.Â
Dengan kondisi masih setengah sadar dan lemas aku membuka tenda dan betapa takjubnya melihat pagi itu begitu cerah dengan kebun teh yang mengeluarkan asap embun pagi dan pegunungan kawi yang begitu gagah ditambah sorotan Mentari dengan warna jingganya menambah syahdu suasana kala itu. "Tuhan begitu adil dengan segala ciptaan-Nya didunia ini, lantas mengapa aku masih sering saja mengeluh?, Gumamku sendiri. Aku menyeruput kopi yang dibawa Candra dan menghisap satu batang rokok dengan perasaan Bahagia sedangkan abak cewe menyiapkan bahan untuk sarapan pagi. Sambil menjahili teman-teman tak lupa momen itu aku abdikan dengan jepretan kamera.Â
Canda dan tawa mereka seakan menjadi moodboster bagiku. Setelah berfoto dan sarapan selesai kami Bersiap-siap untuk  turun kebawah. Setelah semua dirasa aman, kami berdoa lagi agar apa yang kami lakukan tidak sia-sia agenda tadabbur ala mini dilakukan untuk mengetahui bahwa kuasa Tuhan sangatlah tak terbatas, dimana manusia hanya titik atau bahkan tak terlihat di alam semesta ini.Â